Perawat membawaku
berjalan menyusuri lorong menuju ruang operasi, tanggal 15 Agustus 2014 pukul
13.30 WIB aku keluar dari kamarku. Perawat membawaku ke sebuah ruangan. Ketika
pintu dibuka aku merasa dingin. AC di ruangan ini begitu menusuk. Ketika aku
masuk tujuh perawat menyapaku. Lima perawat laki-laki dan dua perawat
perempuan. Usianya sudah empat puluhan semua. Mereka pasti sudah perawat
senior, mungkin karena faktor pengalamanlah mereka ditempatkan di ruangan
operasi ini.
Masing-masing
dari mereka memperkenalkan diri dan melontarkan guyonan, agar aku tidak tegang
mungkin, tapi tenang saja aku sudah tenang sekarang. Aku tidak takut lagi! Tali
baju bagian belakang yang sudah ditalikan oleh ibuku tadi dilepas. Infusku
diganti, dari yang awalnya berwarna putih diganti menjadi warna kecoklatan
seperti bensin. Aku sudah tidak peduli laki-laki atau perempuan yang melepas
tali bajuku tadi. Yang jelas ketujuh perawat itu melakukan tugasnya
masing-masing atas diriku. Aku seperti boneka hidup yang sedang didandani untuk
persiapan operasi. Aku tahu auratku sudah terlihat oleh mereka. Tapi ini
darurat, ini untuk kesehatan. Allah pasti tahu!
Aku baru tahu
ternyata di dalam ruangan operasi ini ada banyak ruangan lagi. Ini memungkin
dokter melakukan operasi secara bersamaan dalam satu waktu. Lalu aku dibawa ke
ruangan operasiku. Kamar operasi nomer 4.
Aku dibantu
perawat dipindahkan ke ranjang khusu operasi. Ranjang ini ukurannya lebih kecil
dari ranjang yang sebelum-sebelumnya. Hanya cukup tubuhku saja berbaring.
Ngepas. Perawat masih menyiapkan segala keperluan. Sesekali mereka mengajakku
berbincang-bincang. Aku benar-benar merasa seperti di kamarku sendiri.
“Mbak Rizza
nanti di pasang kateter ya, untuk keperluan operasi memang harus dipasang
kateter”
“Sakit ya Sus
nanti?”
“Oh tidak kok,
tidak sakit”
Jujur saja, aku
trauma dengan kateter. Dulu aku pernah melihat ayahku dipasang kateter. Saat
itu ayah meringis-ringis kesakitan, beliau merasa tersiksa demhan alat itu yang
katanya akan membuatnya sakit setiap buang air kecil. Tapi untuk sekarang, aku
hanya harus pasrah. Bismillah
“Iya Sus pasang
saja!”
“Baik Mbak,
nanti jangan kaget ya kalau selesai
operasi ada kateternya”
“Iya Sus, Sus,
saya pengen kencing, boleh saya kencing dulu?”
Ya Allah, bahkan
saya harus kencing di pispot? Dulu aku sering disuruh ibu mengambilkan pispot
milik ayah, karena ayah memang sakit jadi selalu kencing di pispot. Sekarang
aku mengalami apa yang ayah alami. Hanya saja pispot untuk perempuan bentuknya
berbeda dari pispot untuk laki-laki. Suster itu menghampiri dan menyuruh saya
sedikit mengangkat pantat lalu ia meletakkan pispot disitu. Awalnya saya agak
segan hingga sampai beberapa menit kencing itu tak juga keluar.
“Kenapa lama?
Sudah keluarkan saja Mbak, sampai tuntas ya, nggak apa-apa!” Akhirnya saya bisa
kencing juga, saya keluarkan semuanya. Lega, tapi malu. Suster itu yang
membuangkan urine saya.
Tepat pukul
14.00 dokter Anthony masuk ruangan. Dialah dokter anestesi atay dokter biusku
kali ini.
“Dokter, di bius
spinal kan?”
“Iya, sesuai
permintaan kamu tadi pagi”
Perawat mulai
merentangkan tanganku. Diikat di ranjang yang juga terlentang mengikuti panjang
tanganku. Tanganku diikat disitu. Lalu tangan kananku di pasang tensi darah dan
jari telunjuk kanan dijapit rekam jantung. Sejenak suara nit…nit…nit… terdengar. Ya
Allah.. itu suara detak jantungku!
Tangan kiriku,
dipasang infuse untuk kedua kalinya. Kali ini berwarna putih. Infus yang
berwarna seoerti bensin tadi sudah habis. Entah kenapa cepat sekali habisnya. Setelah infuse
dipasang saya merasa ada yang menekan dada saya, hingga saya sulit berrnafas.
“Suster, kenapa
saya sesak? Seperti berat sekali untu bernafas”
“Tenang Rizza,
sebentar lagi juga hilang” sampai hari ini aku tidak tahu kenapa aku merasa
sesak saat itu apakah karena perubahan cairan infus itu atau yang lain. Aku tak
tahu.
Dua lampu besar
di atasku dinyalakan. Terang sekali. Perawat membuka alat-alat operasi dengan
gumting, tak langsung dengan tangan. Karena alat itu steril. Kulihat disitu
gunting dan pisau macam-macam bentuknya. Tapi anehnya aku sama sekali tidak
begidik. Hari ini rasa takutku benar-benar hilang.
“Kita mulai ya
Rizza”
“Baik Dok” ,
Lirih kulantunkan syahadat. Asshadhu Alla
Ilaha illalah wa ashyhadu anna muhammadar rasulullah. Allah aku pasrah padamu…
Perawat
memiringkan tubuhku ke kanan, lalu kakiku ditekuk. Mlungker. Aku benar-benar
seperti bayi sekarang. Lalu kerasakan
empat suntikan yang cukup mengagetkanku. Tepat dibelakang pinggangku.
Karena kaget itulah aku berteriak dan merintih. Perih.
Lalu perawat
membalikkan tubuhku terlentang kembali. Perlahan aku merasakan kakiku
kesemutan. Pelan tapi pasti aku kehilangan fungsi kakiku. Aku tak merasakan
sama sekali ketika dokter mencubitnya. Allah,
beginikah rasanya orang lumpuh itu?
Sekarang di
depan wajahku, tepat di atas leherku ada kerangka besi. Yang ditutupi oleh
kain. Aku sadar, tapi aku tidak tahu apa yang mereka lakukan dibawah sana.
Tepat di perutku.
“Apakah kamu
takut?”
“Tidak Dok”
“Saya suntik
tidur saja ya?”
“Tapi dok, saya
ingin..” Cuma itu kata terakhir saya sebelum akhirnya saya benar-benar disuntik
obat tidur oleh dokter Anthony. Padahal sejujurnya saya ingin melihat operasi
ini, Saya berani, saya tidak takut apalgi jijik. Tapi rupanya dokter Anthony
tidak percaya, atau lebih tepatnya tidak tega kalau sampai saya tahu apa yang
mereka lakukan terhadap tubuh saya.
Saat aku bangun,
sudah jam 17.00 WIB, itu berarti aku tidur dua jam. Ternyata aku masih di ruang
operasi. Aku hanya diam, tidak berkata
apapun. Diam dan melihat ke atas. Tepat di lampu operasi itu. Pinggiran lampu
operasi itu berbahan aluminium. Dari aluminium itulah aku melihat apa yang
mereka lakukan. Subhanallah, itu perutku.
Mereka sedang bekerja menyelamatkan hidupku
Aku melihat
perutku dibedah, mungkin sudah hamper selesai operasi ini. Aku terus melihat
dalam diam dan istighfar. Sampai akhirnya perawat mengetahui kalau aku telah
bangun.
“Rizza sudah
bangun. Syukurlah usus buntu kamu belum pecah. Tubuh kamu kuat sekali ya rupanya. Ini operasinya sudah selesai, tinggal
dijahit. Berani melihat usus buntu yang sudah dipotong?”
“Berani Dok,
mana?”
Suster
menunjukkan padaku potongan usus buntu itu. Dengan sumpit suster itu
menunjukkan usus buntuku. Ada warna hitam dan merah darah disana. Masyaallah.
“Rizza, dalam
kondisi normal, seharusnya usus buntu
manusia itu sebesar selang infus ini, tapi lihat punyamu. Ini sudah
sejempol. Kalau saja tidak dioperasi segera pasti akan pecah”
Pukul 17.30 WIB
aku keluar dari ruang operasi 4. Dibawa ke sebuah ruangan yang disitu sudah banyak pasien pasca operasi
yang lain. Ada yang tertidur dengan selang di lehernya ada pula yang masih
belum sadar. Aku tak operasi sendirian
hari ini
Dokter Andre
menghampiri, “Bagaimana Rizza, tidak sakit kan? Pusing tidak? Mual?”
“Tidak Dok, saya
hanya agak mengantuk”
“Ya sudah, kamu
tidur dulu, nanti suster akan membawamu kembali ke kamarmu”
Pukul 18.00. Aku
merasa ranjangku bergerak. Rupanya aku di dorong keluar dari ruang operasi.
Disana sudah ada Budhe Yam, Pakpuh Rofik, dan Faisal. Ketika aku keluar,
merekalangsung berdiri menghampiriku.
“Piye nduk, loro
pora, opo sing dirasakne?” itu pertanyaan mereka. Faisal tak berkata apa-apa.
Ia hanya menatapku dalam-dalam. Hey, tak pernah aku melihat adikku satu ini
seperti itu. Apakah ia tak tega melihatku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar