Melihat
gadis-gadis kecil bersanggul, bergincu merekah dan pakaian adat yang indah
adalah pemandangan yang lazim terjadi setiap tahunnya di tanggal 21 April.
Sebuah tanggal keramat yang dikultuskan sebagai hari emansipasi wanita. Wanita
itu bernama Kartini yang fotonya anggun, berkebaya putih dan bersanggul. Kata
anak-anak Kartini adalah putri sejati yang harum namanya sepanjang masa.
Pernah
menikmati fenomena 21 April? Anak-anak berdandan sedemikian rupa, ada yang
berpakaian tradisional aceh, jawa, Sumatra juga berpakaian sesuai profesi
impiannya, Polisi, dokter dll. Mereka berbaris rapi , mengular memanjang
membelah jalanan. Meskipun peluh membasah namun mereka tetap ceria dengan ‘pakaian
kebesarannya’
Saya
pribadi sangat terkesan dengan ‘suguhan kultural’ 21 April. Karnaval budaya dan
cita-cita. Mengingatkan masa kecil dengan rutinitas yang sama. Anak-anak masa
lalu dan anak-anak masa kini masih lekat mengenal 21 April sebagai Hari
Kartini. Ya Kartini, Putri Indonesia yang harum namanya itu?
Mengapa
Kartini begitu terkenang? Mengapa tak yang lain saja. Padahal kita pun mengenal
pahlawan wanita lainnya, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika, kenal kan?
Setidaknya pernah membaca nama mereka dintuku sejarah. Mereka pun pahlawan,
namun namanya tak terlalu membekas. Mengapa Kartini? Karena Kartini mau
menulis. Ia gemar bertukar surat dengan temannya –Ny. Abendanon- Menceritakan
apa yang dialaminya, apa yang sedang terjadi di Indonesia, apa yang dia rasakan
menjadi wanita Indonesia dan apa impiannya untuk Indonesia. Ia menuliskannya
yang kini kita kenal dengan Habis Gelap Terbitlah Terang.
Kartini
tidak berperang seperti Cut Nyak Dien. Tapi Kartini juga pahlawan wanita. Lalu
apa yang dilakukan Kartini? Kartini mengajarkan anak-anak gadis membaca dan
wanita ketrampilan yang dapat menunjang hidupnya. Kartini berusaha menyuntikkan
semangat agar wanita tidak tunduk pada aturan zamannya. Aturan yang meletakkan
wanita menjadi pelaku hidup kedua
setelah lelaki. Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya
tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi.
Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut
budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin
wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan
cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf-
vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar
Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan
Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan
Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat
Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap
keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan
perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku
sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan
harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan
kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik
terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan
dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan
bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan
manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus
menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat
orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang
dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini,
lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok
rumah.
Kartini
dengan semua pemikirannya yang tertulis telah membukakan mata perempuan
Indonesia. Bagaimana menjadi wanita yang taat pada Tuhannya, cinta pada
keluarganya dan berkiprah untuk masrakatnya. Namun sepertinya pemikiran emansipasi
yang dipelopori Kartini banyak diartikan menjadi emansipasi yang
sebebas-bebasnya. Bahwa wanita sejajar dengan lelaki bahkan wanita bisa
melebihi lelaki dalam berbagai hal.
Menurut
saya, makna emansipasi tidak bisa diartikan sebebas itu, perlu telaah mendalam
dan diinsyafi secara kodrati. Bahwa lelaki sampai kapanpun adalah imam bagi
wanita. Arrijalu Qowwamuna Alannisa’. Ayat tersebut bukanlah mengartikan kelemahan
wanita atas pria namun lebih kepada perlindungan dan penghormatan pada wanita.
Islam sangat menghormati wanita hingga mewajibkan lelaki untuk melindunginya. Emansipasi
bagi wanita ada pada kebebasan dalam menuntut ilmu, berbudaya dan berproses
dalam masyarakat. Seperti Kartini, yang berbuat untuk masyarakatnya namun tetap
cinta pada Tuhannya dan menghormati suaminya. Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar