Senin, 19 Agustus 2013

Namanya Pairah

Namanya Pairah. Ia bukan pejabat, ia adalah rakyat yang taat. Taat pada negaranya , taat pada Tuhannya. Pairah muda adalah seorang dukun beranak, entah sudah berapa puluh bayi yang lahir dengan bantuannya. Setelah selesai membantu melahirkan bayinya,  Pairah biasa dikontrak memandikan bayi selama selapan  atau 40 hari atau sampai tali pusar bayi itu pupak, putus.  Aku dan adik-adikku saat bayi adalah pasiennya. Ia tak pernah mematok bayaran pada ibu si bayi. Seikhlasnya. Tak hanya itu, Pairah adalah umat yang  taat. Ia tak pernah absen shalat jamaah di masjid. Kebetulan rumah saya berhadapan langsung dengan masjid. Masjid Baiturrahman namanya. Di masjid itulah Pairah menenggelamkan dzikirnya, ingat pada Tuhannya. Ia selalu menjadi jamaah pertama saat waktu shalat tiba. Bahkan sebelum muadzin mengumandangkan adzannya. 

Ia tak pernah absen ia shalat di masjid, mulai Shubuh sampai Isya’ ia dengan semangat pergi ke masjid untuk shalat. Jangan dikira ia pergi ke masjid naik sepeda atau motor seperti orang masa kini, atau berlari dengan riang seperti anak-anak. Ia dengan susah payah melangkahkan kakinya. Kini, ia adalah wanita 70 tahunan yang tak lagi bisa pergi ke masjid. Kenapa? Karena penyakit tua yang semakin mempersusah gerak kakinya. Kaki yang semakin rapuh digerus usia. Entah dia menderita asam urat, kolestrol atau apalah namanya, yang jelas melangkahkan kaki adalah hal paling menyakitkan baginya.


Jarak rumahnya dari masjid sekitar 300 meter dengan kontur jalan yang tak rata berpasir. Sandal jepit dan sebuah kayu penyangga selalu dibawanya. Jika tidak ia pasti terjatuh, kayu itu pengganti dan penambah kekuatan kakinya. Saat shalat di masjid ia selalu berada di shaf paling pinggir dekat dengan tembok. Saat gerakan shalat dari I’tidal ke sujud dan berdiri lagi ia menggunakan tembok itu untuk pegangan, jika tak pegangan ia pasti tersungkur. Sujudnya tak sempurna, iftirasyi-nya pun tak sempurna. Bukan maksud ia begitu tapi apalah  daya,  usia tua telah merenggut kesempurnaan gerak shalatnya.

Kadang saya malu dengan wanita yang biasa saya panggil Yu Rah, orang-orang biasa memanggilnya begitu. Saya sering melihatnya tertatih dan menjejak pertama di masjid sedangkan saya dan adik-adik masih asyik dengan kesibukan kami.  Masih asyik bercengkrama di beranda.  Itu lihat Yu Rah sudah saja sudah ke masjid, baru kami bergerak, Kadang iqomah terdengar kami baru rebutan kamar mandi untuk wudhu. Tapi Yu Rah? Dia sudah di dalam sana, melantunkan puji-pujian pada Rabb-nya.

Sejak idul Fitri kemarin tak kulihat lagi Yu Rah ke masjid. Tempat di sebelah tembok yang biasa di tempatinya kosong, sepertinya memang itu dikhususkan untuknya karena jika ia belum datang tempat itu kosong dengan asumsi itu tempatnya Yu Rah, nanti ia pasti datang. Kudengar dari orang-orang Yu Rah sakit. Sakit apa? Sakit tua yang semakin menua.

Yu Rah yang begitu, ia semangat pergi jamaah ke masjid. Kita? Yang muda-muda ini yang tak perlu bertenaga lebih dan berusaha lebih untuk melangkahkan kaki, masihkah pantas untuk beralasan jika adzan terdengar? Masihkah pantaskah  banyak kesibukan melalaikan kewajiban? Shalat memang bisa dimana saja, asalkan bersih dan suci, tapi lebih utama jika kita ke masjid untuk shalat bersama-bersama, terutama bagi seorang pria. Masjid, Shalat, Akhlak, Teladan, Yu Rah.

Ada banyak kisah di sekitar kita, kisah sederhana dari tingkah laku manusia, semoga catatan sederhana tentang Yu Rah ini bisa menggugah saya dan Anda, untuk kembali berkaca seperti apa diri kita, sudahkah kita meluangkan waktu dunia untuk menjawab seruan Tuhannya dalam khusyuknya shalat bersama di rumah Sang Maha Cinta?

Ia mencintaimu
Untuk itulah Ia selalu memanggilmu
Sudahkah kau jawab panggilan-Nya?
Hanya lima kali dalam sehari
Ia yang mencintaimu, meski cintamu terbagi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar