Saya melihat di kalender, ternyata hari ini tanggal merah. Sejak tidak
ada lagi jadwal kuliah, saya sering lupa tentang hari, tanggal dan moment apa
yang terjadi. Saya hanya ingat hari ini Maulid nabi. Saya teringat dulu saat
saya masih SD, hari maulid nabi seperti ini adalah hari yang sangat
menyenangkan. Kenapa? Karena di hari ini saya tak memakai baju seragam sekolah.
Ya, jujur saya bosan dengan seragam merah putih juga seragam lainnya,
yang harus saya pakai, makanya setiap moment seperti ini saya senang karena
saya bisa memakai baju bebas. Busana muslim, begitu ibu saya memberitahu, setelan
baju atasan dan bawahan panjang plus jilbabnya yang satu setel. Ya, seperti
anak-anak jaman sekarang.
Di hari maulid seperti ini, kami akan mengadakan sholawat bersama di lapangan
sekolah, lalu mendengarkan tauziah guru agama tentang maulid nabi. Shiroh
nabawiyah, karena tauziah beliaulah saya tahu sejarah nabi, bahkan hapal di
luar kepala karena setiap tahun yang dibicarakan selalu sama.
Setelah selesai bertauziah, kami bersalam-salaman kemudian berlari masuk
ke kelas dan membuka berkat. Berkat
itu adalah sebutan untuk makanan yang kami bawa dari rumah. Biasanya ibu tidak
hanya membawakan satu berkat untuk saya tapi dua. Satu untuk saya, satu untuk
wali kelas. Ada beberapa murid yang ibunya berlaku seperti ibu saya. Bisa
dibayangkan betapa pebuhnya meja guru dengan berkat dari kami.
Lauk yang kami bawa tentu macam-macam, ada yang hanya nasi dengan
krupuk, ada yang lauk indomie, telur dadar sampai paha ayam. Biasanya
teman-teman selalu mider. Melihat
lauk apa yang kami bawa. “Lawuhmu opo Mbak Rizza?” Biasanya teman-teman
bertanya begitu. Saya sodorkan saja kardus makan saya. Biarkan dia melihat
sendiri, kadang-kadang mereka ngincipi. Biasanya
yang seperti ini anak laki-laki. Saya tak peduli dengan lauk yang dimasak ibu
hari itu untuk saya, saya juga tak pernah iri dengan lauk teman-teman saya.
Saya hanya senang bisa makan bersama-sama seperti itu.
Malam harinya, sehabis maghrib ada ritual
sama di madrasah diniyah. Kami menyebutnya sekolah madrasah. Entahlah, semua orang menyebutnya begitu, saya
ngikut saja. Belakangan saya tahu kalau madrasah adalah bahasa arab dari
sekolah. Di sekolah madrasah ini saya
juga membawa berkat. Sistemnya
berbeda dengan SD tadi pagi. Jika di SD berkat
itu dimakan sendiri, tapi di sekolah
madrasah, berkat itu dikumpulkan di satu meja besar. Setelah itu kami
anak-anak desa membaca shalawat bersama. Sebelum acara diakhiri kami dipanggil
satu persatu untuk menerima berkat yang
dibagikan secara acak. Kami menyebutnya ijol-ijolan
berkat.
Setelah semuanya menerima berkat kami
berdoa bersama Allahumma bariklana fimaa
rozatana wa kinaa adzban naar. Tentu saja saya berdebar-debar, kira-kira
lauk apa ya yang akan saya makan malam ini? Karena sistemnya ijol-ijolan maka tidak ada yang
mendapatkan berkatnya sendiri. Kami
akan saling melihat berkat satu sama lain. “Hei Cah, aku entuk iwak pitik haha”
Ya, bagi kami anak desa yang sebagian besar anak wong tani, makan dengan lauk ayam adalah kebahagian luar biasa.
Jika sudah begini kami akan makan berkelompok, menyatukan semua lauk dan kembulan (makan bersama-sama). Semua
makan iwak pitik meski secuil-cuil.
Alhamdulillah.
Hari ini saya teringat semua itu, entah kenapa saya merasa sangat
merindukan masa kecil yang ceria itu. Kebersamaan maulid nabi yang masih
membekas hingga kini. Semalam pun saat masjid-masjid di sekitar bershalawat
saya juga kangen malam maulid di rumah. Pasti akan ada berkatan di masjid. Ibu saya akan membuat jenang sengkala. Apa itu jenang sengkala? Jenang yang dibuat dari
beras ketan, dua warna putih dan satu lagi berwarna coklat karena diberi gula
aren. Biasanya juga disebut jenang abang.
Saya suka sekali jenang abang, tapi karena maulid tahun ini saya masih
di Malang tentu saya tak bisa merasakan jenang abang buatan ibu, memakannya
bersama-sama di masjid. Mau buat sendiri di kontrakan, tapi hanya ada sedikit
orang, takut tidak habis. Besok saja, jika semuanya sudah kembali saya ingin
mencoba buat jenang abang sendiri. Tak apalah meski saya kangen maulidan di kampung. Saya bisa
mengobatinya dengan bershalawat dan menulis tulisan ini.
Maulid nabi di Indonesia, sampai hari ini masih mengundang kontroversi,
mubah atau bid’ah? Menurut saya, jika kita terus mendebat masalah ini tentu
kita akan lupa bershalawat pada Nabi. Esensinya adalah shalawat dan berdzikir
pada Allah, tentang kebudayaan yang menyertai, saya tak terlalu
mempermasalahkannya. Setidaknya budaya berkatan
untuk anak sekolah, telah mengajarkan anak mengenal dan mencintai
Rasulullah sejak dini. Mengajarkan anak tentang kebersamaan dan berbagi. Semua
itu masih membekas di benak saya hingga kini.
Rizza Nasir
Makin sukses untuk websitenya, kami akan selalu mengikuti dan hadir sebagai sahabat yang baik. Terimakasih banyak, pak/bu
BalasHapus