Saya selalu
ngeri ketika melihat orang marah, dahinya yang mengkerut, pipinya yang
memberengut, giginya yang gemeretuk, apalagi ditambah nada suaranya yang meninggi. Kadang
kata-kata sengak keluar dari mulutnya dan tingkah liar dilakukannya. Ngeri
sekali! Meski tak semua kemarahan seperti itu, ada pula orang yang marah dengan
diam atau lebih tepatnya mendiamkan, cuek dan dingin. Orang dengan tipe marah
seperti ini memang tidak mengerikan bagi saya, tapi susah dipahami apa maunya.
Adapula marah
yang tidak muncul dari sikap, tapi dari tulisannya, kata-katanya. Orang yang
marah biasanya tulisannya acak-acakan, sekenanya dan tak dipahami dengan jelas
maksudnya, adapula yang marah dengan deskripsi yang tertata, namun jelas sekali
bahwa ia marah dan kecewa. Tulisan memang sederhana, tapi ia bisa memberi banyak makna, termasuk
mengatakan pada semua orang kalau aku marah, aku kecewa!
Saya mengerti,
emosi memang susah sekali dikendalikan dalam keadaan tertentu, apalagi saat
kondisi begitu mengecewakan dan menyebalkan, semua tidak beres, semua gagal.
Rasanya seperti ada paku menghujam hati, rasanya seperti baju kumal yang
diperas berkali-kali. Marah, sebal, kecewa, terluka!
Tapi, saya tahu
sebagai seorang perempuan saya harus pandai-pandai menahan emosi dan meredam
emosi orang lain. Karena perempuan jika tidak pandai mengendalikan dan
mengarahkan emosinya, akan lebih mengerikan dan menyakitkan orang lain. Pernah
lihat perempuan jambak-jambak rambut kan? Saling cubit lalu teriak-teriak
emosional, umpatan
keluar dan saling dorong pun tak terelakan. Ujung-ujungnya setelah merasa capek
bertengkar dan jengekel tak ketulungan ia akan menangis sambil terus mengumpat.
Marah perempuan-perempuan yang seperti ini sangat lucu dan mengemparkan, karena
semua orang pasti mendengar teriakan emosional itu.
Beda dengan
lelaki, meskipun cara bertengkarnya lebih garang, saling tonjok, saling tendang, saling tampar, tapi
lelaki diam dalam marahnya, umpatannya tak sebanyak perempuan mengumpat. Lelaki
dalam pertengkarannya tak mungkin berteriak-teriak seperti perempuan. Meski
garang dan sangar, pertengkaran antar lelaki lebih heroik dan menaikkan
adrenalin daripada pertengkaran perempuan.
Tapi, marah dan kecewa bukan hanya soal pertengkaran personal. Marah dan
kecewa juga terjadi pada orang tua kepada putra-putrinya. Sering kan dimarahi
ayah dan ibu? Itu sebenarnya bukan karena mereka yang pemarah, tapi karena kita
sebagai anak yang salah dan harus diluruskan. Jika mereka memarahi dan
menasehati, itu tandanya masih sayang dan peduli.
Sebagai seorang yang telah dewasa, tentu kita harus belajar mengelola
kemarahan dan memposisikan diri dengan kemarahan seseorang. Karena di masa
depan kita juga akan menjadi orang tua, menjadi ayah dan ibu. Dari orang tua
saya, dari kakak-kakak sepupu saya yang sudah punya beberapa anak, saya belajar
satu hal tentang mendampingi kemarahan.
Mereka tak pernah memarahi anak mereka secara bersamaan. Jika anak berbuat
salah dan harus diluruskan, jika ayah harus marah, maka ibu hanya diam dan
menenangkan. Menenangkan suaminya dan anaknya. Begitupun sebaliknya.
Dari mereka saya belajar, bahwa marah bersama-sama hanya akan membuat anak
tertekan dan merasa dihakimi bahkan mereka akan merasa sangat bersalah. Untuk
itulah harus ada salah satu yang jadi ‘pendamai’. Jika ayah sudah sejak tadi
memarahi putranya, maka ibu hanya diam, memandangi putranya yang tertunduk,
lalu setelah dirasa cukup ibu akan meminta ayah menyudahi kemarahannya. Lalu
ibu memeluk putranya dan membawanya berbincang berdua, ibu akan menenangkan dan
menasehati dengan tenang. Begitupun sebaliknya, jika ibu yang sedang tidak bisa
mengontrol emosinya, maka ayah yang jadi ‘pendamai’ begitulah ilustrasinya.
Meski memarahi anak tentu tidak baik juga, seharusnya sebisa mungkin orang
tua bisa menahan emosinya dan memilih menasehati pelan-pelan pada putranya.
Anak yang dididik orang tua yang sabar tentu berbeda dengan anak yang dididik
orang tua yang garang, tapi siapa yang bisa menjamin emosi manusia? Naik
turunnya tak bisa diprediksi.
Meski sama-sama marah, meski sama-sama kecewa, mendampingi kemarahan mutlak
harus dilakukan oleh orang tua pada anaknya, oleh kakak pada adiknya, oleh
senior pada juniornya, oleh atasan pada bawahannya atau barangkali berbalik, kemarahan
dari yang lebih muda ke yang lebih tua.
Meski diam, bukan berarti pendamping kemarahan acuh, cuek dan tega melihat
seseorang di serang amarah. Itulah cara terbaik untuk memberikan kesadaran,
efek jera sekaligus menenangkan. Sebagai perempuan saya juga harus belajar
untuk mendampingi kemarahan dalam diam karena selama ini sudah terlalu banyak
bicara dan emosional. Marah itu wajar, kecewa itu biasa, yang tak biasa adalah
ketika kita bisa mendampingi kemarahan dalam diam dan menenangkan, menguatkan
dan menyadarkan pelan-pelan.
Bukankah seorang perempuan itu tempat bercerita dan penawar luka? Bukankah
seorang ibu itu tempat mengadu? Saya harus lebih banyak belajar, belajar
mendampingi kemarahan.
Yogyakarta, 8 Desember 2014
Rizza Nasir
Ada gak ya marah yang benar. Saya hampir gak pernah marah karena saya tidak tahu marah yang benar. Marah yang tidak menyakiti hati dan fisik orang yang dimarahi.
BalasHapus