Baru saja sepuluh menit yang lalu
aku sampai, kerja hari ini benar-benar menguras pikiranku juga tenagaku, memang
kelihatannya duduk di depan komputer dan sesekali bisa menengok socmed di
tab sebelah tapi itu saja tak cukup menghilangkan pegal-pegal di pundak, dan
kebuntuan pikiran. Seharian ini ada empat artikel panjang yang harus kutunaikan. Sekitar 60 halaman folio. Harus riset ke
berbagai sumber, harus merangkai kata yang pas, yang langsung menuju sasaran, belajarlah
untuk tidak puitis! Itu yang dikatakan atasanku.
Empat tahun terakhir aku memang
suka membaca puisi, membaca saja, untukku sendiri bukan deklamasi. Kurasa ini
adalah pengaruh teman-teman FLP Malang yang selalu membuatku iri, karena mereka
jago sekali di semua lini literasi. Kini, setelah aku bekerja dibalik layar
sebuah website perusahaan, aku harus belajar lagi menggunakan bahasa marketing
yang lugas, sesekali saat editing masih ada saja kalimatku yang dicoret,
lagi-lagi Terlalu puitis! Ah, sudahlah! Yang penting aku sudah belajar
dan aku akan belajar lagi!
Kurebahkan tubuhku di atas kasur.
Ahh senangnya bertemu bantal, ingin rasanya langsung tidur. Duduk di depan
komputer dan berpikir keras benar-benar membuat badanku butuh istirahat
sempurna. Tidur! Tapi, ah, bayangan itu lagi membayangi pejaman mataku.
Iya aku di Jogja, sebulan lalu
aku diterima kuliah disini, alhamdulillah!
Itu sms yang kukirimkan padanya,
setelah dia bertanya, Rizza sekarang kamu
di Jogja ya?
Senyap, sms balasanku tak
berbalas lagi. Selanjutnya setiap aku mulai membuka facebook dan melihatnya
online, dia selalu off. Selalu begitu. Aku datang, dia pergi. Aku sapa di chat
ia tak pernah peduli. Beberapa hari lalu dia memang membalas smsku, tapi beda
sekali dengan balasannya yang dulu. Datar sekali! Singkat! Padahal itu bukan
gayanya, biasanya dia tidak begitu!
Mungkin aku terlalu berlebihan
atau salah mengartikan, tapi memang aku paham semua kebiasaan dia, kami cukup
dekat selama ini. Aku bisa membaca perubahan apapun dalam dirinya meski kami
tak bertemu. Sejenak aku terpikir, apa karena smsku yang dulu? Tentang Jogja?
Tentang kuliah S2? Apa salahnya dengan sms itu? Bukankah dia bertanya dan aku
menjawabnya? Lalu?
Setahuku dia memang punya ambisi
besar untuk melanjutkan S2 dan menjadi dosen, dia bahkan mengutarakan itu jauh
hari sebelum aku punya pikiran melanjutkan S2, “Guru bukan jalanku Rizza, kalau
dosen mungkin iya, aku mau” Sejujurnya aku juga ingin menjadi dosen,
kelihatannya keren, tetapi saat itu untuk kuliah S1 saja masih harus bekerja
ngelesi kesana-kemari, bagaimana dengan S2? Rasanya sulit! Apalagi kondisi
ekonomi keluarga kami yang terpuruk sejak ayah sakit. Kukubur dalam-dalam
impianku, aku lebih memilih menyemangati temanku yang lain, yang punya mimpi
S2. Kamu pasti bisa! Itu yang selalu aku katakan, lebih seperti
menasehati diri sendiri sebenarnya.
Iya, tak salah lagi! Diterimanya
aku kuliah S2 di Jogja, kota impiannya membuat dia acuh padaku. Aku memang tak
bilang siapa-siapa saat mendaftar. Kami memiliki kesibukan masing-masing
setelah memperjuangkan skripsi dan wisuda. Bahkan aku harus menganggur beberapa
bukan sebelum akhirnya S2, masa pengangguran itu sangat membosankan dan
menyakitkan bagiku. Dia lebih beruntung karena masih bisa hidup di Malang, dan
memiliki pekerjaan yang mapan. Ya, dia masih disana sementara aku terpuruk di
Kediri.
Kejadian ini hampir sama dengan
sahabatku yang lain, saat itu aku ikut perjalanan ke Jakarta bersama
teman-teman PGMI, kuberitahukan padanya bahwa aku sekarang di Jakarta, diantara
rute perjalannan itu kami serombongan singgah di Empat Mata.
Kalau kamu suka nonton empat
mata, nanti nonton ya! Ada aku disana
Kuketikkan sms itu, sebenarnya
bukan hanya kepadanya, tapi pada keluargaku juga. Maksudku sebenarnya bukan
menonton diriku, tentu saja aku bukan bintang tamu. Aku akan ada di barisan
penonton yang mungkin tak kelihatan di tivi, kabarnya bintang tamu hari ini
sangat inspiratif, makanya aku mengirim sms itu, agar semuanya bisa mengambil
pelajaran dari bintang tamu hari itu. Aku secara langsung di studio, mereka
dari layar kaca. Menurutku itu sama
saja!
Tapi tak kusangka responnya
berbeda, sehari setelah aku pulang dari Jakarta, ia menandaiku sebuah catatan
di facebook. Sebuah cerpen. Meski tak ada namaku, tapi aku tahu dia menceritakan
diriku. Dalam cerita itu, dia merasa kalah dariku, dia ingin seperti aku tapi
tak mampu. Dia ingin bisa pergi kemana-mana agar tak terpenjara dinding
rumahnya tapi ia tak tahu caranya. Dia menangis semalaman saat tahu malam itu
aku di Jakarta, dia merutuki dirinya yang tak bisa apa-apa. Dia bilang aku
terlalu jauh mengunggulinya.
Membacanya benar-benar membuatku
merasa bersalah, harusnya tak kukirim sms itu padanya. Mungkin orang lain akan
menanggapi sms itu biasa saja, tapi dia berbeda. Rupanya selama ini dia
menganggapku sebagai cermin. Dia ingin seperti aku. Padahal sampai kapanpun dia
tak akan bisa menjadi diriku pun aku juga tak mau menjadi dirinya. Kami harus
menjalani hidup kami masing-masing dan memperjuangkannya. Menjadi diri sendiri
bagaimanapun keadaannya adalah keindahan, menurutku. Tapi dia benar-benar
terpuruk, dia bahkan menangis semalaman gara-gara aku. Ah aku semakin galau,
apakah aku melukainya?
Suatu hari di kesempatan berbeda,
hari itu hari pengumuman PKLI Malaysia, aku tahu sahabatku ini sangat
menginginkan kesempatan itu. Ambisinya jelas sekali terlihat. Sementara aku?
Aku sama sekali tidak ambisi, hanya ingin mencoba peruntungan saja. Kalau lolos
ya alhamdulillah, kalau tidak ya tak masalah. Toh aku punya mimpi menjadi guru
praktikan di MIN 1 Malang dari dulu, bukan Malaysia
Dia tak membalas sapaanku saat
kami bertemu, dia melengos begitu saja. Saat itu kami bertemu di tangga gedung
B. Mulutnya cemberut dan raut mukanya kusut, sangat tak enak dilihat. Saat
kutamya “Kamu kenapa?” Dia tak menjawab lalu pergi.
Setelah bertemu dengannya aku
menuju gedung micro teaching, ingin tahu hasil pengumuman seleksi itu. Ternyata
benar disitu ada namaku. Sama persis seperti yang di smskan salah satu temanku.
Aku diterima! Ya! Senang sekali rasanya!
Aku harus menyelesaikan skripsi,
mengurus keperluan ayah yang opname sampai mengurus pasport dan semua keperluan
berangkat ke Malaysia, aku hampir saja lupa temanku yang marah padaku karena
aku yang diterima dan dia tidak. Yang jelas dia masih acuh padaku saat beberapa
kali kami bertemu.
Tapi Tuhan telah menghapus
lukanya, tepat 10 Mei 2014, hari wisudaku, kami bertemu. Kali ini raut mukanya
cerah, “Rizzaaaa, wah, akhirnya kamu wisuda, kamu cantik sekali!” Dia berkata
seperti itu sambil mengacak-ngacak wajahku. Lalu memelukku erat! Tuhan
terima kasih kau kembalikan dia seperti dulu.
Selama ini aku hanya ingin
membahagiakan orang tuaku, aku ingin terus berjuang dan memotivasi diriku
sendiri, bahwa aku bisa mencentang semua bucket
list yang kubuat. Untuk itulah aku terus semangat. Aku juga berusaha
memberi semangat pada semua orang yang kukenal, terlebih pada mereka yang
memiliki kondisi fisik yang sama denganku. Tak ada lagi yang bisa kuperbuat
kecuali itu. Kadang aku tak habis pikir, kenapa mereka yang hidupnya normal
terus mengeluh dan kenapa mereka yang punya kekurangan juga mengeluh, bahkan
cenderung mengutuki nasib sendiri. Keluhannya sama setiap hari, setiap saat!
Aku mencoba tenang dan sabar menghadapinya, meski kadang-kadang jengkel juga. Masalah itu lagi? Bukankah kemarin sudah
selesai?
Apakah salah jika aku terus
berusaha melakukan yang terbaik? Apakah salah jika aku berusaha menjadikan
setiap ketidakmungkinan atas diriku menjadi mungkin? Jika akhirnya aku
mendapatkannya, dan mereka menjadi cemburu dan bersikap beku padaku. Apakah itu
salahku? Kurasa, itu bukan salahku dan mimpi-mimpiku!
Bukankah sudah beratus-ratus kali
aku katakan, kita bisa melakukan hal yang
kita inginkan asalkan kita mau! Kalau tidak bisa ya usahakan bisa, kalau tidak
boleh ya yakinkan agar boleh, buktikan bahwa kita bisa menggapai keinginan
kita!
Aku tak punya mantra apa-apa. Aku
hanya punya bismillah dan kemauan.
Toh itu semua sudah kukatakan padamu, padamu dan padamu yang lain. Sudah kan?
Lalu kenapa kalian beku padaku? Tak lagi menyambut sapaanku? menganggapku
sebagai saingan? Musuh, yang pada akhirnya harus kalian kalahkan?
Kalau kalian tahu, aku tak bisa
apa-apa. Kalian terlampau sempurna untuk kukalahkan. Lagipula aku tak
menganggap diantara kita ada persaingan, aku tak ingin mengalahkan siapapun!
Bagiku, kita bisa berjalan beriringan tanpa mendahului. Kita bisa bersama
menggapai mimpi-mimpi.
Kalau aku mau, aku bisa
mengikhlaskan kebekuan dan kehilangan kalian, toh temanku banyak jumlahnya. Aku
masih memiliki yang lain. Tapi aku tak sejahat itu! Sejak pertemuan kita entah
berapa tahun lalu, aku berjanji akan menjadikan ukhuwah ini tak hanya sekedar
pertemanan, tapi saudara sampai tua!
Kalian, kapan kebekuan ini
mencair? Nomer handphoneku masih sama, akun facebook, email dan twitterku masih
sama. Rizza Nasir. Tak inginkah kalian menyapaku lagi?
Aku bangun dari tiduranku, ingin
mengganti pakaian lalu membasuh wajah yang kusam. Biasanya capak kerja akan
hilang jika sudah menyentuh air. Tiba-tiba sebuah sms masuk
Oh jadi sekarang tinggal di Jogja? Kuliah, kerja atau ikut mertua?
Aku teringat kemarin menanyakan
kontak FLP Jogja, aku tanya nomer, bukan balasan sms seperti ini yang
kuinginkan. Balasan seperti ini yang telah membuatku terjebak kebekuan panjang
Ikut mertua? Ah belum, belum dipertemukan dengan dia nih. Aku nggak
kuliah, aku kerja disini, masih baru, dalam masa percobaan. Send
Setahuku, dia punya impian
tersendiri atas nama Jogja. Untuk itu aku membalasnya seperti itu. Aku tahu aku
berdosa karena berbohong padanya, tapi seperti yang sudah-sudah kejujuran telah
melumatkanku pada kebekuan, aku nyaris kehilangan sahabat-sahabatku. Jika aku
kehilangan yang lain, aku tak ingin kehilangan lagi yang ini. Aku akan jujur,
tapi nanti. Entah kapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar