Bulan
Februari tahun lalu, saya mendapatkan kesempatan praktek mengajar di Malaysia,
di salah satu SD Internasional di daerah Kuala Lumpur, saya bersyukur sekali
atas kesempatan dari kampus saya ini dan saya menikmatinya. Disela-sela
kegiatan mengajar, saya pernah diajak oleh salah satu warga Indonesia yang
telah lama tinggal disana untuk mengunjungi Kongsi TKI. Kongsi adalah bahasa
melayu untuk perkumpulan atau organisasi. Disinilah perjalanan pertama saya
mengenal buruh migran lebih dekat untuk pertama kalinya.
Pukul
delapan malam, saya dalam perjalanan menuju kongsi TKI. Dalam hati saya
penasaran sekali, seperti apa kongsi TKI itu? Bagaimana keadaan mereka? Saudara
jauh saya, kabarnya juga ada yang jadi TKI di Malaysia, apakah dia juga ada
disana? Ada banyak pertanyaan yang ingin saya temukan jawabannya malam itu.
Tiba
di sebuah daerah yang sepi, tiba-tiba mobil kami dihentikan seseorang sebelum
berbelok ke tempat tujuan. Ada seorang berseragam, seperti satpam jika di
Indonesia, setelah bernegosiasi dengan bahasa melayu, mobil kami diizinkan
masuk. Sebelumnya saya membayangkan bahwa kongsi TKI semacam asrama, yang di
dalamnya ada banyak tempat tidur bertingkat lalu ada sebuah ruang pertemuan
tempat berlangsungnya acara malam ini, tetapi bayangan saya jauh dari
kenyataan.
Mobil
berjalan pelan, memasuki sebuah tempat yang mencekam, gelap. Ada banyak drum
gamping, kayu-kayu, semen, batako dan bangunan menjulang tinggi yang belum
jadi. Mobil terus masuk ke dalam bangunan, berbelok-belok, sopir rupanya sudah
hapal seluk beluk bangunan ini. Jalanan menanjak naik dan berputar, sampai
akhirnya kami turun, tepat di sebuah titik cahaya, yang makin lama makin
berpendar, yang sebelumnya mencekam seperti tak ada kehidupan makin lama makin
ramai.
Saya
berjalan lurus ke dalam, inikah kongsi TKI itu? Ada bilik-bilik kecil, dari
triplek, masing-masing bilik ada dapurnya, beberapa perempuan tampak
bercengkrama dengan pasangannya. Begitu melihat saya dan teman-teman mereka
menyalami dan menyuruh kami terus berjalan ke dalam. Dalam? Dalam yang mana? Batin
saya. Sungguh ini serupa perkampungan, ada banyak kamar-kamar buatan dari
triplek, dari kardus, dari apa sajalah yang bisa dijadikan sekat dan bisa
disebut “kamar”
Di
sudut-sudutnya ada semacam jemuran panjang. Ada baju-baju tersampir disana,
celana jins, daster, sarung dan banyak lagi. Kami terus berjalan mengikuti
petunjuk dan mata saya, tak berhenti menelisik setiap jengkal “kampung” ini.
Ternyata
malam itu adalah pengajian dan reunian dari Ikatan TKI Madura Malaysia. Kami
dipersilahkan duduk, di sebuah lincak yang lebar. Sementara di depan
kami ada tiga ratusan laki-laki. Ada yang sudah bapak-bapak lima puluh tahunan,
ada pula remaja tanggung. Perempuan-perempuannya dengan ramah memberikan kami
hidangan. Sepaket kue lengkap dengan buah dan minuman kemasan. Sebagai
mahasiswa kost saya senang, apalagi saya sangat lapar, tapi rasanya saya tak
tega memakan makanan itu.
Bukan,
bukan saya pilih-pilih. Tapi saya teringat kalau mereka ini TKI, mereka ini sedang
bekerja untuk keluarganya di Indonesia. Rasanya tak tega makan dari keringat
mereka. Sungguh!
“Ayo,
nak dicuba kuenya cik” saya hanya tersenyum dan mengangguk. Ya, bahkan mereka
sudah terbiasa dengan bahasa dan logat negara tetangga. Saya belum ingin makan
apapun sekarang, akhirnya saya memilih
untuk kepo, bertanya apa saja pada mereka.
Ternyata,
memang seperti itulah kehidupan sebagian besar TKI di Malaysia. Hidup di kongsi
sebuah proyek pembangunan. Jika sedang menyempurnakan lantai satu, maka mereka
tinggal di lantai dua, begitu seterusnya, sampai akhirnya bangunan itu
benar-benar siap pakai. Untuk itulah mereka membuat kamar-kamar sederhana,
karena mereka tinggal di lantai ini hanya sementara. Jika proyek bangunan itu sudah rampung, mereka akan diangkut ke proyek lainnya.
Tak
ada bedanya laki- laki dan perempuan, semua sama dalam hal pekerjaan. Perempuan
juga bisa angkat semen, batu dan genteng. Disini, gaji ditentukan berdasarkan
hari kerja. Dalam sehari mereka di ganjar 100 RM atau setara dengan 350.000.
Sebuah bayaran yang cukup tinggi jika dibanding menjadi buruh di Indonesia,
begitu kata mereka.
Tapi
apakah mereka bahagia dengan uang itu? Ternyata tidak juga! Meski saat
berbicara dengan saya ada yang memegang kamera DSLR, handphone canggih keluaran
terbaru tetapi perasaan mereka tak se-charming barang-barang itu. Ada seorang
perempuan, saya lupa namanya, sampai berkaca-kaca bercerita pada saya bahwa ia
merindukan anak-anaknya. Dua anaknya ia titipkan orang tuanya. Sementara dia
hanya pulang dua tahun sekali. Ada pula yang ditinggal suaminya kawin lagi. Menyedihkan!
Ternyata, uang tak dapat menggantikan kebersamaan.
Di
kongsi seperti ini, banyak sekali TKI illegal. Tidak punya paspor dan data
diri. Mereka hanya ikut saudara saat ada saudaranya yang pulang kampung. Karena
jenis TKI semacam ini tak terhitung jumlahnya, maka bos mereka membuat
peraturan, tak boleh ada TKI yang keluar dari proyek itu, untuk menghindari
polisi, karena jika sampai TKI illegal tertangkap, maka bos proyek itulah yang
bertanggung jawab, karena tak mau mengambil resiko itulah mereka tak boleh
keluar. Mereka hanya harus bekerja! Mereka kehilangan kebebasan sebagai
manusia!
Di
desa saya di Kabupaten Kediri Jawa Timur, hampir setiap rumah TKI bagus-bagus,
keluarganya dibelikan hape, perhiasan, beli tanah dan masih banyak lagi. Di
mata tetangga yang lain, enak sekali jadi TKI itu, pulang bisa kaya dan
mensejahterakan keluarga. Tapi rupanya kami tak tahu jika jauh di negara tempat
mereka bekerja, mungkin saja mereka hidup sangat sederhana seperti para TKI di
kongsi yang saya kunjungi itu. Mereka memendam kerinduan, mereka kehilangan
kebebasan, mereka pekerja kasar. Ironis!
Meski
begitu, di dalam bangunan kumuh belum jadi itu, mereka sudah memiliki kampung
buatan mereka sendiri. Ada mushola tempat mereka sholat setiap hari. Ada
kamar-kamar yang selayaknya tetangga sendiri dan ada makanan tiap pagi dan
petang. Tivi lawas dan kipas angin juga ada. Lengkap! Mereka tak kurang apapun,
mereka hanya kurang satu hal : cinta keluarga!
Saya
lalu teringat teman SD saya yang ditinggal ibunya kerja di Arab selama 5 tahun.
Ia tak pernah ganti seragam tiap tahun, seragamnya hanya ganti dua kali selama
sekolah. Ia tak pernah ditemani ibunya saat mengambil raport, nilainya selalu
jelek dan ia kurus sekali. Bapaknya memang menyayanginya, tapi bisakah kasih
bapak menyempurnakan kasih ibu?
Saya
juga teringat, kakak sepupu saya yang
menangis sesenggukan di ujung telepon, setelah dikabari bapaknya meninggal.
Saat itu dia baru setahun menjadi TKI di Hongkong, dan karenanya ia tak bisa
pulang melihat bapaknya untuk terakhir kalinya. Ia pernah mengatakan pada saya,
seandainya ia tak memaksa jadi TKI mungkin ia bisa memiliki lebih banyak waktu
bersama bapaknya, tetapi siapa yang bisa mengulang waktu?
Saya
menuliskan kisah ini agar Mbak Melanie Subono dan teman-teman tahu cerita ini,
sejujurnya saya berharap, meski TKI adalah pahlawan devisa, kelak Indonesia
bisa mendapatkan devisa lebih banyak bukan dari TKI tapi dari sumber yang lain,
kelak tak ada lagi ibu yang harus terpisah dari putrinya karena bekerja di
negara tetangga, tak ada lagi anak yang di tinggal luar negeri tak bisa pulang
menengok orang tuanya karena kepulangan mereka ditentukan kontrak kerja.
Semoga
ini bukan harapan konyol, menurut saya, akan sangat membahagiakan jika semua
ibu bisa menghabiskan waktunya bersama anak tercinta dan semua ayah bisa
bekerja dengan tenang dan bisa menemui keluarganya kapan saja. Sangat
membahagiakan bagi negara ini jika rakyatnya keluar negeri bukan sebagai buruh
migran, tapi sebagai tenaga ahli. Bukan sebagai pekerja kasar tapi sebagai
seseorang yang bersenang-senang menghabiskan waktu liburan.
Memang,
bayaran sebagai TKI lebih besar dibandingkan dengan menjadi buruh di sebuah
pabrik pinggiran kota. Tapi mindset inilah yang harus kita rubah untuk
Indonesia ke depan yang lebih baik dan bahagia. Bahwa hidup tak melulu mencari
uang dalam jumlah besar di negara lain, melainkan mendayagunakan kemampuan diri
agar bisa bekerja, membuka lapangan pekerjaan yang dapat memberikan kita
penghidupan, sekaligus tak kehilangan waktu dengan keluarganya. Dalam era pasar
bebas ini rasanya pola pikir mencari uang harus di rubah ke dalam menciptakan
lapangan kerja untuk hidup dan menghidupi. Ya, saya tahu gagasan ini terkesan
muluk dan sulit, tapi semua mungkin,
bukan?
Jika
Tuhan merestui saya ingin membantu Indonesia melalui pendidikan.
Perempuan-perempuan Indonesia harus terdidik, lelaki Indonesia harus terdidik.
Melalui pendidikan tinggi, kita tak akan dianggap rendah oleh negara lain. Kita
juga bisa membuka usaha-usaha baru yang memungkinkan banyak orang terserap di
dalamnya. Sehingga tak akan ada lagi ibu yang harus terpisah dari anaknya. Hopefully!
Saya dan teman-teman berfoto dengan Mbak-Mbak TKI sebelum pulang |
Saya
pulang dari kongsi itu lewat dini hari, saya ikut nelongso mendengar
cerita-cerita mereka. Setelah berfoto bersama, saya pamit pulang. Sebelum saya
naik mobil ada seseorang TKI yang berteriak “Mbak, Salam untuk Indonesia ya!”
Semakin lama, lambaian mereka semakin terlihat kecil. Ada tekad besar dalam
diri saya.
(Tulisan Ini
Diikutsertakan Lomba Blog Buruh Migrant Indonesia Bersama Melanie Subono)
website ini selalu mnenghangatkan saya dalam membuat artikel, terimakasih atas wawasan yang anda berikan cukup mudah di pahami. Terimakasih banyak,..
BalasHapusHai.. Sobat semua yg lg demen main judi togel, nih ada solusi yg tepat and akurat..
BalasHapusKrna sy udah buktikan, kalau sobat mau tau info lebih lanjut Call aja Mbah Suro atau Eyang Suro di nmr 082354640471 di jamin deh brankas bandot pasti jebooll... Thanks sobaattt