Sabtu, 18 Februari 2012

Aku dan Perjalanan Kakiku


Akhirnya aku pulang, pulang ke tanah dimana aku dilahirkan. Kediri. Sudahtiga bulan aku tidak menjejakkan kakiku disana. Kau tahu apa yang kurasa?. Aku sangat bahagia. Bertemu dengan orang-orang terdekat. Orang-orang yang membiarkan aku tumbuh. Ibu, Ayah dan dua adikku. Bertemu dengan mereka mencairkan semua kebekuan yang ada dalam ragaku. Semua lelah yang kutampung di raga, semua kesah yang kusimpan dalam jiwa. Rasanya lenyap begitu saja. Allah, i love my family so much, make them happy and health forever....


13 Februari 2012
“Mbak nanti setelah Ayah pulang dari pasar harus sudah siap lho ya, kita ke trenggalek”, kata ibuku
“Nggih”
Orang tuaku pergi meraih rizki hari ini, adik-adikku menuntut ilmu, tinggal aku sendiri. Ah...tidak ada Kau bersamaku, bahkan Kau tak pernah meninggalkanku sedetikpun.Hari pertama yang masih seperti hari-hari sebelumnya kepulanganku. Kuhabiskan separuh hariku menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga, menulis dan bersilaturrahim ke rumah bulikku. Separuh lainnya kuhabiskan bercengkrama dengan keluargaku. Kedekatan antara orang tua dan anaknya. Dimana aku tak melihat ibuku sebagai ibu tapi sebagai kakak perempuanku, ayah yang menjadi pendengar dan penutur yang baik dan adik-adik yang super jahil. Seperti sebelumnya pula, liburanku habis oleh terapi

Separuh hariku hari ini, adalah perjalanan ke Trenggalek. Sebuah kota tempat tinggal laki-laki yang bernama H. Selanudin. Laki-laki setengah tua yang selama satu semester ini menjadi terapistku. Kawan, aku membutuhkan dia untuk memperbaiki cara jalanku. Dua puluh tahun usiaku sekarang, aku tidak berjalan sebaik kalian. Kenapa?. Baca diary dan puisi Rizza hari-hari sebelumnya ya.....



Di tempat ini aku menjalani terapi. Jangan bayangkan terapi ini mengggunakan alat elektronik canggih. Pak Din, begitu aku biasa memanggilnya adalah seorang yang ahli pijat refleksi. Kau tahu apa yang beliau lakukan padaku? Amazing,tubuhku seperti transparan dimatanya. Pusat terapinya hanya ada di kedua telapak kakiku. Tapi beliau tahu, dimana letak bengkok di tubuhku yang harus diluruskan. Kedua tangan dan kaki seperti memberikan kode padanya apa yang terjadi pada diriku.
Subhanallah.....

Sakit nggak? Sakit. Sekali. Tapi sakit sekali ini kurrasakan di awal terapiku dulu. Sekarang sakit itu sudah menyatu dalam tubuhku, aku seperti kebal terhadap rasa sakit itu.Kulino  Bagiku tak masalah sakit yang kurasa bila ini adalah jalan kesembuhanku.

15 Februari 2012
“Mbak, mandi gih”, kata ibu
“Mau kemana bu, tumben siang-siang nyuruh mandi”, tanyaku keheranan
“Ikut ayah terapi mata di Kertosono”
Kawan, ayahku seorang laki-laki paruh baya yang terkena diabetes melitus, penyakit inilah yang membuat mata ayahku berkurang kepekaannya. Untuk orang seusianya rasanya belum pantas ayah seperti itu, seperti kakek banyak cucu aja. Kadang Farid adikkku memanggilnya mbah Kung, bukan ayah. Banyak orang menyangka adik kecilku itu cucunya bukan anaknya. Ayahku memang terlihat lebih tua dari usia sebenarnya.
Tiba di tempat tujuan. Sebuah rumah yang sederhana di pojok sebuah, bunga liar menutupi batu-bata yang ditumpuk disamping rumah, pohong pring di bagian depan melambai di tiup sepoi angin, sepertinya dia menyambut kami. Aku memasuki rumah menyusul ayah. Ternyata terapis ayah adalah seorang lelaki tua, lebih tua dari Pak Din dan ayah, dari matanya aku bisa menangkap kalau dia adalah laki-laki sabar dan lembut, beliau juga humoris. Ayah masuk ke sebuah ruangan, sedangkan aku menungggu di sofa bersama adikku.

Setengah jam berlalu. Ayahku keluar.” Mbak sekarang giliranmu”, kata ayah mantap
“Aku? Mau diapain?”, kataku cemas
“Sudahlah masuk saja”, kata ayah meyakinkan
Hampir sama dengan Pak Din, laki-laki yang bernama Pak Mislain ini ahli refleksi namun tekniknya berbeda, beliau mengurutku dengan kayu pipih aneka ukuran. Tak hanya telapak kaki tapi seluruh kaki. Tidak terlalu sakit. Biasa. Atau mungkin karena aku sering merasakan sakit versi itu. Tubuhkiu terbiasa

17 -18 Februari 2012
“Bu, nanti sore ke rumah Dinda yuk, aku mau menggembalikan buku”
“Oke, tapi sama siapa?”
“Faisal, dia sudah janji pulang nggak terlalu sore”, kataku meyakinkan
Dinda adalah nama sahabatku, gadis yang memiliki kondisi fisik sama sepertiku. Aku mengenal dia dari kakak kelasku di PGMI. Setahun. ya setahun sudah kami disatukan. Disatukan oleh angin dan takdir, disatukan atas nama kesamaan keadaan. Mungkin tak ada yang bisa merasakan perasaanku,kecuali bila mereka mengalami hal yang sama sepertiku.

Menjadi gadis yang berbeda dan bertemu perbedaan yang sama di gadis lain. Aku seperti menemukan kaca kehidupan. Kaca yang benar-benar hidup. Bila aku bertemu dengannnya, aku seperti melihat diriku.  Diriku dulu dan kini.

Allah, terima kasih kau izinkan aku mengenalnya, kami memang tak sempurna. Tapi aku tak pernah merasakannya. Aku merasakan diriku sama seperti orang kebanyan, aku yakin bisa melakukan semua hal. Itu juga yang selalu kukatakan pada Dinda. Bahwa keterbatan bukanlah penghalang kehidupan, justru keterbatasan itulah yang melengkapi kesempurnaan.

Pagi ini, aku menulis di meja yang sama dimana ia biasa menulis, dua malam ini aku tidur di ranjang dimana ia biasa tidur. Ya. Aku tak pulang. Lebih tepatnya tak boleh pulang. Ibu Dinda dan keluarganya menyuruhku menginap di rumahnya. Aku telah menggenapi janjiku, janji untuk menginap di rumahnya. Janji yang kuucapkan sejak semester satu,

Allah, liburan semester tiga ini, saat aku benar-benar disibukkan oleh tanggung jawabku, kau berikan aku hari untuk memenuhi janji, dimana hari-hari sebelumnya aku merasa bahwa janjiku tak akan terpenuhi. SkenarioMu atas hidupku sungguh indah.
Menjalani hidup bersamanya. Aku jadi semakin paham kesehariannya.  Dari bangun tidur sampai tidur lagi. Seharian kemarin aku menghabiskan hariku membaca novel koleksinya, kebanyakan tentang self improvement. Dinda juga langganan majalah STORY, kesukaannya menulis terutama teenlit membuatnya gemar membeli majalah yang kata orang surga cerpenis ini. Sementara Dinda lebih asyik menonton film yang telah ia copy dari acerku. Sesekali aku mengalihkan pandangan dari buku ke laptop.  Aku juga tertawa bersamanya ketika adegan lucu, atau menangis saat film itu berakhir sedih.

Bagiku bersama dengan banyak buku dan cerpen seperti ini adalah kebahagiaan tersendiri. Bisa menambah panjang titian inspirasiku. Ah...bagiku Dinda adalah inspirasi, inspirasi yang tak pernah menemui tepiannya.
 Subhanallah.....Dinda memang tak lahir dari rahim ibuku, tapi dia adalah saudara perempuanku. Orang tuanya memang tak membesarkanku, tapi mereka juga orang tuaku. 

Allah, terima kasih atas semua yang kau beri dalam detik hidupku, kau tuntun aku mengenalnya. 

Allah, dua tali itu memang telah terikat dan kini semakin kuat. 

Allah aku tak terlalu mengenal pengikatnya, aku hanya tahu dia baik. Berikanlah kebaikan untuknya atas kebaikan yang ia lakukan pada kami.


 
Sore nanti aku pulang di jemput adikku, semoga hari ini lebih mengasyikkan dari hari kemarin

uda dulu ya Kawan
Masih banyak buku yang belum kubaca...
Blitar, 18 Februari 2012. 6.33


Kawan, bila kau tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, percayalah padaku bahwa saudara dan keluarga bukanlah mereka yang ada karena pertalian darah semata. Tapi keluarga ada dimana-mana, lahir karena kepedulian dan kebaikan. Dan ingatlah kau masih punya Allah yang selalu ada untukmu.


2 komentar:

  1. Siiip zaaa....
    bagus, aq datang dari kampung halaman dan dari SMA seorang diri. Tidak ada satu desaku yang kuliah disini. Jadi aku suka dengan teman baru dan keluarga baru. ^_^ . . . thanks for your diary.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks bi....
      Ya antum punya banyak keluarga disini....kita semua makhluk-makhluk kelas kecil adalah saudaramu, IMM, UKM , bahkan semua orang yang antum kenal dan temui adalah saudara...

      Trus smangat ya....

      Hapus