Ini alat rotgen paru dan jantung |
Aku baru bangun saat Adzan Shubuh, aku
terdiam mengamati setiap sudut ruangan. Hampir tak kupercaya kalau aku
benar-benar seorang pasien dari sebuah penyakit yang tidak main-main. Ibuku tertidur di atas karpet. Sebenarnya ada
kasur khusus bagi penunggu pasien. Tapi ibuku tak mau, dibiarkannya ranjang itu
kosong sementara ia menggelar karpet. Ibuku memang takut hal-hal medis, apalagi
dengan seprei berwarna putih. kubawa infusku ke kamar mandi, untuk berwudhu
lalu sholat dengan duduk. Seumur hidupku, baru kali ini aku benar-benar
menjalankan rukhsoh sholat. Setelah sholat Shubuh ibu menyetel televise
mendengarkan ceramah Mamah Dedeh
Di sela-sela ceramah itu kukatakan pada
ibu
“Bu, biayanya bagaimana? Kenapa ibu
memilih kamar kelas 1 sih? Kenapa nggak memilih 3 atau kelas 2 saja, lebih
murah, nanti uangnya bisa digunakan untuk yang lain”
“Tenang Nduk, awakmu gak ngerti to, ibu
dan ayah sudah mendaftarkan kalian asuransi sejak setahun yang lalu atas nama
Mbak Rizza dan Dek Faisal. Nah, kamar yang tercover
untuk asuransi adalah kamar kelas I kalaupun pengen menempati kamar kelas 2
ya silahkan, tapi ibu ndak mbayari, ora
nduwe dhuwit “begitu kata ibu padaku dengan seringai lucu.
“Nah, termasuk biaya operasi, obat dan
perawatan, semua juga ditanggung asuransi. Sampean
ora usah mikirne kuwi, sing penting sehat!
Ya
Allah, aku sungguh tak tahu kalau ayah dan ibuku sudah menabungkan asuransi
untukku. Asuransi yang berlaku seumur hidupku. Padahal mereka berdua hanya
‘rela’ sebagai peserta JKN BPJS Kesehatan dari pemerintah sementara aku dan
adik-adikku di asuransikan ke perusahaan asuransi besar yang bonafid. Uang
darimana? Mengingat ayah dan ibuku hanyalah petani biasa. Tapi memang kuakui
setahun lalu, panen cabai milik kami mendatangkan hasil. Panen banyak pas harga
cabai mahal. Mungkin tabungan itulah yang digunakan untuk mengasuransikan kami.
Mereka sudah berpikir jauh sekali atas diri kami. Oh, ayah, ibu. Terima kasih!
Hari ini ada dua hal penting yang
kujalani. Setiap pasien bedah harus menjalaninya. Pertama aku harus menjalani
rontgen paru jantung. Untuk mengetahui apakah ada masalah dengan paru dan
jantungku. Karena kesehatan keduanya penting untuk menentukan obat apa yang
cocok untukku dan penangan serta perawatan selanjutnya.
Aku dibawa dengan kursi roda menuju
sebuah ruangan, namanya Ruang Radiologi. Disitulah aku menjalani serangkaian
tes. Aku diperintahkan berdiri memeluk alat yang tak kutahu namanya. Lalu aku
disuruh tarik nafas dalam, selanjutnya alat itu mengeluarkan kilap cahaya.
Seperti blitz. Jantung dan paruku telah terfoto.
Saat aku mulai naik kembali di kursi
roda, seorang perawat menghampiriku, ahaaa… aku ingat dia adalah perempuan yang
berada di ruang USG empat hari lalu.
“Bagaimana Mbak Rizza, sehat setelah dari Jogja? Kapan operasinya? Siap kan?
“Bagaimana Mbak Rizza, sehat setelah dari Jogja? Kapan operasinya? Siap kan?
“Saya siap Sus!”
“Bagus! Saya tahu kamu sudah siap dari
dulu” Ia pun tersenyum meninggalkanku, dan perawat yang lain mendorong kursi
rodaku ke kamar.
Disana sudah menunggu seorang dokter dan
perawat, namanaya Anthony spesialis anastesi. Ia menanyakan padaku tentan jenis
bius yang aku mau. “Rizza mau dibius total atau separuh?”
“Kalau total itu gimana, kalau separuh
itu gimana Dok” mungkin pertanyaan bodoh, tapi aku memang tidak tahu, jadi aku
harus jujur bertanya, apalagi ini menyangkut hidup dan matiku.
“Kalau dibius total nanti kamu akan
tidak sadar selama operasi berlangsung. Sampai dua atau tiga jam setelahnya.
Kalau bius separuh atau spinal, kamu
akan tetap sadar, yang dibius hanya bagian perut ke bawah” Aku memandangi
ibuku, meminta pesetujuan, mengingat beliau pernah menjalani caesar saat melahirkanku dan
adik-adikku.
“Saya spinal aja Dok”
“Tidak takut?”
“Enggak, justru saya penasaran” jawabku
mantap
“Oke, nanti saya akan suntik dibagian
punggung, jangan kaget kalau kaki kamu lumpuh, itu cuma sementara nanti setelah
biusnya hilang akan kembali bisa digerakkan.
“Baiklah, sekarang sedang puasa kan?”
Nanti operasinya jam 2 ya Rizza dengan dokter Dominggus, Dokter Andre dan saya”
Jam 2? Empat jam lagi ya Allah… Hey, kenapa sekarang kamu nggak takut
seperti semalam?
Diary Appendectomy #8 Persiapkan Dirimu Untuk Operasi Rizza!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar