Esok 12
Rabiul Awal, jamak diketahui jika pada tanggal tersebut adalah tanggal lahir
Rasulullah SAW. Di Indonesia kelahiran beliau banyak diperingati sebagai satu
moment yang sakral dan agung. Muludan, begitu
kata orang Jawa. Hal ini tidak bisa terlepas dari bagaimana Islam masuk ke
Indonesia. Islam beserta ajarannya masuk ke Indonesia dengan cara penetrasi,
dengan cara yang sangat laten dan membaur dengan berbagai tradisi yang telah
ada dan eksis. Dengan kata lain Islam masuk ke Indonesia tanpa menimbulkan
hentakan shoc culture, apalagi memicu kontroversi, sesuatu yang
tidak lazim bila dibandingkan dengan sejarah munculnya beberapa ideologi besar
di dunia.
Saya pernah
mendengar tentang Islam Indonesia yakni Islam yang telah melekat bersama dengan
budaya Indonesia. Budaya tersebut telah mewarnai ritual keagamaan. Ada
peringatan muludan, sekaten, syuroan dsb.
Tentu ini tidak terlepas dari faktor historis tadi. Oleh karena itulah, wajah
Islam di Indonesia merupakan hasil dialog dan dialektika antara Islam dan
budaya lokal yang kemudian menampilkan wajah Islam yang khas Indonesia. Dalam
kenyataannya, Islam di Indonesia memanglah tidak bersifat tunggal, tidak
monolit, dan tidak simpel, walaupun sumber utamanya tetap pada al-Quran dan
al-Sunnah. Islam Indonesia bergelut dengan kenyataan negara-bangsa, modernitas,
globalisasi, kebudayaan lokal, dan semua wacana kontemporer yang menghampiri
perkembangan zaman dewasa ini.
Peringatam
Maulid Nabi ini sudah sejak lami menjadi polemik di Indonesia. Pihak yang
menentang peringatan maulid ini berpendapat bahwa hal ini tak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah. Kalaupun Rasulullah pernah berkata bahwa ia
berpuasa tiap hari kelahirannya, tapi beliau tak pernah memerintahkan umatnya.
Jika tetap dijalankan maka ini termasuk dalam bid’ah.
Pihak yang mendukung maulid Nabi berpendapat bahwa
bid’ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah saja, bukan dalam masalah sosial
kemasyarakatan atau masalah muamalah. Adapun seremonial maulid itu oleh para
pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tdak bisa diukur
dengan ukuran bid’ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku
tentang kisah Nabi s.a.w. Padahal di masa Rasulullah s.a.w., tidak ada perintah
atau anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa-masa
berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan beliau.
Rasulullah
adalah manusia biasa seperti kita, hanya saja dia terpilih, dia pilihan dari
semua manusia yang pernah ada. Makna peringatan maulid Nabi Muhammad s.a.w.
yang diselenggarakan setiap tahun oleh sebagian kaum Muslim saat ini, yakni
sebagai bentuk pengagungan dan penghormatan (ta’zhîman wa
takrîman) terhadap beliau dalam kapasitasnya sebagai nabi
dan rasul Allah. Itulah yang menjadikan beliau sangat istimewa dibandingkan
dengan manusia yang lain.
Keistimewaan
beliau tidak lain karena beliau diberi wahyu oleh Allah S.W.T., yang
tidak diberikan kepada kebanyakan manusia lainnya. Allah S.W.T. berfirman yang
artinya: Katakanlah, “Sungguh, aku ini manusia biasa seperti kalian. (Hanya saja)
aku telah diberi wahyu, bahwa Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena
itu, tetaplah kalian istiqamah pada jalan yang menuju kepada-Nya.” (Q.S. Fushshilat [41]: 6).
Masalah furu’iyah seperti ini tentu bukan
masalah sederhana. Banyak pihak yang berselisih hanya karena berpeda pemahaman
tentang bagaimana menyikapi kelahiran nabi. Bahkan tidak sedikit yang saling
mengkafirkan dan menganggap golongannya yang paling benar. Menurut saya,
sebagai manusia kita hanya diberi tugas untuk beribadah dan bermuamalah
sebaik-baiknya. Jika hanya karena perbedaan idealisme maulid saja kita sudah
mengkafirkan dan menjauhi sesama karena paham yang tak sama, lalu dimana letak
tugas kita bermuamalah sebaik-baiknya? Wallahu’alam
Rizza Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar