Selasa, 07 Januari 2014

PKLI MALAYSIA 7 : Ketika Harus Memilih

Seharusnya pagi ini aku sudah berpakaian rapi, memakai almamaterku dan pergi ke sekolah itu. Seharusnya aku sudah mencoret mimpiku.

Seharusnya pagi ini aku sudah berpakaian rapi, memakai almamaterku dan pergi ke sekolah itu. Seharusnya aku sudah mencoret mimpiku. Harusnya pagi ini aku mengikuti serah terima mahasiswa, untuk mengajar di sekolah itu sebagai guru praktikan hingga satu bulan ke depan.

Aku sudah merencanakan kalau hari ini aku akan bangun pagi-pagi, memakai almamater dan jilbab biru untuk memulai hari menjadi guru. Aku sudah merencanakan, kata pertama apa yang akan kusebut saat aku jumpa murid-muridku. Aku sudah merencanakan....




Mimpiku mengajar di sekolah itu sudah kutulis sejak dulu dan saat aku diberi kebebasan untuk memilih mengajar di sekolah mana, aku merasa seperti melayang, aku merasa seluruh dunia mengucap selamat untukku. Saat namaku benar-benar ada di bawah nama sekolah itu sebagai guru praktikan, aku merasa bahagia, lebih dari sebelumnya.

Aku lupa, bahwa tugas manusia hanya merencanakan dan tugas Allah menentukan apa yang terjadi. Aku lupa bahwa tak setiap mimpi bisa menemui nyatanya. Ada saat dimana rencana hanya menjadi rencana dan saat dimana mimpi hanya akan ada pada alam mimpi. Aku lupa, realisasi rencana dan mimpi sepenuhnya hak Allah.

Kemarin tepat pukul 09.00 WIB. Uswah dan Najib meneleponku...



Rizza, kamu dimana? Hmm gimana ya ngomongnya itu suara Najib
Tiba-tiba suara Najib berganti suara Uswah, rupanya phone conference sedang digunakan


Rizza, pihak fakultas baru saja memberi kabar, kalau mahasiswa yang PKLI ke Malaysia, tidak diperkenankan mengikuti PKLI di Indonesia karena baru saja dapat kabar dari Malaysia kalau kalian akan berangkat pertengahan Februari. Jadi, harus pilih salah satu. PKLI Malaysia saja atau PKLI Indonesia saja

Apa? Kenapa jadi begini, bukankah dulu Pak Dekan bilang kita bebas pilih dua-duanya? Kenapa sekarang begini Us? Aku seperti tersengat listrik mendengar kabar Uswah itu

Iya Za. Soalnya harus berangkat bulan Februari, jadi harus pilih salah satu. Malay saja atau Indo saja. Nah, kamu pilih mana? Keputusan terakhir jam sepuluh, soalnya data-data dikirim hari ini juga kesana

Suara Najib di seberang hanya ber ha a he e, gimana kamu pilih mana?

Aku belum bisa kasih jawaban sekarang, aku mau telepon orang rumah  dulu ya, nanti aku kabari

Mereka berdua mengucap salam dan tut.. tut... putus

Kutelepon nomer ibuku, berharap beliau bisa membantuku menentuntukan pilihan. Berkali-kali kuhubungi nomer itu tak bereaksi. Bagaimana ini? Pilih mana? Harusnya aku tak memilih, harusnya aku mendapatkan keduanya. Harusnya....

Bagiku memilih diantara keduanya sama saja memilih antara emas dan permata. Dua-duanya impianku. Meski mimpi mengajar di sekolah itu memiliki prosentase lebih tinggi dari pergi ke Malaysia, tapi pergi ke Malaysia adalah amanah. Jika ini bukan pilihan tentu aku tak akan memilih diantara keduanya. Tapi seperti kata Uswah, aku harus memilih.

Navis, yang kutelepon berkata..

Aku memilih di Malaysia saja Za, aku mau fokus skripsi jawab Navis mantap.

Mengapa dia semantap itu sedang aku tak bisa? Mengapa memilih diantara keduanya begitu sulit. Dilema. Mengajar di MIN 1 adalah impianku sejak semester 3. Aku terus berdoa semoga jika waktu PKLI tiba aku ditempatkan di sekolah itu. PKLI ke Malaysia, tak pernah aku catat dalam impianku, aku mencatatkan begini

Aku ingin melihat menara Petronas

Aku hanya ingin pergi ke Malaysia, melihat menara petronas. Aku tak pernah ingin PKLI ke Malaysia. Jika harus PKLI aku ingin ke MIN 1 saja. Ketika aku mendapat kesempatan satu tiket ke Malaysia, maka aku telah mengalahkan teman-temanku yang lain, yang barangkali mereka memimpikannya. Ini adalah sebuah kesempatan. Kesempatan yang temanku yang lain tidak mendapatkannya. 


Pilih Impian atau kesempatan? Dilema

Jam 09.45 aku mengambil handphoneku dan mengetik sebuah sms atas nama Uswah

Us, aku PKLI ke Malaysia ya, tolong sampaikan ke Pak Dekan

Seharusnya pagi ini aku sudah berpakaian rapi, memakai almamaterku dan pergi ke sekolah itu. Seharusnya aku sudah mencoret mimpiku.

Aku memilih PKLI ke Malaysia pada akhirnya. Aku memilih kesempatan dan mengabaikan impian. Jika aku naik len ke sebuah tempat, aku hanya perlu nyegat len di pinggir jalan. Jika len yang kumaksud menghampiriku. Aku bisa menaikinya dan ia akan langsung membawaku ke tempat yang kuminta. Len menerima siapa saja penumpangnya.

PKLI ke Malaysia bukan seperti naik len, yang semua mahasiswa ICP bisa mengikutinya. Untuk mendapat kesempatan itu, aku harus mengikuti serangkaian tes. Dan hasil tes itu menerimaku sebagai salah satu mahasiswa yang pergi kesana. Jika ada yang diterima, berarti ada yang ditolak, bukan?

Jika aku mundur dari PKLI ke Malaysia, bagaimana dengan mereka yang mendaftar sama sepertiku tapi tak lulus tes? Bagaimana dengan mereka yang menangis setelah di papan pengumuman tak ada namanya? Bagaimana dengan mereka yang berambisi tapi tak terpenuhi? Bagaimana dengan mereka yang melengos jika melihatku atau tatapan mata yang cemburu denganku karena bukan nama mereka yang ada tapi namaku?

Aku hanya ingin menghargai mereka yang tak memiliki kesempatan ini dengan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, aku hanya tak ingin membuat mereka semakin kecewa dan yang terpenting aku tak ingin orang tuaku kecewa. Jika aku mundur sama saja aku membuang kesempatan mereka. Jika pada akhirnya aku mundur, harusnya namaku tak perlu ada di papan pengumuman.

Ayah dan ibuku, begitu tahu aku lolos PKLI ke Malaysia, mereka sujud syukur. Mereka terus bertanya kapan aku berangkat, mereka terus bertanya, berapa biaya yang harus aku bawa kesana dan untuk memenuhi semua itu, aku tahu mereka menabung hasil panen hanya demi keberangkatanku.

Masih kuingat dialogku dengan ayah saat aku pulang

“Yah, kalau Ayah gak pengen Mbak Risa budal ning Malaysia nggih mboten nopo-nopo. Biaya hidup ning Malaysia larang Yah” kataku di suatu sore

“Duit iku iso digoleki Nduk, Iki kesempatan. Sampeyan urung mesti iso mrono. Lek anakke wong liyo ning Malaysia mung dadi TKI, tapi anakku ning Malaysia goro-goro program kampus. Sopo sing gak seneng? Budalo”

Ada kebanggaan dalam kata-kata ayah itu, ada kepercayaan. Jika kalian tahu, kadang ayah terlalu khawatir jika aku pergi terlalu jauh. Beliau pasti bertanya, karo sopo? Enek kancane wedok opo ora? Tapi saat aku bilang ke Malaysia ini. Ayah tak bertanya tentang itu. Serta merta ayah merestui keberangkatanku, padahal pergi ke Malaysia adalah tujuan terjauhku selama ini. Tak hanya lintas kota, tapi lintas negara. Ayah dan ibuku merestuiku, lalu kenapa aku harus ragu?

Aku tak punya banyak pilihan untuk membahagiakan orang tuaku seperti anak lainnya karena kekuranganku. Selama ini aku hanya bertekad sekolah yang bener, karena hanya dengan cara itu aku bisa membuat mereka tersenyum. Aku boleh kehilangan impianku, tapi aku tak boleh kehilangan kepercayaan dan senyum orang tuaku.

Seharusnya pagi ini aku sudah berpakaian rapi, memakai almamaterku dan pergi ke sekolah itu. Seharusnya aku sudah mencoret mimpiku.


Impianku, menjadi guru praktikan di MIN 1, biarlah itu hanya menjadi impian karena sudah tak mungkin terwujud kan? Jika hari ini aku tak bisa mengajar di sekolah itu sebagai guru praktikan, mungkin nanti aku akan mengajar sebagai guru tetap disana. Atau aku akan menjadi tenaga ahli di kementrian pendidikan. Semoga...













Tidak ada komentar:

Posting Komentar