Ma Isa adalah nama
sebuah kedai lalapan yang berada tepat di depan kontrakan saya. Memanfaatkan
teras rumah sebelah yang lapang, disitulah ia mencari rezeki dengan berjualan
lalapan. Awalnya saya mengira wanita yang berjualan itu berusia lima tahun di
atas saya. Karena dia sedang hamil tua. Ternyata dugaan saya salah, wanita yang
berjualan lalapan itu seusia dengan saya.
Adanya Ma Isa berjualan
di depan kontrakan tentu sangat membantu perut kami, jika tidak ada sayur atau
ikan yang di masak dan sedang malas keluar cari makan karena hujan, Ma Isa jadi
pilihan. Kami satu kontrakan sembilan orang, jika masing-masing dari kami
pernah beli makan di Ma Isa, berarti kami masuk dalam kategori pelanggan setia,
hehe.
Saya sangat trenyuh
melihat Ma Isa, yang dengan perut buncitnya terus bekerja. Sembari menunggu dia
menggoreng ayam pesanan saya, saya mulai iseng bertanya ini itu padanya. Entah,
jika ada hal yang luar biasa seperti
ini, saya selalu ingin tahu lebih banyak. Pernah satu sore saat saya beli, Ma
Isa mengenakan jaket, ternyata itu adalah almamater. Ma Isa ternyata seorang
mahasiswa. Bodohnya sekian bulan bertetangga,
saya baru tahu kalau dia masih kuliah.
“Lho, Mbak masih kuliah
ternyata?, dimana?”
“Di Kanjuruhan Mbak,
semester 7, ini sedang menyelesaikan skripsi” ungkapnya
“Wah sama dong, saya
juga. Jurusan apa?” saya memburu
“PGSD Mbak”
Glek,
sama lagi. “Saya PGMI lho Mbak di UIN” kataku
bersemangat
“Suami saya ini anak
UIN Mbak, Fakultas Syariah dia”
Haa,
jadi lelaki yang selama ini bantuin dia masak itu anak UIN. Ya Allah, betapa
dunia ini sempit sekali.
Saya semakin ingin tahu
dengan keluarga ini. Seiring waktu saya dan mereka berdua semakin akrab, kalau
saya keluar dari kontrakan sore-sore dan melihat mereka buka lapak, saya selalu
menyapa dan mereka selalu mengucap “Hati-hati Mbak di jalan”
Mereka berdua
masing-masing berusia 22 tahun. Masih
sangat muda untuk ukuran sebuah keluarga saat ini. Mereka menikah, lalu bekerja
memenuhi kebutuhan hidup dengan masih terus kuliah. Si istri sekarang semester
7 dan sedang menggarap PTK untuk tugas akhir dan suaminya tentu saja masih
harus menyelesaikan beberapa mata kuliah lagi. Karena ada yang harus diulang
tahun ini.
“Kalian dulu ketemunya
dimana?” aku mulai wawancaraku
“Di Neutron Mbak, dulu
kami sama-sama les disana pas SMA”
“Wah, cinlok nih
ceritanya?”Aku menggoda
“Hehe iya Mbak” kata Ma
Isa malu-malu
“Nggak pernah ada
masalah kuliahnya pas hamil gini?”
“Alhamdulillah nggak
Mbak, sehat terus. Sekarang sudah masuk bulan ke delapan” katanya berbinar.
“Ini anak kedua kami
Mbak”, “doakan perempuan ya” seloroh suaminya.
Ya Allah, ternyata Ma
Isa bukan mengandung anak pertama, tapi anak kedua. Mereka menikah tahun 2010,
saat keduanya masih duduk di semester 2. Semester dua di UIN, berarti si suami
menikah saat ia masih mengikuti program PKPBA. Hebatnya, meski Ma Isa, sudah
hamil dua kali dan dua-duanya dijalani di masa kuliah, ia tak pernah kehilangan
satu semester pun kuliahnya, ia tak pernah cuti! Benar-benar wanita dan janin
yang kuat.
“Kalian kok berani sih,
masih muda begitu menikah, nggak takut?” aku semakin penasaran. Tahun 2010 saat
mereka menikah, berarti mereka masih berusia 18 tahun.
“Takut apa, nggak Mbak,
yang penting dijanjeni sama ibu,
kalau sudah mau menikah berarti berani cari uang sendiri. Lha ini saya cari uang
tho, buat dia tuh” kata si suami sambil melirik Ma Isa. Ma Isa, tersenyum makin
lebar dan mencubit perut suaminya.
Melihat mereka berdua,
saya malu sebagai sama-sama pemuda. Keberanian mereka untuk menghalalkan sebuah
hubungan memang sangat kuat, dibarengi tekad untu terus berbuat, mandiri, tanpa
merepotkan orang tua. Karena anak sulungnya sudah dalam asuhan kakek neneknya
di Bondowoso sana. Sebulan sekali mereka naik motor Malang-Bondowoso untuk
menengok jagoan kecilnya dan memberi uang orang tuanya.
“Nanti jadi guru sama
kayak istri saya ya Mbak, bisa ngajar bareng barang kali. Kalau saya nggak bisa
lulus bareng dia Mbak, di semester awal banyak yang ngulang, karena saya males.
Istri saya tuh Mbak, rajin banget dia kuliah. Kalau saya pengennya kerja terus”
kata si suami
Saya mengerti, sebagai
lelaki yang memiliki tanggungan seorang istri yang harus dinafkahi, pasti suami
Ma Isa, begitu semangat bekerja pada awal pernikahannya sehingga membuat
kuliahnya keteteran. Memang tak semua mereka yang menikah muda begini, ada
banyak teman lelaki saya yang menikah saat kuliah tapi tetap bisa fokus pada
kuliahnya dan keluarganya.
“Ya, nggak papa to, dijalani aja, nanti pasti selesai
kuliahnya. Setidaknya kamu beda sama teman-temanmu. Kalau mereka masih sering
main-main dan godain cewek, kamu kan sudah ayem to” kataku menghiburnya.
“Iya Mbak, kalau
pengalaman kerja, insyaallah saya lebih pengalaman dari teman-teman, kalau mau
menggoda cewek ya dia yang saya goda, dia kan gandolane ati haha” kami bertiga tergelak mendengar ucapannya.
“Eh Mbak, ngobrol dulu
sama istri saya ya, saya sholat dulu” ia pun beranjak meninggalkan aku yang
terpaku. Ya Allah, bahkan panggilan adzan
pun dia sambut dengan segera.
“Nanti gantian Mbak,
kalau dia selesai baru saya yang sholat” ucap Ma Isa, membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk sambil menyusut bulir air mataku.
Ma Isa dan suaminya, di
saat pemuda lain bermain-main dengan dunia, bermain-main dengan cinta, mereka
berani mengambil keputusan untuk hidup bersama. Di saat yang lain,
menunda-nunda pernikahan tanpa alasan, padahal kemampuan materi dan keilmuan
sudah matang, mereka berani menghalalkan
tanpa banyak alasan.
Cinta yang mereka
miliki adalah yang paling agung. Cinta yang lahir karena cinta, tanpa alasan
apapun. Jika ingin ganteng atau cantik. Ma Isa dan suaminya biasa namun
menyejukkan karena selalu tersenyum. Jika ingin menikah karena kaya. Ma Isa dan
suaminya tak punya apa-apa. Mereka masih memulai meniti rezeki bersama-sama.
Jika ingin yang pinter dan gelar merentet di belakang namanya. Ma Isa dan
suaminya masih kuliah, masih mahasiswa. Dalam semua hal itu mereka masih
belajar.
Cinta yang mereka
miliki sungguh cinta yang sebenar-benarnya cinta. Cinta untuk saling memberi,
mengingatkan, dan menguatkan. Cinta yang tak hanya nafsu sesaat, tapi cinta
untuk menikahi dan bertanggung jawab pada Illahi. Sungguh, mereka tak punya apa-apa,
yang sering anak muda sebutkan sebagai bagian dari kriteria. Mereka hanya punya
keberanian dan keteguhan. Bukankah jika engkau miskin, Allah berjanji akan
memberikan kecukupan padamu?
Bulan depan, mungkin Ma
Isa akan melahirkan. Dia akan cuti berjualan
karena harus mengurus bayi mungilnya dan menghabiskan masa nifasnya. Semoga
Allah, menguatkan dia untuk melahirkan bayinya. Saya punya niatan untuk
berkunjung ke rumahnya di Bukit Tidar sana jika saat itu tiba.
“Ini anak kedua kami
Mbak”, “doakan perempuan ya” kata-kata itu terngiang. Amin. Semoga Allah
menagabulkan doa kalian. Keluarga muda dengan sepasang anak-anak yang lucu
serta ayah dan ibu yang teguh seperti kalian. Barakallahulakuma.
RIZZA
NASIR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar