Mungkin agak aneh di
dengar, tapi memang baru tahun inilah aku mendapatkan daging kurban pertamaku.
Tahun-tahun sebelumnya, ibuku yang mendapatkannya, ibu yang mengurusnya. Dari
mulai membersihkan daging sampai memasaknya, mungkin aku hanyamembantu
menguliti bawang atau bumbu yang lain, selebihnya ibu yang memasak daging itu,
kami sekeluarga tinggal makan saja.
Lagipula, aku agak
jijik melihat gajih sapi atau kambing. Lembek-lembek gimana gitu. Belum lagi
baunya, pyuwhh.. kalau sudah mengurus daging kurban, baju, kerudung, badan dan
rambut semuanya bau daging. Alat masak
bekas daging pun setelah dicuci kadang baunya masih melekat. Itulah yang
membuatku ogah-ogahan mengurus daging kurban. Kan ada ibu.
Tapi tahun ini berbeda.
Ibu dan ayah sedang berhaji, aku pun tak pulang ke Kediri. Memilih tetap di
Jogja, meski menyesakkan takbiran sendirian semalam. Ternyata, tiap rumah
termasuk anak kos juga mendapatkan jatah daging kurban. Sementara teman kosku
yang lain merasa tidak bisa memasak, merasa tidak bisa mengurus daging dan
jijik dengan daging mentah. Akhirnya semua sepakat menunjuk diriku! Dengan
asumsi akulah yang paling sering uthek-uthek
di dapur selama ini. Alamaak! Andai mereka tahu, kalau aku juga belum
pernah mengurus daging sendiri! Andai... andai... Ah..
Kulihat daging kurban
itu, cukup banyak, satu kresek tanggung. Sejak tadi di taruh begitu saja di
atas kursi. Kasihan juga! Akhirnya dengan modal bismillah kuambil daging itu,
kucuci lalu kurebus. Entah mau dibuat masakan apa nanti yang penting di rebus
dulu! Biar awet! Biar tidak bau!
Jujur saja, daging sapi
yang harganya mencapai 80 ribu per kilo itu tak terbeli oleh keuanganku selama
ini. Selama di Malang dan selama masa perantauanku dimana pun itu, daripada
untuk beli daging lebih baik untuk yang lain. Banyak juga sebenarnya penjual
rendang, tapi entah kenapa aku sama sekali tak tertarik membeli lauk daging
selama ini, selain mahal. Aku lebih suka membeli sayur dengan lauk sederhana,
seperti tempe, tahu, perkedel atau yang lain. Oya, krupuk, Wajib!
Dulu saat di kontrakan
Malang, jika ingin makan enak, biasanya kami membeli lalapan ayan atau lele.
Jika ingin masak sendiri, kami satu kontrakan membeli setengah kilo ayam atau
ceker 5 ribu. Lima ribu bisa mendapat 6 ceker. Untuk apa? Kalau tidak sop ceker
ya, ceker bumbu pedas, sebenarnya kami sok-sokan memasak ceker mercon yang
terkenal itu. Alhamdulillah berhasil! Pedasnya minta ampun! Kebanyakan anggota
rumah memang suka masakan pedas. Ya, cabai jarang beli, karena jika aku pulang,
pasti bawa cabai dari rumah. Cabai dari sawah.
Kemabali ke daging
kurban pertamaku itu, akhirnya hari ini aku ke pasar, membeli sengkarut bumbu
yang sudah terdaftar di resep. Ceritanya tadi pagi mencari resep masakan
daging, dapatlah resep serundeng daging dan empal gepuk. Bisa tak bisa, enak
tak enak, daging itu harus dimasak dan aku memutuskan memasak dua resep itu.
Meski sebelumnya aku belum pernah mencoba memasaknya di rumah. Tapi, apa
salahnya di coba!
Membuka tutup daging.
Bau khas daging menguar. Allah, kuatkan
aku! Kalau bukan aku yang memasaknya siapa lagi? Kalau aku tetap
mempertahankan egoku, maka daging ini akan terbuang sia-sia! Mubadzir, eman-eman! Bumbu-bumbu sudah kukupas dan
siap dihaluskan : Bawang merah putih, asam jawa, garam, lengkuas, serai, daun
salam, daun jeruk, gula merah, kemiri, ketumbar, merica. Ulek sampe halus Mamen!
Setelah itu, bumbu
halus dimasukkan ke dalam perasan santan. Setelah siap, daging sapi bagian has
di masukkan dan direbus sampai air meresap habis. Sekitar sepuluh menit di atas
kompor, aku mulai mencium bau sedap. Ini
kan bau masakan ibu! Oh, jadi bau masakan seperti ini itu bumbunya ini!
Setelah santan dan bumbu meresap dalam daging. Daging
dipotong tipis-tipis lebar, digepuk (dipukul) sampai penyet atau
pipih, saatnya di goreng dengan api kecil sodara! Melihat daging-daging iru
mulai menghitam matang, legalah rasanya. Ibu,
aku bisa memasak empal gepuk seperti masakanmu. Oya, hitam itu bukan
gosong, tapi karena tadi bumbunya ada gula merah. Gula merah itulah yang
menyebabkan empal gepuk goreng berwarna coklat tua kehitaman. Rasanya enak
juga. Alhamdulillah!
Satu lagi, resep yang
kupertaruhkan untuk daging pertamaku adalah serundeng daging. Sebelumnya aku
hanya makan serundeng jika ada tonjokan
manten atau berkat tahlilan. Selain itu tak pernah makan, atau membuatnya,
ibuku sendiri tak pernah. Selain membutuhkan waktu lama, serundeng juga sulit.
Tapi, justru itulah yang membuatku tertantang membuat serundeng daging.
Bumbunya hampir sama
dengan empal hanya saja tanpa santan, jumlah bawang merah putih, asam dan gula
jawa lebih banyak. Prosesnya begini : Daging yang sudah direbus tadi diiris
kotak kecil, lalu di masak bersama bumbu yang telah dihaluskan, Setelah daging
tercampur dengan bumbu, kumasukkan parutan kelapa muda. Tadi di pasar beli
kelapa parut satu buah. Aduk terus dengan api kecil. Aduk sampai kecoklatan,
sampai kelapanya tidak lengket, kering! Ya, setengah jam baru selesai mengaduk
serundeng itu, setengah jam tanpa henti mengaduk wajan, Phuffttt rasa pegelnya
tuh disini!
Tapi, tapi,
alhamdulillah tsumma alhamdulillah.
Serundeng pertama dari daging kurban pertama itu berhasil sodara-sodara.
Rasanya gurih, asinnya pas, manisnya pas, kering dan sedap. Eh ini yang bilang
teman-teman satu kosku lho, dan semuanya say
thanks karena sudah menyelamatkan daging kurban kami semua. Olala, berasa kayak pahlawan bertopeng ya!
Penyelamat cuy, penyelamat daging!
Benar kata ibu, perempuan itu bukan mereka yang manis, lucu,
centil dan kemayu. Perempuan itu yang bisa membawa diri, dan paham pekerjaan
perempuan. Tidak selamanya kita bertahan dengan ego untuk jijik dengan ini atau
dengan ini. Kelak kalau sudah menjadi ibu, mau tidak mau kita yang akan turun
tangan mengurus daging, ikan, ayam dan lainnya. Kalau masih suka jijik, siapa
yang akan mengurusnya? Anakmu? Suamimu?
Ibu benar! Ibu benar! Terima kasih untuk hari ini Alllah, untuk
daging kurban pertamaku, untuk empal gepuk pertamaku, untuk serundeng
pertamaku. Terima kasih pula telah menyelamatkanku, sehingga aku bisa memasaknya
enak, meski tentu saja belum seenak masakan ibu. Aku berjanji, tak akan jijik
lagi dengan urusan daging atau ikan mentah. Mereka semua makhluk-Mu, kalau
dengan ayam saja aku bisa berani mengurusnya, kenapa dengan daging dan ikan
tidak? Aku akan belajar memasak lebih baik lagi.
Yogyakarta,
Minggu, 5 Oktober 2014
Rizza
Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar