Aku baru saja menjalani
appendixtomy pada tanggal 15 Agustus 2014.
Sebuah tanggal yang akan
selalu kuingat. Aku tidak tahu apakah kamu merasakan rasaku aku tidak. Aku
hanya ingin bercerita. Kuharap jika kamu merasakan rasaku, kamu bisa tahu kalau
yang kamu rasakan itu adalah appendicitis, kamu akan tahu hal apa yang akan kamu
alami dan rasakan. Bagaimana proses perawatan dan penyembuhan? Apa saja yang
akan terjadi? Aku akan menuliskannya dalam sengkarut diary appenditomi ini apa adanya. Semuanya. Sejujur-jujurnya. Kuharap
setelah membacanya hingga usai nanti.
Kamu tak akan bertanya-tanya lagi, tak
akan takut lagi. Aku sudah mengalaminya, merasakannya. Kubagi denganmu, karena
aku ingin kamu tahu apa dan bagaimana appendicitis dan appendixtomy itu.
Aku merasa baik-baik saja. Tidak ada yang aneh
ditubuhku. Sampai suatu hari setelah idul fitri aku menemui menstruasiku bulan
ini. Bulan Agustus. Seperti bulan-bulan sebelumnya, aku selalu menemui menstruasiku.
Rutin. Tapi ada yang berbeda dengan menstruasiku kali ini. Jika biasanya aku
hampir tak pernah mengalami nyeri haid atau bahasa jawanya dilepen kali ini aku merasakan hal yang berbeda di perutku.
Memang, biasanya saat
haid rasanya dinding perut seperti menebal. Kali ini pun begitu. Hanya saja
setelah haid berakhir aku masih merasakan perutku menebal. Bukan ditengah tepat
rahim berada, tapi di sebelah kanan bawah. Kadang dibarengi nyeri. Tak terlalu
nyeri memang, tapi adanya nyeri ini yang membuatku bertanya-tanya. Bukankah
biasanya aku tak begini? Bukankah haidku sebentar lagi selesai?
Jika aku tidur miring
ke kanan, aku seperti merasakan menindih sesuatu di perut kanan bawah itu.
Padahal aku sedang tidak mengantongi sesuatu. Ada apa? Aku terus bertanya dan
menerka, bukan pada siapa-siapa tapi pada diriku sendiri. Sesekali aku iseng
googling. Kutulis keluhanku pada
search engine. Keluarlah situs-situs kesehatan.
Sebagian besar mengatakan ini gejala myom atau kelainan pada rahim. Seketika
aku tercenung.
Aku belum menikah, aku belum punya anak
Allah, jangan ambil rahimku. Ingin menangis tapi tak bisa, masih ingin
bertanya tapi pada siapa? Tak mungkin pada ibu. Aku tak ingin menambahi beban
pikiran beliau.
Kalau aku tak salah
ingat, hari itu hari Kamis 7 Agustus 2014. Ibuku menyiapkan ayah untuk pergi
terapi. Ya, ayahku menderita komplikasi. Diabetes, stroke dan gagal ginjal.
Selain menjalani cuci darah rutin dua kali seminggu, beliau juga mengikuti
terapi di sebuah pengobatan unik. Ibu pernah cerita kalau yang mengobati ayah
menggunakan telur sebagai media pengobatannya. Meski susah dinalar, nyatanya
banyak yang beroleh kesembuhan. Kesehatan
Ayah
juga mengalami kemajuan. Unik sekali.
“Bu, kali ini aku ikut
ya?”
“Tumben ikut, mau
ngapain?”
“Ini, perutku kok agak
aneh ya rasanya”
“Sejak kapan? Ayo,
cepet ganti baju kalau ikut”
Satu hal, aku penasaran
dengan pengobatan unik itu, di samping itu aku berharap mendapatkan jawaban
atas keanehan yang kurasakan. Syukur-
syukur mendapat kesembuhan. Tidak
ada pasien yang antri selain kami. Jadi bisa cepat ditangani. Didampingi ibuku
aku masuk ke ruangan beliau, pria setengah tua berkumis tebal. Mirip Mas Adam
suami Mbak Inul Daratista. Ibuku menceritakan keluhanku lalu beliau
memerintahkan aku menaikkan baju, memperlihatkan bagian yang menjadi keluhan
itu.
“Sudah lama dirasakan?”
tanyanya menyelidik
“Sekitar lima hari ini
Pak”
“Kok keras ya, atos!” gumamnya setelah menekan-nekan
perutku. Lalu beliau mengambil sebutir telur bebek. Dioles-oleskan telur itu
diperutku. Mulutnya komat-kamit mendoa. Aih, agak takut juga. Aku merasakan
seperti ada gerakan di perutku, seperti ada aliran setrum saat telur itu mulai
dijalankan di permukaan perut kanan bawah itu.
Beliau mengambil
plastik ukuran 1 kg. Memasukkan telur itu dan memecahkannya, mengalirkan isinya
dan membuang kulit telurnya di tempat sampah. Tahukah kamu apa isi telur itu?
Darah! Darah Men!
Darah merah kental dan menggumpal! Oh Tuhan, bukankah itu telur bebek biasa?
Kok bisa ada darah sebanyak
itu?
Beliau mengambil lagi
telur yang kedua, melalukan ritual yang sama dan memecahkannya. Kali ini masih
darah, tapi tak sepekat tadi. Sekarang ada selaput-selaputnya. Apa lagi itu?
Allah, ada apa dengan perutku? Apakah benar ada masalah pada rahimku?
“Coba di USG ya Bu,
nanti biar tahu apa penyebabya” Ia menutup pertemuan kami. Sepanjang perjalanan
pulang aku hanya terdiam. Sesekali menanggapi candaan Farid atau Faisal yang
menggodaku. Rasanya candaan mereka kali ini tak lucu!
“Bu, besok aku ke
Malang ya” kataku memecah keheningan
“Mau ambil
barang-barangmu?”
“Iya, kapan lagi.
Mumpung ada waktu” Barang-barangku memang masih ada sebagian yang tertinggal di
kontrakan. Sesaat setelah wisuda, aku hanya mengangkut sebagian. Selain itu,
aku ingin sekedar jalan-jalan, silaturahim dengan teman-teman disana. Alih-alih
kangen dan membuang sejenak galau tentang penyakitku yang masih tak tentu ini.
Bisa jadi setelah ini aku tak bisa bertemu mereka lagi.
Berangkat ke Malang
pukul tiga pagi, dengan harapan sampai Malang segera menyelesaikan yang harus
kuselesaikan hari itu juga. Karena kutahu aku tak punya banyak waktu. Senang
rasanya bertemu teman-teman kontrakanku. Saling menanyakan kabar dan bercerita
banyak hal. Pagi hari kumanfaatkan untuk mengunjungi SDN Sumbersari 1, tempat penelitian
skripsiku dulu. Bertemu guru-guru dan berbincang. Melihat anak-anak bermain di
lapangan. Setelah cukup puas, aku mencegat AL di perempatan ITN dan menuju UIN
Maliki. Kali ini tujuanku adalah Gedung FITK. Mengambil legalisir ijazah yang
sudah kutumpuk sebulan sebelum ramadhan, bertemu Pak Walid, ketua jurusan
sekaligus dosen pembimbingku. Konsultasi tentang kehidupan pasca kuliah dan banyak
lagi. Bertemu Pak Walid dan dosen yang lainnya yang ternyata masih mengingat
namaku membuatku merasa masih menjadi mahasiswa.
Masih ada waktu, tak
ada salahnya dolan ke UKM. Tak ramai, hanya ada dua orang, Habibah dan Mas
Hafidz. Seperti biasanya jika di UKM aku selalu membuka koran Kompas.
Membacanya sebentar lalu berbincang. Mas Hafidz yang suka melucu dan kami
bertiga yang terlibat perdebatan tak berujung, membuatku lupa sakitku. Aku bisa
tertawa-tawa dan menanggapi semua perbincangan sengit itu, sesekali ada nyeri,
tapi kucoba bertahan. Ada Fino anak
FLP UIN juga yang datang meski sebentar, mengambil sertifikat.
Malam harinya, aku
menyambangi warnet di ujung pertigaan kontrakan. Dulu aku sering kesana jika
butuh download sesuatu, butuh bacaan dan mengirim tulisan. Kini
tak ada salahnya kesana lagi, meski aku tak butuh apa-apa malam ini. Mungkin
untuk yang terakhir kali. Kucoba sekali lagi menelisik tentang sakitku. Setelah
beberapa situs, akhirnya aku menemukan informasi yang membuatku mantap.
Appendicitis! Ya, aku tak mengalami kelainan pada rahimku, tapi aku mengalami
Appendicitis! Aku harus segera pulang ke Kediri, karena jika terlambat, aku
akan mati!
Kukatakan pada teman
kontrakanku bahwa aku akan pulang esok hari. Malam itu juga kubereskan
barang-barangku. Kupesan travel agar bisa pulang cepat. Tak kukatakan penyakitku, meski
mereka agak terheran dengan cepatnya aku pulang. Semalam di Malang, cukuplah
mengobati kerinduan, memberesken keperluan dan mengambil kenangan sebelum nanti
berjuang.
Sesampainya di Kediri
nanti, aku berniat langsung pergi ke rumah sakit Baptis Kediri untuk USG. Aku
sudah membicarakannya pada ibu dan ibu menyarankan untuk pergi ke RS Baptis. Aku sempat bertanya, kenapa tidak di RS
Bhayangkara saja tempat dulu ayah di rawat? Aku kan sudah hapal tempat-tempat
periksa disana karena saking seringnya berada disana. Atau di Rumah Sakit
Islam? Jujur saja, aku agak kurang sreg karena RS Baptis itu rumah sakit
Kristiani.
Appendicitis adalah
radang pada usus buntu. Semua manusia memiliki usus buntu (ujung usus) atau
dalam dunia kedokteran disebut appendix. Ada dua jenis apendicitis. Akut dan
kronis. Penderita appendicitis harus segera menjalani operasi sesegera mungkin,
karena usus buntu yang meradang itu bisa pecah dan bernanah. Jika pecah maka
nanahnya akan menyebar dan mengotori usus lainnya. Itu sangat berbahaya, jika
penanganan medisnya tidak tepat dan hati-hati maka dapat menyebabkan kematian
pada pasien.
Begitulah yang tertulis
di situs yang kubaca semalam. Daripada aku berlama-lama berdebat tentang rumah
sakit, akhirnya aku menyetujui periksa ke RS Baptis. Kenapa tak nyaman? Bukankah
dulu aku juga lahir disana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar