Cermin Hidup dimuat dalam atalogi kisah FLP Malang |
Aku
mengenalnya setahun lalu, kami disatukan oleh angin dan takdir, disatukan atas
nama kesamaan keadaan. Mungkin tak ada yang bisa merasakan perasaanku,kecuali
bila mereka mengalami hal yang sama sepertiku. Menjadi gadis yang berbeda dan
bertemu perbedaan yang sama di gadis lain. Aku seperti menemukan kaca
kehidupan. Kaca yang benar-benar hidup. Bila aku bertemu dengannnya, aku
seperti melihat diriku. Diriku dulu dan
kini.
Masih kuingat
dialog pertamaku dengan orang yang mengirim dia padaku. Dialog datar khas
perkenalan mahasiswa baru dan seniornya di suatu malam yang menusuk di bumi
perkemahan Bedengan dalam acara orientasi jurusan PGMI.
“Kenapa nggak ikut jelajah malam”, kata pemuda
itu padaku.
“Maaf Mas, kakiku sakit”, jawabku setengah
takut
“Sakit? Sakit apa?”
“Sudah dari lahir”, jawabku singkat
Hening. Kami terdiam beberapa lama.
“Aku juga punya teman seperti kamu”
“Maksudnya?”, aku bingung
“Cara dia berjalan seperti kamu, dia juga suka
nulis”, katanya lirih.
Malam semakin
menua, dingin semakin merasuk tulang-tulangku. Banyak mahasiswa yang pingsan.
Mas yang tak sempat kuketahui namanya itu pun membantu menolong tim kesehatan
dan dialog kami berrakhir sampai disitu. Allah benarkah di belahan dunia lain
ada gadis yang memiliki kondisi fisik sama sepertiku?. Aku penasaran. Sungguh
aku tak sedetikpun memejamkan mataku, aku penasaran.
“Teman Mas itu siapa namanya”
“Namanya Dira”, nama yang bagus pikirku
“Dia kuliah dimana?”, tanyaku memburu
“Universitas Terbuka Malang jurusan Bahasa
Inggris Penerjemahan”
“Oh begitu, Mas sendiri siapa namanya”, aku
belum mengetahui nama mas itu meski kami sudah berbincang dua kali. Benar-benar
teknik perkenalan yang kurang bagus.
“Aku Farhan”,jawabnya. Kami mulai bertukar
nomor handphone, Mas Farhan pun memberiku nomor handphone Dira.
“Tolong jaga dia ya, semoga kalian bisa jadi
sahabat yang baik”, Mas Farhan berlalu sebelum aku sempat berterima kasih
Hari-hari
setelahnya inboxku penuh dengan nama Dira. Kami mulai mengenal. Dan aku rasa
Mas Farhan benar. Kami sama. Aku dan Dira adalah bayi prematur yang lahir dua
puluh tahun silam. Aku sendiri baru bisa berjalan pada usia empat tahun. Jalan
yang sangat jauh dari kata berjalan. Kakiku tak menyentuh tanah secara
sempurna. Lututku pun menekuk mengimbangi tubuhku. Entahlah sudah berapa
banyak pil, kapsul, jamu yang kutelan,
berbagai variasi pengobatan yang kujalani.
Mulai dari pijat urut, pijat refleksi, terapi elektromagnetik, sampai
menggunakan sepatu besi aku pernah.Semuanya tidak sia-sia. Setidaknya cara
jalanku membaik. Dira pun menceritakan kondisinya. Semuanya nyaris sama. Yang
membedakan hanya satu Dira kidal. Dia lebih banyak menggunakan tangan kirinya
untuk beraktifitas. Rizza,
kamu kok berani sih jauh dari orang tua?,
Kamu nggak kesulitan, hidup di
pondok, melakukan segala sesuatunya sendiri?
Kawan, sms itu adalah sms yang membuatku bertanya-tanya.
Kenapa aku harus kesulitan? Semuanya biasa saja menurutku. Kenyataan bahwa aku
kuliah di Malang, hidup jauh dari orang tuaku yang menetap di Kediri adalah hal
yang paling membuat Dira terus bertanya tentang kondisi fisikku.
Rizza kamu bisa menyetrika baju, nyuci, masak?
Rizza kamu nggak capek jalan-jalan jauh begitu, setahuku kampus itu besar dan luas
Rizza kamu nggak capek jalan-jalan jauh begitu, setahuku kampus itu besar dan luas
Rizza gimana sih rasanya jadi mahasiswa, pasti enak
ya. Punya banyak temen, diajar dosen, punya banyak pengalaman
Pertanyaan Dira yang sederhana,
kujawab apa adanya. Aku bisa melakukan segala yang ia tanyakan itu. Aku hidup
terpisah dari orang tua sejak lulus SD, hidup di asrama putri. Ibuku memang
menginkan agar aku menjadi gadis mandiri dan tidak bergantung pada orang lain
meskipun aku memiliki kekurangan. Aku pun tidak keberatan ketika jauh dari
orang tua. Aku mengenal banyak orang baru, lebih banyak bergerak memenuhi rasa
penasaranku tanpa ada orang yang melarang dengan nada kecemasan. Aku hanya
punya keberanian saat itu, tanpa bisa apapun. Nekat.
“Ibu ndak selamanya bisa mendampingi kamu, Nduk”, itulah kata-kata ibu yang selalu menguatkanku dan meyakinkanku bahwa aku harus punya keberanian untuk mencoba.
“Ibu ndak selamanya bisa mendampingi kamu, Nduk”, itulah kata-kata ibu yang selalu menguatkanku dan meyakinkanku bahwa aku harus punya keberanian untuk mencoba.
Dira sahabatku, bercerita bahwa
keluarganya selalu melarangnya melakukan apapun. Selalu dibantu. Mereka terlalu
khawatir keselamatan Dira.
Aku takut hidup jauh dari orang tua Za,aku tidak bisa apa-apa. Aku juga tidak pernah jalan jauh. Capek. Nggak kuat. Biasanya dibonceng Mama. Aku pengen juga sih seperti kamu, hidup mandiri tapi kata Ayah, aku nggak mungkin bisa nge-kost. Semuanya sulit. Aku harus belajar jalan yang baik dulu.
Mengenalnya membuatku tahu kuliah di universitas terbuka
sangat membosankan. Tidak ada dosen, teman. Belajar sendiri, ngatur waktu
sendiri Semuanya sendirian. Kesepian
Ujian tinggal 1 bulan lagi. Ternyata itu ujian UAS lho
Za, aku kira UTS padahal aku masih belajar separuh. Di UT memang nggak da UTS
Za. Waduh...gimana nih. Aku takut Za. Bosen aku di rumah. Belajar sendiri,
bingung juga sendiri. Kalau jurusan lain masih ada dosen jarak jauhnya, tapi
kalau jurusanku nggak ada. Oia Za. UASku bulan depan di Malang lho...Di SMA 6.
Za aku pengen ketemu kamu.....
Hujan
masih terus mengguyur, aku membuka lebar payungku, memakai kembali sepatu dan merapatkan jas almamater. Baru saja aku mengikuti
pelatihan keorganisasian. SMS dari Dira berkali-kali masuk
Za, aku di Malang sekarang. Mau UAS, doain aku ya...Duh aku takut nih. Insyaallah nanti aku mampir ke UIN. Kita harus ketemu hari ini.
Za, aku di Malang sekarang. Mau UAS, doain aku ya...Duh aku takut nih. Insyaallah nanti aku mampir ke UIN. Kita harus ketemu hari ini.
Senangku tak terkata. Aku akan bertemu sahabatku. Gadis
yang memiliki kondisi sama sepertiku. Seperti apa ya dia. Ah...pasti cantik.
Aku sempat merasa ciut. Aku tidak siap menerima kenyataan jika Dira lebih
‘sempurna’ dariku, jika aku sangat ‘kurang’ dibandingkan dia. Tapi bukankah Mas
Farhan bilang kita sama?
Aku
masih menunggu sendirian dalam masjid Ulul Albab sore gerimis itu. Masih dengan jas almamater, aku
belum sempat pulang. Akan membutuhkan waktu lama jika aku harus naik ke lantai
dua tempat kamarku berada hanya untuk ganti pakaian. Aku tak mau kehilangan
banyak waktu untuk bertemu sahabatku itu. Mobil-mobil berseliweran melewati
masjid. Adakah satu dari mobil itu mobil keluarga Dira. Aku masih berharap dia
benar-benar datang.
Mobil
merah marun mendekat tepat di bibir tangga masjid. Seorang gadis keluar dari
pintu belakang. Di berjalan ke pintu depan, membukanya perlahan, membantu
seseorang untuk turun. Mereka berdua berjalan beriringan. Dira, yang mana dia?
Aku mulai menyadari salah satu dari dua gadis itu berjalan sepertiku.
Allah....gadis berkerudung hijau itulah Dira? Kusambut tangannya.
“Dira ya?, Aku Rizza”. Aku menyalami tangan kanannya. Tangan yang lemas dan kaku.
“Dira ya?, Aku Rizza”. Aku menyalami tangan kanannya. Tangan yang lemas dan kaku.
Aku
bertemu dengan Dira yang nyata, sebelumnya hanya nampak samar dalam khayalku. Aku
tak salah dia cantik. Matanya bulat indah, pipinya tembem, kulitnya putih
bersih, agak sedikit berisi. Cara dia berjalan memang mirip denganku. Hanya
saja lutut kananya nekuk hampir separuh. Hal inilah yang membuat Dira
membungkuk ketika berjalan, bungkukan badannya berbanding lurus dengan tekukan
lututnya, membuat Dira kelihatan lebih pendek dari tinggi yang sebenarnya. Saat
dia berjalan tangan kananya selalu berada di depan dadanya. Mungkin cara
berjalan seperti itulah yang paling nyaman ia rasakan. Hatiku menangis saat aku
bertemu dengannya. Hanya dalam hati, aku tidak tega menangis di depannya. Kami
berbicara banyak hal. Aku berkenalan dengan Ayah, Mama dan adik perempuannya.
Hari itu aku mengucap janji untuk menginap di rumahnya kelak bila liburan tiba.
Bertemu
dengannya membuatku semakin yakin pada hidupku. Aku tidak sendiri. Masih banyak
orang lain yang sama denganku. Aku tidak boleh lemah. Bila aku lemah siapa yang
akan menguatkan Dira. Kita memiliki kondisi yang sama, kita juga sama-sama
wanita. Dia merasa nyaman ketika menceritakan apapun yang terjadi di tubuhnya
padaku. Apapun yang dia alami sekarang, aku juga pernah mengalaminya bertahun
lalu. Kalaupun kini caraku berjalan lebih baik dari Dira, suatu saat aku yakin
Dira bisa sampai pada posisiku. Tolong jaga dia ya, semoga kalian bisa jadi
sahabat yang baik
Keluargaku
pun tahu, aku mengenal Dira. Sama sepertiku, ibuku juga tidak menyangka ada
copianku di luar sana. Aku pun mengajak keluargaku untuk mengunjungi rumahnya
ketika libur kuliah tiba. Blitar. Selama setahun mengenalnya sudah empat kali
aku kerumahnya.Dira pun sudah pernah ke rumahku. Kami benar-benar menjadi
keluarga. Aku sudah hafal setiap sudut rumahnya. Adikku pun betah. Setiap aku
kerumahnya, Ibuku dan Mama Dira akan berbincang berdua di ruang keluarga,
mungkin mereka bertukar pengalaman, dan saling memberi masukan tentang kondisi
kami. Ayahku dan ayahnya berbincang apa saja di ruang tamu.Aku dan Dira pasti
langsung masuk kamar, berbincang banyak hal, saling memotivasi. Bertukar buku
dan memberi masukan pada tulisan-tulisan kami. Kami selalu berbagi tulisan
lewat facebook.
Pagi ini, aku menulis di meja yang sama dimana
ia biasa menulis, dua malam ini aku tidur di ranjang dimana ia biasa tidur. Ya.
Aku tak pulang. Lebih tepatnya tak boleh pulang. Ibu Dira dan keluarganya
menyuruhku menginap di rumahnya.
Menjalani hidup bersamanya. Aku jadi semakin
paham kesehariannya. Dari bangun tidur
sampai tidur lagi. Seharian kemarin aku menghabiskan hariku membaca novel
koleksinya, kebanyakan tentang self improvement. Dira juga langganan
majalah STORY, kesukaannya menulis terutama teenlit membuatnya gemar membeli
majalah yang kata orang surga cerpenis ini. Sementara Dira lebih asyik menonton
film yang telah ia copy dari acerku. Sesekali aku mengalihkan pandangan dari
buku ke laptop. Aku juga tertawa
bersamanya ketika adegan lucu, atau menangis saat film itu berakhir sedih. Bagiku bersama dengan banyak buku dan cerpen
seperti ini adalah kebahagiaan tersendiri. Bisa menambah panjang titian
inspirasiku. Ah...bagiku Dira adalah inspirasi, inspirasi yang tak pernah
menemui tepiannya.
Kini aku mulai
mengenalkan Dira pada sahabat-sahabatku, aku ingin dia mengenal lebih banyak
orang dihidupnya. Kehadiranku tak akan pernah cukup memberikan dia motivasi dan
ilmu baru. Semakin banyak orang yang ia kenal semakin dia tidak kesepian dalam
harinya.banyak hal yang akan ia dapatkan
Dira kamu tidak sendiri, seluruh temanku adalah temanmu juga.
Sebuah sms yang
semakin membuatku menyayanginya
Rizza, jangan
menikah dulu ya...
Kenapa?,balasku
Aku takut
kehilangan kamu, kalo kamu punya suami nggak akan pernah lagi sms aku...
Dira, aku janji kelak bila aku sudah menikah,
aku tidak akan melupakanmu sahabatku. Akan kuajak belahan jiwa dan buah hatiku
kerumahmu, bertemu dengan ayah dan mamamu.
Dira
memang tak lahir dari rahim ibuku, tapi dia adalah saudara perempuanku. Orang
tuanya memang tak membesarkanku, tapi mereka juga orang tuaku. Allah, terima
kasih atas semua yang kau beri dalam detik hidupku, kau tuntun aku mengenalnya.
Dua tali itu memang telah terikat dan kini semakin kuat. Allah aku tak terlalu
mengenal pengikatnya, aku hanya tahu dia baik.Berikanlah kebaikan untuknya atas
kebaikan yang ia lakukan pada kami.
Allah, terima kasih kau izinkan aku mengenalnya, kami memang tak sempurna. Tapi aku tak pernah merasakannya. Aku merasakan diriku sama seperti orang kebanyan, aku yakin bisa melakukan semua hal. Itu juga yang selalu kukatakan pada Dira. Bahwa keterbatan bukanlah penghalang kehidupan, justru keterbatasan itulah yang melengkapi kesempurnaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar