Rabu, 16 Januari 2013

Balada Wanita

Beberapa hari lalu saya bersama paman dan bibi serta dua anaknya singgah di sebuah rumah, baru saja kami sampai di halaman rumahnya kami disambut hangat oleh sepasang kakek nenek yang langsung menggendong cucunya. Menciuminya berulang-ulang. Si sulung dua tahun itu  dibopong kakek dan adiknya terlelap di gendong neneknya.  Ada gurat bahagia terpancar, sudah setahun cucu-cucunya tak pulang. Kali ini, rasanya tak ada alasan untuk tidak memeluknya lebih lama.

Saya sendiri baru pertama kali singgah di rumah itu, rumah besar bergaya joglo, rumah budaya di pedalaman Gunung Kidul. Saat kami sampai pukul 00.00 WIB, taka da suara lain kecuali kodok dan dua orang kakek nenek itu yang mencandai cucunya. Lepas.
“Mbah tinggal berdua saja Bulik”, tanyaku
“Iya mbak, saya kan cuma dua bersaudara semuanya perempuan . Semuanya ikut suami”
Saya hanya bisa ber-oh….

Anak perempuan, dilahirkan, dibesarkan, dididik saat ia suddah mendewasa, santun dan terdidik seorang lelaki tertarik padanya. Ia kemudian dipinang, dinikahi dan dibawa suaminya mengarungi hidup bersamanya. Perlahan meninggalkan rumahnya.

Meninggalkan ayah dan ibunya, meninggalkan adik-adiknya, meninggalkan kamar dan semua ruang yang ia diami sebelumnya. Ruang kehidupannya dari kecil hingga dewasa. Meski ada juga yang tak sepenuhnya pergi, artinya rumahnya dekat dari orang tuanya juga ada yang masih tinggal serumah dengan orang tuanya dan justru suami yang mengikuti tinggal dirumahnya. Namun kebanyakan istri mengikut suaminya. Dan memang begitulah fitrahnya.


Ketika seseorang lahir sebagai wanita, maka ia telah dibekali oleh Allah sebagai makhluk yang siap menjadi istri, siap menjadi ibu, siap mendidik dan mendampingi suami dan anak-anaknya. Siap pergi mengikuti suaminya, berjuang meniti kehidupan selanjutnya, kehidupan mandiri sebagai ibu dari sebuah rumah, rumahnya sendiri.

Kembali ke rumah itu, saya kembali merenung, sesungguhnyaorang tua yang mempunyai anak gadis itu resah, resah bagaimana ia harus mencarikan jodoh yang terbaik bagi putrinya. Ketika sudah dapat pilihanya mereka kembali  resah, resah karena sebentar lagi putrinya akan pergi. Pergi bersama imamnya yang baru. Nasehatnya turun di tangga kedua bagi putrinya karena tangga pertama telah ditempati lelaki yang menikahi putrinya.
Keresahan yang tersembunyi dibalik kebahagiaan diselimuti kerinduan dan doa. Dalam resahnya ayah tak henti mendoa semoga anak gadisnya bahagia, semoga pria yang menikahinya bisa melindunginya dan bertanggung jawab pada hidupnya seperti ia menjaga dulu. Ibu berdoa semoga anak gadisnya bisa membahagiakan suaminya, takzim dan menjaga hatinya, menghebatkan kariernya dan mendidik anak-anaknya.

Wanita, dengan segala kelemahan dan kelebihannya, telah dijaga sepenuhnya oleh orang tuanya, ketika kau telah mengambil tanggung jawab dirinya dari orang tuanya maka jagalah ia sepenuh hatimu, karena orang tuanya telah mempercayakannya padamu. Agendakanlah dalam kesibukanmu untuk membawa wanitamu pulang ke rumahnya, bertemu ayah dan ibunya biarkanlah mereka melepas rindu, bercanda dengan anak-anakmu, cucunya

Wanita, sebelum kau memilihnya menjadi istrimu, mintalah restu dari orang tuanya dan orang tuamu. Karena mereka yang memiliki, jangan hanya karena cinta seenaknya saja kau bawa ia pergi. Melengganglah dengan anggun bersama wanitamu dengan membawa senyum restu dan doa


Wanita, selama kau masih sendiri, gunakan waktumu untuk menoreh bahagia dan takzim pada orang tuamu, patuh pada nasehatnya. Bermanja-manjalah sepuasnya pada ayah dan ibumu, raih surga pertamamu sebelum kau pergi bersama lelaki yang kau pilih dan menikahimu, yang kata-katanya wajib kau ikuti, menempati tangga pertama dan orang tuamu di tangga kedua. Karena surgamu ada padanya. Pada lelakimu, pendampingmu, sahabat hidupmu, ayah dari anak-anakmu
Wallahu’alam
Sukmajaya, 16 Januari 2012



Tidak ada komentar:

Posting Komentar