16
Agustus 2014
Aku
mencoba berdamai dengan perih, nyeri dan pegal di seputar perut dan pinggang.
Pagi tadi saat sarapan, aku disuapi. Dengan tetap tidur. Karena aku masih tak
boleh angkat kepala sampai siang nanti pukul 14.00
Ini
adalah makanan pertama setelah puasa seharian kemarin. Nasi tim dengan ikan dan
sayur berkuah. Makanan ini sangat encer, hingga aku tak perlu
mengunyahnya. Kuhabiskan pagi sampai
siang dengan menonton acara berita TV atau berbincang dengan ibuku. Sholat
kulakukan dengan berbaring dan tayamum. Bedrest
total
Tepat
pukul 14.00 WIB perawat datang, membantuku untuk duduk bersandar pada ranjang yang sudah ditinggikan
bagian atasnya. Meski perutku terasa nyeri dan tegang memang harus dipaksakan
untuk duduk. Seharian itu aku belajar duduk. Belajar bagaimaa caranya dari
berbaring sampai duduk, atau dari duduk berbaring lagi. Masih di atas ranjang.
Dengan kaki lurus. Belum boleh menggantung di tepi ranjang.
Setelah
melewati proses belajar duduk ini aku baru tahu kenapa selama setelah operasi
kemarin sampai sore ini aku tak pernah merasa kebelet kencing. Ada kateter
terpasang disaluran kencingku. Setiap enam jam sekali suster membuangnya.
“Mbak
Rizza, selamat sore, gimana sudah belajar duduk hari ini?”
“Iya
sus, tapi masih nyeri banget”
“Oke,
tidak apa-apa. Itu wajar. Mandi yuk, sudah sore. Saya mandikan ya”
“Tapi…”
“Sudahlah
tidak apa-apa, memang sudah tugas kami”
Dua
perawat perempuan itu dengan sigap melepas semua kain yang menutupi tubuhku.
Menyeka tubuhku, memakai sabun cair lalu dibilas dengan air hangat. Gosok gigi
pun begitu. Jujur saja, aku malu. Sangat malu. Aku ini sudah dewasa.
Perawat-perawat itu mungkin usianya juga tak terlalu tua dariku. Tapi aku
dimandikan seperti ini. Seperti bayi. Setelah mandi, mereka mengganti sprei dan
baju penutup tubuhku. Masih warna yang sama dan masih bertali.
“Ibu,
aku isin” kataku pada ibu setelah dua
perawat itu keluar
“Wes
ora usah isin Mbak, sing penting sehat”
Begitu
seterusnya, setiap pagi dan sore perawat memandikanku. Tak jarang mereka
membantuku memakai jilbab, mengingat tangan kiriku masih berinfus.
Esoknya,
17 Agustus 2014. Sebelum mengikuti upacara 17 Agustusan di lapangan rumah
sakit. Perawat terlebih dulu memandikanku, masih dengan cara yang sama. Jam 6
pagi, aku sudah wangi, ganti baju dan sarapan. Kali ini aku makan sendiri, tak
lagi disuapi. Kudengar lagu Indonesia Raya di luar sana, dinyanyikan para
perawat rumah sakit ini. Riuh dan semangat sekali. Aku pun ikut melantunkannya
di tempat tidurku.
Hai Indonesia, selamat ulang tahun ya. Terima kasih
atas semangatnya pagi ini. Semoga negeri ini terus damai. Indonesia, aku sudah
berjuang melawan sakitku. Kau tak ingin mengucapkan selamat pula padaku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar