Takbiran sendirian,
tanpa ada ayah, ibu dan adik-adik. Menyesakkan memang, tapi inilah kenyataan.
Mungkin juga ini satu alasan kenapa Indonesia begitu akrab dengan tradisi mudik
menjelang hari raya Idain. Karena mereka tak ingin takbiran sendirian dan tak
ingin diselimuti kerinduan menyesakkan.
Bagi orang lain,
mungkin Idul Adha tak sesakral Idul Fitri, yang harus bersama keluarga,
bela-belain pulang meski harus berdesakan, meski harga tiket mahal. Tapi bagiku
Id tetap Id. Takbiran tetap tetap takbiran. Dua hari raya ini begitu istimewa,
tapi kali ini terasa sangat berbeda.
Biasanya, malam Id,
kami sekeluarga sudah sibuk dengan pekerjaan kami. Faisal dan Farid, menyapu
halaman, mengepel lantai, membersihkan kaca, atau menata karpet untuk tetamu,
sedangkan aku dan Ibu, menyapu rumah, membersihkan meja-meja, menggantinya
dengan taplak cantik lalu menata hidangan di atasnya. Sehari atau dua hari
sebelumnya, biasanya kami sibuk membuat kue kering rupa-rupa. Jika semua itu
sudah selesai, baju-baju untuk shalat Id menunggu disentuh. Koko atau hem
Faisal dan Farid, Koko Ayah, sarung mereka, baju ibu dan bajuku harus
disetrika, kalau perlu disemprot dengan
pewangi. Semua itu sudah menjadi kebiasaan tiap tahun.
Malam ini, tak ada
semua itu.
Ayah dan ibu, tak perlu
aku menyetrika baju-baju mereka, karena malam ini mereka hanya harus memakai
pakaian ihram untuk wukuf. Bersama ribuan orang disana, bersama mereka jamaah
haji Indonesia yang mungkin sudah menunggu belasan tahun untuk menunaikan rukun
islam kelima, beruntung, ketika daftar haji pada 2009, ayah dan ibu hanya
menunggu 5 tahun saja. Tahun ini mereka disana, di tempat paling suci di muka
bumi ini.
Ayah, pripun kabare?
Ibu, sehat?
Pasti di padang Arafah
semalaman begini dingin sekali, apalagi ayah yang hanya mengenakan kain ihram. Yah, adem gak? Ayah sehat? Sudah dapat
jadwal cuci darah minggu ini?Ayah, semoga setelah dari Mekkah, ayah sehat
kembali. Semua sakit hilang, semua fungsi organ kembali normal dan ayah bisa
kembali berjalan.
Ayah,
Mbak Rizza pengen dibonceng ayah naik motor lagi, pengen di ajak ke kota-kota
yang pernah ayah kunjungi seperti dulu. Pengen dijemput ayah di Jogja ini,
seperti dulu ayah menjemputku di asrama tiap Sabtu Minggu dan mengantar kembali
setiap Senin pagi. Aku masih ingat, dulu aku lelet, hingga aku sering berangkat
kesiangan, padahal jarak rumah dan sekolah harus di tempuh lebih dari setengah
jam, belum lagi hari Senin pagi yang begitu padat, akibatnya njenegan harus
ngebut, ayah marah kalau aku begitu, tapi aku masih mengulangnya. Lagi, dan
lagi. Ayah, kapan ayah mengajakku ke toko buku lagi?
Ayah,
banyak sekali kenangan masa remajaku bersamamu, saat sehatmu dulu. Mungkin itu
tidak dirasakan Faisal atau Farid. Aku beruntung karena lahir lebih dulu, hingga
aku bisa menikmati masa itu lebih lama. Tapi Yah, Faisal sangat mirip denganmu.
Keras, tegas tapi tanggung jawabnya besar sekali. Jadi, kalau Faisal atau Farid
agak susah diatur, pasti dulu Ayah juga begitu kan? :P Seperti aku dan ibu,
yang kata banyak orang banyak sekali kemiripan dari sifatnya. Kalau wajah, bisa
ditebak, Rizza memang anaknya Pak Nasir
bukan anak ibu, haha.
Ayah,
aku memang merindukan masa kecilku bersama ayahku yang gagah, tapi aku lebih
merindukan kehadiranmu dan kepulanganmu di rumah. Aku kangen ayah yang ngomel
saat aku senang bermain air, aku kangen ayah yang begitu khawatir padaku, aku kangen rumah yang rame saat pagi. Faisal
dan Farid memang susah sekali dibangunkan, jadi harap lebih bersabar ayahku
sayang. Aku sudah bilang kan, Aku sayang Ayah!
Ibu,
hai!, bagaimana rasanya berhaji? Bagaimana rasanya naik pesawat? Aku masih
ingat ibu sering bertanya soal naik pesawat, apa saja yang boleh di bawa ke
kabin, bagaimana pemeriksaan barang dan bagaimana saat naik. Nah, sekarang
sudah tahu kan?
Masih
kuingat juga kita berdua yang sibuk menata baju-baju di koper besar itu. Tas
jinjing dan tas kalung. Lalu, kita ‘engkel-engkelan’ ini dibawa atau tidak di
bawa. Ini butuh atau hanya penuh-penuhin tas saja. Ah ibu, kita memang tak
pernah akur ya!, pasti ada saja yang membuat kita berbeda pandangan. Tapi
memang kata banyak orang, seorang ibu dan anak perempuannya banyak sekali
‘perdebatan’
Ibu,
aku kangen curhat denganmu. Aku kangen cerita banyak hal. Banyak hal yang
terjadi disini, di kotamu Bu. Jogja. Kota kita. Ibu sering bercerita tentang
Jogja, itulah yang membuatku bermimpi juga tinggal di kota ini. Menamatkan
sarjana atau bekerja. Tapi sayangnya, dulu ibu dan ayah belum merestui kan? Ya,
aku manut saja. Tapi, thank you so much, setelah aku wisuda. Kalian benar-benar
mengangapku sebagai gadis dewasa. Mandiri seutuhnya. Akhirnya, aku bisa
mewujudkan mimpiku yang kesekian. Tinggal di Jogja. Kota kita.
Bu,
apakah sudah berdoa untukku? Untuk adik-adik? Untuk keluarga besar kita dan
desa kita? Foto-foto kami bertiga, sudahkah terbawa angin Saudi Arabia? Bu,
seperti perbincangan kita di seluler beberapa hari lalu. Aku ingin menikah.
Katakan pula pada ayah tentang hal itu. Tapi sejujurnya, ayah sudah tahu. Malam
hari beberapa jam sebelum kalian ke pondokan, aku sudah mengatakan pada ayah.
“Ayah, aku ingin menikah”
Doakan
aku agar aku segera dipertemukan dengan Masku, aku pun tak tahu, dengan Mas
yang itu, yang itu atau yang itu. Atau dengan Mas yang belum pernah kukenal.
Siapapun dia, aku percaya Allah tak akan membiarkan anak perempuanmu ini hidup
sendirian karena janjinya setiap insan hidup berpasangan.
Bu,
tak perlu khawatir dengan kondisiku, aku percaya ada satu lelaki di luar sana,
yang jauh tapi merasa dekat denganku, yang tak bertemu tetapi merasakan
kehadiranku dan tak terkata tapi sebenarnya jatuh cinta. Bu, aku cantik seperti
kata ibu, meski tak terlalu cantik. Seperti katamu Bu, “Sing penting sholihah
Mbak” Bukankah namaku Sholihah? Itulah doa kalian berdua untukku. Doa yang
harus kuwujudkan, bukan?
Aku
sudah berjanji, aku tak akan menyerah, aku tak akan merasa kalah. Putrimu ini
sudah kuat Bu, kebal, tahan banting, bernyali besar dan mandiri. Itu kan yang
selalu ibu impikan? Sudah kuwujudkan Bu. Apapun dan bagaimana pun keadaanku,
aku akan tetap menjadi Rizza, anak perempuanmu. Aku tak pernah malu, tak pernah
takut. Itu semua untukmu, untuk ayah dan untuk adik-adik. Karena hanya dengan
itu aku bisa membuat kalian tersenyum.
Bu,
tak perlu khawatir dengan pendampingku. Meski sudah banyak teman-temanku yang
menikah, kelak aku akan menikah juga Bu. Menjadi ibu yang tangguh sepertimu.
Ibu dari empat anak yang lucu-lucu. Dulu ibu bermimpi punya anak empat kan?
Tapi Allah hanya merestui tiga, Aku, Faisal dan Farid. Operasi caesar memang
tak boleh melebihi tiga kelahiran. Untuk itu aku yang akan mewujudkan Bu, ayah
dan ibu akan memiliki empat cucu dariku. Semoga nanti Masku juga setuju. Jangan
khawatir Bu, aku tak takut kok punya anak banyak, haha
Untuk
itu berdoalah untukku di tempat paling mustajabah itu, agar aku segera bertemu
dan disandingkan dengan menantu lelakimu itu. Dimanapun dia sekarang, anak
siapa, dari kota mana. Kau dan aku tak pernah mempermasalahkannya. Tapi Bu, aku
tak ingin pergi jauh darimu, aku ingin berjodoh dengan orang yang jika beda
kota maka bisa kami tempuh 2-3 jam saja. Agar aku bisa sering menengokmu dan
ayah. Seminggu sekali, kalau anak-anak libur mengaji, seperti halnya masa kecil
kami. Membawa anak-anak ke rumahmu untuk menggenapi kerinduanmu. Kudengar,
kalau sudah punya cucu, seorang ibu akan sangat merindukan cucunya kan? Nah,
aku tak ingin kalian mendem kangen terlalu lama.
Ibu,
seperti yang kau ucapkan pula di seluler tempo hari : “Sing pinter, cepat dapat
kerja dan segeralah menabung untuk berhaji”Kuamini doa itu. Bu, hari Senin esok
aku dapat panggilan tes wawancara dari sebuah perusahaan. Jika diterima maka
aku akan bekerja sebagai penulis artikel tetap disana. Doakan aku ya Bu, semoga
semua dimudahkan dan aku bisa segera bekerja.
Entah
ini kata-katamu yang keberapa yang terwujud. Dulu kau pernah bilang, “Jadilah
penulis saja, kerja dari rumah. Kamu masih bisa merawat anakmu dan buat kue di
rumah. Atau jika tidak begitu, sekolahlah S2 dan jadilah dosen, dosen perempuan
itu langka dan waktunya lebih fleksibel, tapi tetaplah menulis”Hingga kini, aku
dan dunia kepenulisan seperti magnet Bu, lengket, kelet! Aku pernah mencoba
dunia yang lain, tapi lagi-lagi aku kembali ke nulis. Kembali ke Microsoft
Word!
Sebenarnya,
aku juga dapat kesempatan tes lanjutan untuk kepenulisam artikel berbahasa
inggris Bu, tapi urung kuikuti karena berbenturan dengan jadwal yang lain. Oya,
aku juga sudah mengirim satu artikel ilmiah untuk jurnal. Tuh kan Bu, terwujud
lagi! Masih ingat kau pernah bilang, “Temanku ada yang jadi peneliti di LIPI,
kamu juga bisa lho jadi peneliti, prospektif untuk umat dan bisa mengembangkan
keilmuan” Seperti halnya kepenulisan aku juga sangat mencintai penelitian. Bu,
aku bersyukur lahir dari rahimmu. Karena meski kau Ibu rumah tangga biasa, kau
sangat peduli pendidikan dan keilmuam. Kau membiarkan aku berkelana
kemana-mana. Memenuhi hasrat liarku dan ingin tahuku. Hal yang tak kau dapat
saat gadis dulu.
Bu,
aku pernah bilang, aku ingin seperti ibu yang bersuami ayahku. Ayah adalah
lelaki nrimo, setia dan punya semangat juang tinggi. Cintanya pada keluarga
melebihi kecintaan pada dirinya sendiri. Hanya, aku ingin suami yang tidak
merokok Bu! Karena berawal dari rokok pula, ayah seperti sekarang. Aku tidak
mau Masku seperti itu nantinya.
Ibu
begitu peduli soal detail apa saja. Kurang ini, kurang itu, sementara ayah yang
lebih suka sekenanya. Ibu yang begitu serius dan susah guyon, sementara ayah
yang sedikit-sedikit guyon. Bahkan dalam keadaan sakit pun masih bisa melucu.
Ibu yang suka panik dan takut pada hal-hal sepele, sementara ayah yang tenang
dan pemberani. Ibu yang pandai mengatur uang sementara ayah yang boros, ibu
yang pelupa sementara ayah yang selalu ingat pada hal kecil. Ibu yang suka
menaruh barang sekenanya, sementara ayah yang lebih senang rumah tertata. Ibu
yang cerdas sementara ayah yang tak terlalu pintar tapi berinsting kuat.
Apalagi? Banyak!
Kalian
berdua benar-benar berbeda, mungkin ini juga yang dinamakan jodoh, tak harus
sama dalam segala hal, bahkan dalam banyak perbedaan. Kelak aku juga akan menemukannya
pada Masku, kami yang berbeda tapi nyatanya bisa bekerja bersama, nyatanya bisa
saling mencinta, nyatanya bisa berjuang bersama, dari yang tak punya apa-apa
sampai berhasil punya banyak hal. Punya anak, punya rumah, punya usaha bersama.
Punya apalagi? Punya cinta, ahaha
Apa
sih cinta itu? Itu yang pernah kutanyakan bukan? Tapi aku sekarang sudah tahu
Bu. Aku sangat mencintai kalian ayah dan ibuku. Kalian adalah pangkal dari
semua mimpi-mimpiku. Terima kasih telah membesarkanku sampai sebesar ini,
terima kasih telah sabar dan ikhlas menerima kehadiranku. Allah menyediakan
sebuah tempat istimewa di surga untuk perjuangan kalian atas diriku.
Ayah
ibu, disini, setiap hari aku bisa melihat pesawat dari dekat, pesawat itu
selalu melintas. Lebih dari sepuluh kali sehari. Terbang rendah, aku selalu
mengamati dari jendela kamarku, berharap kelak bisa naik pesawat kembali. Ke
kota paling suci di bumi ini.
Malam ini, tak biran
sendirian. Faisal dan Farid di Kediri mungkin juga sedang kesepian. Tapi, kita
harus belajar, kelak kita pasti berpisah. Hidup mandiri, dengan keluarga kami
sendiri. Mungkin aku akan lebih sering sholat Id di kota suamiku dan baru ke
rumah ayah dan ibu setelahnya untuk bersilaturahim. Apa bedanya dengan malam
ini? Allah sedang memberimu kesempatan untuk training Rizza, latihan tidak
takbiran di rumahmu. Karena kelak kau akan banyak menghabiskan malam takbiran
di kota suamimu. Bersyukurlah, Allah memberi satu kesempatan ini. Takbiran
pertama di perantauan. Sendirian
Yogyakarta,
Malam Idul Adha
3 Oktober 2014
Rizza
Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar