Namanya Pairah. Ia bukan pejabat, ia adalah rakyat yang taat. Taat pada
negaranya , taat pada Tuhannya. Pairah muda adalah seorang dukun beranak, entah
sudah berapa puluh bayi yang lahir dengan bantuannya. Setelah selesai membantu
melahirkan bayinya, Pairah biasa
dikontrak memandikan bayi selama selapan atau 40 hari atau sampai tali pusar bayi itu pupak,
putus. Aku dan adik-adikku
saat bayi adalah pasiennya. Ia tak pernah mematok bayaran pada ibu si
bayi. Seikhlasnya. Tak hanya itu, Pairah adalah umat yang taat. Ia tak pernah absen shalat jamaah di
masjid. Kebetulan rumah saya berhadapan langsung dengan masjid. Masjid
Baiturrahman namanya. Di masjid itulah Pairah menenggelamkan dzikirnya, ingat
pada Tuhannya. Ia selalu menjadi jamaah pertama saat waktu shalat tiba. Bahkan
sebelum muadzin mengumandangkan adzannya.
Ia tak pernah absen ia shalat di masjid, mulai Shubuh sampai
Isya’ ia dengan semangat pergi ke masjid untuk shalat. Jangan dikira ia pergi
ke masjid naik sepeda atau motor seperti orang masa kini, atau berlari dengan
riang seperti anak-anak. Ia dengan susah payah melangkahkan kakinya. Kini, ia
adalah wanita 70 tahunan yang tak lagi bisa pergi ke masjid. Kenapa? Karena
penyakit tua yang semakin mempersusah gerak kakinya. Kaki yang semakin rapuh
digerus usia. Entah dia menderita asam urat, kolestrol atau apalah namanya,
yang jelas melangkahkan kaki adalah hal paling menyakitkan baginya.
Jarak rumahnya dari masjid sekitar 300 meter dengan kontur
jalan yang tak rata berpasir. Sandal jepit dan sebuah kayu penyangga selalu
dibawanya. Jika tidak ia pasti terjatuh, kayu itu pengganti dan penambah
kekuatan kakinya. Saat shalat di masjid ia selalu berada di shaf paling pinggir
dekat dengan tembok. Saat gerakan shalat dari I’tidal ke sujud dan berdiri lagi
ia menggunakan tembok itu untuk pegangan, jika tak pegangan ia pasti
tersungkur. Sujudnya tak sempurna, iftirasyi-nya pun tak sempurna. Bukan maksud
ia begitu tapi apalah daya, usia tua telah merenggut kesempurnaan gerak
shalatnya.
Kadang saya malu dengan wanita yang biasa saya panggil Yu
Rah, orang-orang biasa memanggilnya begitu. Saya sering melihatnya tertatih
dan menjejak pertama di masjid sedangkan saya dan adik-adik masih asyik dengan
kesibukan kami. Masih asyik bercengkrama
di beranda. Itu lihat Yu Rah sudah
saja sudah ke masjid, baru kami bergerak, Kadang iqomah terdengar kami baru
rebutan kamar mandi untuk wudhu. Tapi Yu Rah? Dia sudah di dalam sana,
melantunkan puji-pujian pada Rabb-nya.
Sejak idul Fitri kemarin tak kulihat lagi Yu Rah ke masjid.
Tempat di sebelah tembok yang biasa di tempatinya kosong, sepertinya memang itu
dikhususkan untuknya karena jika ia belum datang tempat itu kosong dengan
asumsi itu tempatnya Yu Rah, nanti ia pasti datang. Kudengar dari
orang-orang Yu Rah sakit. Sakit apa? Sakit tua yang semakin menua.
Yu Rah yang begitu, ia semangat pergi jamaah ke masjid. Kita?
Yang muda-muda ini yang tak perlu bertenaga lebih dan berusaha lebih untuk
melangkahkan kaki, masihkah pantas untuk beralasan jika adzan terdengar?
Masihkah pantaskah banyak kesibukan melalaikan
kewajiban? Shalat memang bisa dimana saja, asalkan bersih dan suci, tapi lebih
utama jika kita ke masjid untuk shalat bersama-bersama, terutama bagi seorang
pria. Masjid, Shalat, Akhlak, Teladan, Yu Rah.
Ada banyak kisah di sekitar kita, kisah sederhana dari
tingkah laku manusia, semoga catatan sederhana tentang Yu Rah ini bisa
menggugah saya dan Anda, untuk kembali berkaca seperti apa diri kita, sudahkah
kita meluangkan waktu dunia untuk menjawab seruan Tuhannya dalam khusyuknya
shalat bersama di rumah Sang Maha Cinta?
Ia mencintaimu
Untuk itulah Ia selalu memanggilmu
Sudahkah kau jawab panggilan-Nya?
Hanya lima kali dalam sehari
Ia yang mencintaimu, meski cintamu terbagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar