Hari ini, pertama kalinya dalam hidupku aku
bilang pada ibu, “Bu, aku ingin menikah!” Ibuku hanya diam sesaat, lalu bilang,
“Ya, aku doakan semoga kamu segera bertemu dengan jodohmu” kuamini doa ibuku
itu. Hari ini ibu sedang berada di tempat paling mustajabnya doa-doa. Ibu dan
ayah sedang berada di Kota Mekkah untuk berhaji.
Sebenarnya, tak hanya sekali itu saja aku pernah
bilang, hanya yang lainnya, kuselipkan dalam guyonan. Tapi kali ini, aku
benar-benar serius, “Ibu, doakan aku segera menikah ya, teman-temanku sudah
banyak yang menikah” ujarku di telepon. Aku harus bilang pada siapa kalau tidak
pada ayah dan ibuku? Percuma aku cerita pada orang lain, toh pernikahanku
nantinya juga atas restu mereka, bahkan pernikahanku adalah tanggung jawab
mereka, karena aku putrinya.
Jujur saja, sebenarnya aku malu, dari kecil
hingga kini, aku masih terus merepotkan ibuku. Bahkan sampai keinginan untuk
menikah sekalipun. Seharusnya dan seperti anak muda yang lain, seharusnya aku
bisa mencari sendiri lelaki itu, lalu kami meminta restu pada orang tua kami.
Tapi aku? Aku tak melakukan itu, karena sampai hari ini, belum ada yang
mencintaiku. Mungkin!
Pernah suatu hari, saat aku dan ibu memasak
bersama, ibu berkata begini, “Temanmu sudah banyak yang menikah ya Mbak, kalau
kamu sudah punya calon belum? Kalau ibu sih terserah kamu saja, yang penting
orangnya baik dan kamu suka, ayah dan ibu merestui”
Sepertinya ungkapan itu melegakan bagi gadis yang
sudah punya seseorang yang mencintainya, tapi bagiku itu adalah doa, karena
setelah ibu selesai mengucapkannya aku katakan, “Belum Bu, belum ada satu orang
pun”
“Masak tidak ada teman di kampus yang kamu suka?”
“Ya ada, tapi biasa aja sih”
Manusiawi, aku pun pernah menyukai seseorang ,
tapi entah kenapa ketika aku menyukai seseorang aku selalu ingat siapa diriku?
Bagaimana aku? Apakah dia bisa menerima kekuranganku? Akhirnya, aku memilih
untuk belajar menghilangkan rasa itu. Percuma menyimpan rasa berlama-lama jika
aku tak mungkin mengungkapkannya, percuma aku bermain hati jika mengotori hatiku
sendiri. Aku memilih menyibukkan hariku dan pikiranku dengan tugas-tugas
kuliah, dengan aktivitas organisasi, dengan anak-anak les privatku dan dengan
rangkaian mimpi yang menanti untuk kuwujudkan. Nyaris tak pernah ada kegundahan
lagi soal cinta, perasaan atau lainnya.
Apalagi, setahun terakhir ini, kesehatan ayahku
benar-benar mengkhawatirkan, tiga kali masuk rumah sakit. Saat aku akan ujian
semester tujuh, saat aku hendak PKL dan yang terakhir sepuluh hari sebelum aku
wisuda. Disaat bersamaan pula, aku harus menyusun skripsiku, konsultasi,
menyelesaikan tugasku sebagai anggota beberapa organisasi dan anak-anak yang
belajar bersamaku. Setidaknya, saat tiba waktu wisuda, aku tak lagi punya
hutang atau tanggungan.
Tak ada waktu untuk memikirkan perasaan atau
lelaki pengisi hati. Aku hanya harus realistis! Sebagai anak tertua dengan adik
yang hendak masuk ke jenjang berikutnya, dengan ayah yang sakit begitu lama.
Aku hanya harus fokus belajar, menyelesaikan skripsi, segera lulus dan bekerja.
Jika bukan aku yang menghidupi mereka, siapa lagi? Sekarang, aku memang tak
punya banyak uang, tapi aku akan berusaha membantu keluargaku semampuku,
setidaknya aku tak mau lagi meminta, setidaknya aku menolak jika hendak diberi.
Aku harus berlatih mencari maisyah sendiri!
Sekarang, aku merantau ke kota Jogja, sebuah kota
yang dulu pernah kuimpikan untuk menyelesaikan S1-ku, tapi kala itu ibu dan
ayahku belum merestui. Tahun ini, sudah kuselesaikan S1, kujaga ayahku dan
menabung secukupnya, aku beranikan diri mendaftar S2 dengan jurusan yang sama.
Berbekal sangu dari ibu, aku
mendaftar, diterima lalu kemudian mencari tempat kos yang sederhana.
Sebenarnya, aku sudah menabung untuk S2, tapi terpakai untuk biaya ayah opname
di rumah sakit. Setelahnya, dengan modal seadanya aku belanja jilbab untuk
kujual kembali. Tujuannya satu, untuk biaya S2!
Tabungan itu kembali terpakai ketika Allah memberiku
kejutan penyakit appendicitis atau
usus buntu. Hanya untuk rawat jalan saja, tabungan yang kutabung dua bulan,
habis dalam dua minggu rawat jalan. Untung saja ibu memiliki asuransi atas
namaku. Seluruh biaya operasi dan rawat inap ditanggung asuransi, sementara
kontrol 3 minggu setelahnya ditanggung sendiri. Allah, kejutanmu atas diriku banyak sekali! Terima kasih!
Aku bersyukur, karena dalam kondisi menderita
usus buntu, dengan sakit yang hilang timbul selama sepuluh hari, aku masih
diberi kekuatan untuk melakukan perjalanan dengan kereta ke Jogja. Saat kereta
bergoyang, sakit di perutku semakin menjadi, untung saja aku seorang diri, jadi
tak ada kesempatan untukku mengeluh pada siapapun, hanya merasakan sakit itu
dalam diam dan doa. Allah kuatkan aku,
aku mohon jangan biarkan usus buntuku pecah karena perjalanan ini, kalau pecah
biaya operasinya akan semakin mahal.
Kuikuti tes seleksi penerimaan mahasiswa baru
pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dengan menahan sakit di bagian kanan bawah
perutku. Kujawab semampuku, sebisaku dan kuserahkan lainnya pada Allah. Allah, ini usahaku. Aku hanya bisa beberapa,
selebihnya maafkan aku! Aku hanya ingin segera pulang, ke rumah sakit dan
menjalani operasi, lalu sakit ini akan hilang. Hanya itu!
Allah benar-benar mengujiku dengan banyak hal,
tapi Allah juga menguatkanku dengan ujian itu. Aku tidak mengeluh bahkan
menangis karena cobaan itu, itu bukan karena aku yang kuat, tapi karena Allah
yang menguatkanku. Sepaket yang selalu Allah berikan pada semua orang kurasa.
Cobaan dan kekuatan. Aku hanya menangis malam hari sesudah operasi, saat biusku
habis dan kakiku mulai normal kembali. Disitulah nyeri hebat mulai terasa di
perutku, tak boleh mengangkat kepala atau bergerak, aku hanya harus tidur!
Tangis dalam diam, hanya air mata saja yang keluar, karena jika aku menangis
dengan suara akan membuat perutku terguncang dan sakit sekali! Tak ada ibu
malam itu, hanya ada bulikku, adik ayah, karena ibu harus menjaga ayah di rumah
dan mengurus keperluan malam bersih desa (tanggal
16 Agustus malam, di desaku ada kegiatan bernama bersih desa. Operasiku tanggal 15 Agustus siang)
Aku lupa, aku lupa dengan keinginanku untuk
menikah karena banyaknya kejutan itu.
Saat aku ingat kembali, aku benar-benar harus berdoa. Berdoa agar Allah
memudahkan jodohku, memudahkan pertemuan kami dan memudahkan akad nikah kami.
Tahun ini, tahun depan atau dua tahun lagi. Aku hanya meminta secepatnya! Hanya
Allah yang tahu sejauh mana kesiapanku menjadi seorang istri dan ibu. Pun hanya
Allah yang tahu kapan waktu itu akan sampai padaku. Aku hanya berdoa, karena
aku percaya Allah selalu mendengar doa hambanya.
Aku tidak akan mengejar karier terlebih dulu baru
menikah, aku tidak akan menarget harus lulus S2 dulu baru menikah, aku tidak
akan menargrt ini dan itu. Toh, pada akhirnya aku akan menjadi istri dan
seorang ibu nanti. Lalu kenapa harus ditunda jika memang telah sampai waktunya?
Menikah juga tak akan menghalangi kuliah, kehamilan tak akan menghalangi
kuliah, punya anak juga tak akan menghalangi kuliah. Sepaket cobaan dan
kekuatan sudah pernah kubuktikan dan kurasakan bukan? Aku hanya harus meyakini
bahwa seseorang telah dipersiapkan untukku dan aku dipersiapkan untuknya.
Apakah aku sudah mengenalnya? Apakah dia sudah mengenalku? Apakah ia
mencintaiku? Aku tak meminta banyak dalam doa jodohku, aku hanya meminta, Allah jodohkan aku dengan lelaki yang bisa
mengimami aku sholat, yang menerima kekuranganku dan tak malu berjalan di
sampingku.
Masalah maisyah, rezeki atau pekerjaan suami, kalau
aku minta kaya, apakah aku juga kaya? Aku tak lebih dari perempuan yang sedang
belajar mandiri finansial. Bekerja dengan berjualan jilbab online, menulis
cerpen, dan membantu pembuatan jurnal. Aku percaya, menikah membuka pintu
rezeki. Jika kami miskin maka Allah yang akan membuat kami kaya. Menikah
membuka pintu rezeki bukan?
Hari ini aku bilang pada ibu, “Aku ingin
menikah!” Sepanjang hari sejak aku mulai ingin menikah aku sudah berdoa dalam
sujudku “Allah, aku ingin menikah” Aku memang perempuan biasa, tidak punya
kelebihan apa-apa, tidak cantik, juga
bukan anak orang kaya. Aku juga tidak bisa berjalan sesempurna yang lain . Aku
tidak pernah merasakan dicintai lelaki atau diberi perhatian lebih layaknya
kekasih hati. Tapi aku percaya, kelak ada seseorang dikirim Allah sebagai
jawaban doaku. Seseorang yang melamarku pada ayah dan ibuku, menikahiku,
mencintaiku dan sepaket kekuranganku. Menjadi ayah untuk anak-anakku dan
menjadi kunci surgaku. Aku percaya Allah tak akan membiarkanku sendiri.
Ibu, aku ingin menikah. Rabbi la tadzarni fardan wa anta khoirul waritsin. Amin.
Bahagiamu bahagiaku pasti
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati
Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri
Karena kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya
Hampamu takkan hilang semalam oleh pacar impian
Tetapi kesempatan untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Ku percaya diri cintakulah yang sejati
Karena kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya
Kau selalu meminta terus ku temani
Engkau selalu bercanda andai wajahku diganti
Relakan ku pergi karena tak sanggup sendiri
Namun kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Namun kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini ooh silakan kau adu
Malaikat juga tahu, malaikat juga tahu
Aku yang jadi juaranya
Aku suka banget lagu ini, entah kenapa. Tapi setiap mendengarnya, aku selalu punya semangat lagi. Semangat dalam cinta mencintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar