Malam kemarin seperti biasanya tiap hari Sabtu, jika pemuda lain menghabiskan waktu malam mingguan bersama pacar atau keluarga mereka, mungkin di Malioboro, mungkin di resto es krim, atau mungkin menikmati nasi kucing ditemani teh hangat di angkringan. Ah pasti nikmat dan seru sekali. Tapi sekali lagi, malam minggu saya masih sama pulang kerja pukul 19.00 WIB. Tak masalah, memang jam inilah yang saya pilih untuk tetap bekerja di hari libur. Selain untuk kesibukan juga menambah penghidupan. Saya cukup menikmati malam Minggu- malam Minggu saya, karena tiap malam sama saja.
Saya biasa naik Bus Trans Jogja. Untuk sampai ke shelter (tempat pemberhentian Trans Jogja) di dekat UIN dari Jalan Veteran, saya harus naik dua kali. Pertama naik 2A dari shelter RSIA Hidayatullah turun di Kridosono, lalu naik lagi 4B turun di shelter UIN. Perjalanan ini memakan waktu 90 menit. Lama? Iya! Waktu tunggunya yang biasanya lama.
Seperti biasanya pula, sambil menunggu kedatangan Trans Jogja jalur 4B saya manfaatkan membaca buku dan berbincang dengan petugas shelter. Malam itu perbincangan kami tentang ilmu kesehatan dan kekuatan doa untuk penyembuhan. Rupanya beliau ini paham benar tentang penyembuhan dengan doa.
Perbincangan kami terhenti saat ada dua ibu paruh baya, mungkin sekitar lima puluh tahunan yang masuk dan duduk di kursi tunggu. Saya ada di tengah mereka. Ketika saya tanya mereka baru darimana, dengan cepat ibu-ibu yang berpkaian kuning menjawab "Tekan manten ndek gedung mburi iku lho Dek"
Pantas saja pakaiannya gemerlap khas undangan manten, kenapa saya tadi harus bertanya, harusnya saya tahu dari pakaiannya. Lalu salah satu dari mereka membuka souvenir. Sebelum dibuka sempurna pun saya sudah tahu apa isinya, karena dibungkus mika bening dan dipercantik pita
"Eh opo isine?"
"Alah iki lho, sapu tangan", Ya Allah tipis ngene, jane niat opo ora menehi" (Ini lho sapu tangan, Ya Allah, tipis begini, niat nggak sih ngasih)
"Iyo i nggak niat paling", "Lek gak niat mending gak usah yo" sambung ibu berbaju kuning di sebelah kanan saya
"Lha iyo.. tipis ngene ckckc" lalu ibu di sebelah kiri memakainya untuk mengelap tangannya yang basah. Memang sedang rintik dan dingin sekali
Saya diam saja mendengar percakapan mereka berdua itu. Ternyata dibalik semua pemberian masih ada saja yang kurang di mata orang lain. Padahal selayaknya sebuah pernikahan souvenir memang diberikan, tapi jenis, bentuk dan harganya tentu disesuaikan dengan kantong mempelai dan keluarganya.
Souvenir pernikahan sendiri hanyalah sebagai pemanis pesta pernikahan, hanya sebagai tanda terima kasih atas kedatangan para tamu, atau sebagai pengingat pada tanggal itu tamu tersebut pernah mendatangi resepsi mempelai. Hanya itu. Tak lebih.
Harga souvenir pun beragam, ada yang murah sampai yang mahal, bahkan ada pula yang membuat souvenirnya dengan tangan sendiri, seperti ibu saya 24 tahun lalu, atau kakak sepupu. Ya, karena pertimbangan budget, membuat sendiri dinilai lebih murah.
Tentu saja keunikan dan bentuk dari souvenir diperhatikan. Macam-macam, ada yang sisir kecil, bros, tempat lilin, al-qur'an, bunga, sampai gelas, block note, lampu dan masih banyak lagi. Kalau tidak salah ibu saya juga pernah mendapatkan souvenir sapu tangan berhias seperti yang didapatkan dua ibu tadi. Sekali lagi beragam, dan tentu saja mempelai berharap semua tamu akan senang mendapatkan souvenir itu.
Sayangnya, masih ada saja pergunjingan semacam ini. Untuk hal yang sebenarnya tak perlu digunjingkan. Untuk hal yang sifatnya pemberian. Bukankah tak ada pemberian yang tidak niat jika sudah diberikan? Bukankah setiap souvenir pernikahan sudah dibicarakan matang-matang dan secara khusus dibuat atau dipesan? Kenapa kita tak bersyukur?
Jangankan souvenir, jajanan kotak yang dibagikan setelah melihat manten di desa-desa pun selalu tak luput dari komentar, pergunjingan atau rasan-rasan. Bisa ditebak, pelakunya adalah perempuan. Apakah perempuan selalu begitu? Ah semoga saja tidak! Beruntunglah para lelaki yang dianugerahi Tuhan kecuekan yang perbandingannya lebih besar dari perempuan, setidaknya dengan itu mereka terbebas dari keinginan terlibat pergunjingan.
Saya biasa naik Bus Trans Jogja. Untuk sampai ke shelter (tempat pemberhentian Trans Jogja) di dekat UIN dari Jalan Veteran, saya harus naik dua kali. Pertama naik 2A dari shelter RSIA Hidayatullah turun di Kridosono, lalu naik lagi 4B turun di shelter UIN. Perjalanan ini memakan waktu 90 menit. Lama? Iya! Waktu tunggunya yang biasanya lama.
Seperti biasanya pula, sambil menunggu kedatangan Trans Jogja jalur 4B saya manfaatkan membaca buku dan berbincang dengan petugas shelter. Malam itu perbincangan kami tentang ilmu kesehatan dan kekuatan doa untuk penyembuhan. Rupanya beliau ini paham benar tentang penyembuhan dengan doa.
Perbincangan kami terhenti saat ada dua ibu paruh baya, mungkin sekitar lima puluh tahunan yang masuk dan duduk di kursi tunggu. Saya ada di tengah mereka. Ketika saya tanya mereka baru darimana, dengan cepat ibu-ibu yang berpkaian kuning menjawab "Tekan manten ndek gedung mburi iku lho Dek"
Pantas saja pakaiannya gemerlap khas undangan manten, kenapa saya tadi harus bertanya, harusnya saya tahu dari pakaiannya. Lalu salah satu dari mereka membuka souvenir. Sebelum dibuka sempurna pun saya sudah tahu apa isinya, karena dibungkus mika bening dan dipercantik pita
"Eh opo isine?"
"Alah iki lho, sapu tangan", Ya Allah tipis ngene, jane niat opo ora menehi" (Ini lho sapu tangan, Ya Allah, tipis begini, niat nggak sih ngasih)
"Iyo i nggak niat paling", "Lek gak niat mending gak usah yo" sambung ibu berbaju kuning di sebelah kanan saya
"Lha iyo.. tipis ngene ckckc" lalu ibu di sebelah kiri memakainya untuk mengelap tangannya yang basah. Memang sedang rintik dan dingin sekali
Saya diam saja mendengar percakapan mereka berdua itu. Ternyata dibalik semua pemberian masih ada saja yang kurang di mata orang lain. Padahal selayaknya sebuah pernikahan souvenir memang diberikan, tapi jenis, bentuk dan harganya tentu disesuaikan dengan kantong mempelai dan keluarganya.
Souvenir pernikahan sendiri hanyalah sebagai pemanis pesta pernikahan, hanya sebagai tanda terima kasih atas kedatangan para tamu, atau sebagai pengingat pada tanggal itu tamu tersebut pernah mendatangi resepsi mempelai. Hanya itu. Tak lebih.
Harga souvenir pun beragam, ada yang murah sampai yang mahal, bahkan ada pula yang membuat souvenirnya dengan tangan sendiri, seperti ibu saya 24 tahun lalu, atau kakak sepupu. Ya, karena pertimbangan budget, membuat sendiri dinilai lebih murah.
Tentu saja keunikan dan bentuk dari souvenir diperhatikan. Macam-macam, ada yang sisir kecil, bros, tempat lilin, al-qur'an, bunga, sampai gelas, block note, lampu dan masih banyak lagi. Kalau tidak salah ibu saya juga pernah mendapatkan souvenir sapu tangan berhias seperti yang didapatkan dua ibu tadi. Sekali lagi beragam, dan tentu saja mempelai berharap semua tamu akan senang mendapatkan souvenir itu.
Sayangnya, masih ada saja pergunjingan semacam ini. Untuk hal yang sebenarnya tak perlu digunjingkan. Untuk hal yang sifatnya pemberian. Bukankah tak ada pemberian yang tidak niat jika sudah diberikan? Bukankah setiap souvenir pernikahan sudah dibicarakan matang-matang dan secara khusus dibuat atau dipesan? Kenapa kita tak bersyukur?
Jangankan souvenir, jajanan kotak yang dibagikan setelah melihat manten di desa-desa pun selalu tak luput dari komentar, pergunjingan atau rasan-rasan. Bisa ditebak, pelakunya adalah perempuan. Apakah perempuan selalu begitu? Ah semoga saja tidak! Beruntunglah para lelaki yang dianugerahi Tuhan kecuekan yang perbandingannya lebih besar dari perempuan, setidaknya dengan itu mereka terbebas dari keinginan terlibat pergunjingan.
Yogyakarta, 8 Maret 2015
Itulah realita. Kalau souvenirnya buku, belum tentu tamunya suka baca buku. Ada yang lebih dalam lagi. Sebenarnya seorang muslim wajib memenuhi undangan dari saudaranya apalagi jika walimahan. Ada juga sunnahnya yaitu mendoakan mempelai dengan doa yang mahsyur (ada di lagunya maher zain). Setidaknya sebagai tamu tahu adab-adab sederhana ini.
BalasHapussetuju dengan artikel mbak
BalasHapus