Saya mengenal seorang pria, 25
tahun usianya. Sebut saja namanya Hari. Dia adalah teman kerja saya. Satu tim
kami 3 orang. Saya, Mas Hari dan Mbak Dea. Sejak saya bergabung dalam tim ini hampir 3 bulan ini, saya
merasa mereka berdua lebih dari sekedar rekan kerja, mereka sudah seperti
saudara saya sendiri.
Di sela-sela jam kerja, untuk
menghilangkan kebosanan saya biasa membuka perbimcangan. Tentang banyak hal,
isu terkini, lagu baru, film baru, tulisan atau saya minta diajari editing dan video
making. Pendek kata bersama mereka saya menemukan kembali iklim berbincang dan
diskusi yang dulu akrab saya jalani di berbagai organisasi yang saya ikuti.
Salah satu yang pernah menjadi
perbincangan serius kami bertiga adalah foto yang diunggah Mas Hari di akun
facebooknya. Fotonya saat menghadiri wisuda kekasihnya di sebuah universitas
swasta di Jogja. Saya tak tahu pasti apakah perempuan tersebut seusia atau adik
kelasnya. Yang pasti, Mas Hari seharusnya juga sudah wisuda, karena dia masuk
di jurusan IT pada tahun 2009. Diterima bekerja dan kesibukannya mengikuti
event IT membuatnya memilih menunda wisuda dan akhirnya kekasihnya yang wisuda
lebih dulu.
Sebelum hari wisuda itu tiba, Mas
Hari memang pernah cerita tentang kekasihnya pada saya dan Mbak Dea, kami
sering menggodanya, meminta dia segera melamar. Nanti keburu dilamar orang.
Tapi kelihatannya Mas Hari santai saja. Hanya senyum-senyum sendiri, tidak jelas apa arah senyum itu.
Sehari setelah menghadiri wisuda,
saya bertanya padanya, lebih tepatnya penasaran, bagaimana ceritanya saat
bertemu orang tua kekasihnya itu di prosesi wisuda. Awalnya dia bercerita
dengan senyuman, kelihatannya bahagia bisa mendampingi wisuda, terlebih menyandingnya
saat berfoto bersama.
Raut muka Mas Hari berubah lesu
ketika ia mengatakan, “Ada seorang lelaki sudah PNS yang melamar dia, dia
bilang padaku semalam”
Kami kaget, “Benarkah begitu?”
Mas Hari hanya mengangkat bahu dan membuang muka. Saya dan Mbak Dea hanya
berpandangan.
“Orang tuanya memang ngobrol
denganku, sambutannya baik kemarin, tapi ketika di rumah orang tuanya meminta
dia untuk memastikan, apakah aku benar-benar serius atau hanya main-main. Kalau
memang serius, segera tamatkan sarjana dan menikah. Kalau tidak, sudah ada yang
mengutarakan ingin melamar, dia sudah mapan, sudah PNS”
Saya kelu mendengar ucapannya.
Menyedihkan!
“Kalian tahu kan, aku belum
menyentuh skripsiku. Masih harus setengah tahun lagi, itupun kalau aku
benar-benar serius. Kerjaku juga begini bersama kalian, gajinya nggak seberapa,
nggak sebanding dengan PNS, apalagi dia akan melanjutkan S2 di UGM bulan depan”
Lengkap sudah, gadis itu
benar-benar sudah melumatkan kepercayaan diri Mas Hari . Sejenak aku termenung,
apakah itu yang dirasakan lelaki? Kebanyakan lelaki? Apakah semua lelaki begitu
terintimidasi saat perempuannya berada pada titik lebih tinggi? Apakah ia
minder saat ada lelaki lain yang lebih mapan?
Ah, saya jadi ingat nasehat
beberapa saudara yang mengatakan, “Jangan melanjutkan S2 dulu sebelum menikah
Za, kalau kamu S2 nanti lelaki yang melamar kamu akan minder”
Saya galau berat saat itu, untung
saja ibu dan ayah meyakinkan dan mengizinkan untuk S2, “Jodoh itu bakalan
datang semdiri Nduk, kuliahlah kalau kamu mau kuliah, jangan takut. Jodohmu
sudah pasti ada, tugasmu adalah memperjuangkan yang lain. Budalo Nduk!” Itu
kata ibu yang menguatkan saya, membuat mantap mendaftar S2. Bagi saya
mendapatkan restu orang tua adalah modal yang mematahkan semua keraguan.
Andai semua lelaki tahu, bahwa
perempuan melihat seorang lelaki dari potensi, bukan yang ia capai saat ini.
Memang banyak perempuan yang di cap matre. Tapi perempuan yang mengerti,
ia akan mencintai lelakinya sepaket. Kekurangan dan kelebihannya. Ia akan
menghormati lelakinya sebagai suaminya, lelaki yang memegang kunci surganya.
Terlepas dari istri yang pendidikannya lebih tinggi atau penghasilannya lebih
mapan. Di rumah istri tetaplah istri, dan suami adalah suami. Suami tetaplah
pemimpin baginya, bagaimanapun keadaannya. Masih adakah alasan untuk minder?
Saya memahami ego lelaki memang
tinggi, sejak kecil lelaki memang sudah didoktrin sebagai petinggi, sing
ngayomi lan ngragati, mungkin rasa
minder itu muncul karena sebagai lelaki ia merasa kalah dari perempuannya yang
penghasilannya atau pendidikannya lebih tinggi. Merasa kalah dan kehilangan
kepercayaan diri. Saya rasa semua lelaki harus instropeksi jika ingin
mempertahankan rasa minder itu lebih lama.
Sebagian lelaki menginginkan
istri yang di bawah dia, lebih muda usianya, pendidikannya di bawahnya dan
lebih bergantung padanya. Iya kan? Sebagian yang lain menginginkan istri yang
dewasa jiwanya, lebih tinggi pendidikannya, lebih cerdas dan mandiri Iya kan?
Ini beda lagi dengan lelaki yang teguh
memegang prinsip jawa. Lelaki yang kelak jika beristri, berpotensi menempatkan
istrinya sebagai wargo kapindo, yang berarti dia harus manut pada
semua ucapan suaminya, salah atau benar manut saja, tidak boleh
membantah dan harus menuruti semua peraturan suami. Pokoknya apa permintaan
suami laksanakan! Tidak boleh menolak! Memang sudah sepatutnya begitu! Suami
menguasai istri sepenuhnya! Ini tentu sangat menyiksa batin istri, meski budaya
telah mengajari mereka untuk nrimo.
Apakah lelaki yang bermimpi besar dan berpemikiran matang mau
menikahi perempuan yang tidak bisa apa-apa, kurang pergaulan dan pengalaman?
Apakah ia mau anak-anaknya lahir dari perempuan yang hanya bisa menuntut
kesejahteraan dan tidak bisa mengelola uang dengan benar? Apakah ia mau dalam
perkembangan karirnya, ia masih harus mengajari istrinya tentang hal-hal yang
seharusnya sudah dikuasai istrinya sebelum pernikahan mereka? Sudah jelas
bukan, bahwa perempuan yang kelak mendampingimu harus berkualitas?
Tapi entah kenapa kebanyakan
lelaki masih berkubang pada minder. Perasaan minder lelaki itu sangat menyiksa.
Baik untuk lelaki itu sendiri juga bagi perempuannya. Padahal perempuan yang
paham benar dan dewasa, ia tak akan menuntut macam-macam. Ia hanya ingin
kepastian dan keberanian dari lelakinya untuk memperjuangkannya. Sementara
lelaki masih harus mengalahkan mindernya, takut-takut, maju mundur, maju
mundur. Iya tidak-iya tidak! Ah, ini sangat menyiksa perempuan Mas!
Untuk masalah penghidupan dan
kesejahteraan, tak usah risaukan itu! Memang, dalam rumah tangga kokohnya ekonomi
itu penting, tapi perempuan yang dewasa akan memahami bahwa lelakinya tak harus
mapan sekarang. Ia akan lebih bahagia jika bisa mendampimgi suaminya dari mulai
nol sampai akhirnya sukses. Sekali lagi, perempuan yang paham benar, dia
melihat potensi! Saya percaya, saat sudah memiliki tanggung jawab anak dan
istri, lelaki akan tumbuh jiwanya untuk menghidupi. Bukankah Allah sudah
berjanji bahwa pernikahan membuka pintu rezeki?
Hey Mas yang baca tulisan ini.
Jangan minder Mas! Jika kamu benar-benar merasa perempuanmu adalah perempuan
yang tepat untuk jadi ibu anak-anakmu. Segera pastikan dia, beri dia kepastian
bahwa kamu memilihnya. Jangan ragu atau takut! Ragu dan takutmu itu tak akan
menyelesaikan apa-apa, juga tak akan membawa hubungan kalian berakhir bahagia.
Bukankah sejarah mencatat, sejak dulu lelaki selalu ingin mendobrak dan
memulai? Mulailah Mas! Kamu punya hak untuk itu! Barangkali perempuan itu
sekarang sedang menunggumu!
Mas, mungkin sekarang kamu sedang
minder karena perempuanmu lebih tinggi darimu, baik dari pendidikannya atau
penghasilannya. Yakini, jika memang dia perempuan shalihah yang berbudi, dia
akan menghormatimu sebagai suaminya, ayah dari anak-anaknya. Dia akan
menghebatkanmu dan dia bisa menjadi partner hidup yang baik untukmu. Lagipula,
pernikahan bukan tentang siapa yang menghormati dan dihormati bukan?
Masing-masing punya hak yang sama dalam penghormatan, kasih sayang dan
kesejahteraan. Masing-masing punya kewajiban yang sama dalam mendidik buah hati
dan mewujudkan sakinah mawaddah warahmah. Iya kan? Living partner!
Saya memang belum menikah, tapi
saya bisa menuliskan ini karena saya sudah membuktikan bahwa kekuatan cinta dan
partner hidup yang benar-benar sejati itu ada. Ayah dan ibu saya! Ayah saya
hanya lulusan PGA Kediri, sementara ibu yang lebih muda darinya telah menamatkan
sarjana Filsafat di UGM. Saat mereka menikah ibu saya sudah menjadi dosen di
UNISKA. Ayah menikahi ibu karena menganggap ibu adalah perempuan cerdas dan
mandiri. Aku iki wong lanang goblok, lek aku golek bojo goblok pisan. Koyo
opo gobloke anakku, mangkane aku golek bojo wong pinter, ben iso duwe anak
pinter-pinter!
Kini ayah dan ibu saya sudah
menikah 24 tahun. Mereka rukun. Ibu menjadi istri yang sangat baik dalam
mengelola rumah tangga. Padahal ayah saya hanya petani, sementara ibu keluar
dari pekerjaannya dan fokus menjadi ibu rumah tangga, tapi saya tak pernah
merasa kekurangan, itu karena ibu saya yang cakap. Saya dan adik-adik juga
tumbuh sehat dan punya semangat belajar tinggi. Itu karena ibu saya yang pandai
mengurus kami dan memberikan motivasi terbesar agar kami terus sekolah.
Ayah menghormati ibu dan ibu
menghormati ayah. Meski kini ayah saya sakit-sakitan, hampir buta, harus cuci
darah seminggu dua kali dan berteman kursi roda. Ibu saya tetap tegak menopang
keluarga kami. Ibu saya bekerja dan merawat ayah saya dengan baik dan sabar.
Dalam keadaan senadir itu, ayah dan ibu masih bisa guyonan berdua. Masih bisa
tertawa bahagia. Mereka telah menemukan bahagia yang lain. Lebih dari sekedar
fisik, kemapanan dan tingginya pendidikan.
Salam untuk Mas masa depan saya,
siapapun namanya, dimanapun dia sekarang....
Mas, Tak perlu minder
denganku, meski sekarang aku menempuh S2 dan sudah bekerja. Jika memang kamu
yakin ingin menjadikan aku ibu dari anak-anakmu, tak usah minder Mas! Katakan
padaku atau langsung pada ayahku! Aku tak butuh gelar! Gelarku atau gelarmu,
ini semua hanya fiktif! Aku butuh kita yang nyata. Aku butuh dirimu untuk menyempurnakan separuh
agamaku!
Mas, siapa namamu? Apakah
kita sudah pernah bertemu?
Dan untuk kalian Mas Mas yang masih
minder dengan perempuan impiannya. Saya berikan bingkisan ini, ini pernah
diucapkan Mario Teguh suatu hari :
KARENA DIA SUCI JIWANYA,
CERDAS DAN MANDIRI
Sudahkah perempuanmu sekualitas
itu Mas?
Sampaikan salamku padanya
Rizza Nasir
Aku iki wong lanang goblok, lek aku golek bojo goblok pisan. Koyo opo gobloke anakku, mangkane aku golek bojo wong pinter, ben iso duwe anak pinter-pinter!
BalasHapusPesan yang sama dengan bapakku! Tapi versinya lain
Le, Bapak kuliah gak selesai, bapak cuma juru ketik di kantor, sekarang jaman komputer bapak gak bisa apa-apa, Selain ngantor bapak gak bisa ngerjain apa-apa lagi. mamamu memang bukan sarjana, Tapi ia pintarnya sama dengan sarjana. Yang sama kamu dengan bapak itu nekatnya. Jangan salah pilih istrui,le. Cari istri yang pinter, le!
Pesan terbaru :
Ojo njalok Istri ning Jowo engko ora betah ning Papua