Dicari!
Lelaki yang siap menjadi guru SD. Kamukah orangnya? Jika YA, siapkan dirimu,
anak-anak membutuhkanmu.
Berapa banyak guru
SD-mu yang kamu panggil Pak? Pak Guru, berapa? Sudah bisa dipastikan, tidak ada
yang menjawab lebih dari 5 atau jika lebih dari 5 guru lelaki di sekolah itu,
sudah pasti itu SD bonafit, atau SD milik yayasan yang dikenal banyak orang. Sekarang
coba tengok di SD di desamu, tengok SD-SD pinggiran. Berapa banyak lelaki
dewasa yang setiap pagi berdiri di gerbang untuk menyalami siswa-siswanya?
Mungkin satu, sebagai kepala sekolah. Mungkin juga dua orang, sebagai kepala
sekolah dan tukang kebun, atau tukang kebun dan guru agama saja. Sementara
sisanya adalah Bu Guru. Wanita.
Memang tak dipungkiri,
mengajar di tingkat dasar membutuhkan kesabaran yang ekstra, butuh ketelatenan
yang super, butuh kesabaran yang melangit dan sifat-sifat itu kebanyakan
dimiliki oleh wanita, atau Bu Guru. Tak sedikit pula lelaki yang memiliki sifat
itu, tapi tak banyak dari mereka yang mau jadi Pak Guru. Pak Guru di sekolah
dasar. Di tingkat menengah, SMP dan SMA, bisa jadi jumlah Pak Guru dan Bu Guru
seimbang, atau bahkan lebih banyak Pak Guru jika di SMK. Pendidikan tingkat
menengah agaknya memang lebih diminati para lelaki yang peduli pendidikan,
karena anak-anak pada tingkat menengah tidak serewel anak tingkat dasar.
Di jurusan saya saja, PGMI
UIN Maliki Malang, angkatan 2010 menerima 120 mahasiswa. Seratus orang dari
mereka berjenis kelamin wanita dan dua puluh diantaranya adalah lelaki. 5 :1.
Saya tidak bisa membayangkan betapa tersiksanya para lelaki di jurusan saya,
karena harus berkutat dengan banyak wanita seperti itu. Ah, pasti menyedihkan,
atau malah menyenangkan? Entahlah.
Dari statistik itu,
bisa dilihat betapa minat lelaki menjadi guru SD sangat sedikit. Hanya dua puluh
orang saja pada tahun itu. Apakah 20 orang ini nanti akan jadi guru semua?
Sayangnya tidak, pengalaman kakak tingkat kami menyebutkan, kalau banyak dari
mereka yang memilih berwirausaha daripada jadi guru SD, selain karena gaji guru
honorer untuk SD kecil (hanya 100-400 ribu tiap bulan, untuk sekolah pinggiran)
juga karena mereka tidak telaten dengan anak SD yang menurut mereka
menyebalkan.
Saya mafhum, sebagai
lelaki yang notabene bertanggungjawab menafkahi keluarga, gaji guru SD honorer
memang tidak mencukupi, apalagi jika sudah memiliki tanggungan anak istri.
Lantas, bagaimana? Apakah kita menyerah hanya karena ini? Karena uang? Sekarang
ini, harus diakui, segala-galanya memang butuh uang dan uang adalah
segala-galanya, namun jika kita terus perhitungan soal uang dan penghasilan,
kapan kita akan berjuang? Kapan kita akan mulai mengajar?
Tidakkah kalian ingat
Bapak Guru di SD dulu? Yang mungkin hanya seorang saja, sebagai kepala sekolah.
Seorang Bapak yang hidup sederhana dengan sepeda motor bututnya, setiap pagi
berangkat ke sekolah dan menyalami murid-muridnya. Tegas namun wibawa. Apakah
mereka pernah mengeluh karena itu? Apakah mereka tiba-tiba tidak mengajar hanya
karena perhitungan soal uang? Bahkan guru zaman dulu belum ada program gaji ke
13 atau sertifikasi, tapi mereka tetap mengabdi.
Banyak diantara kita
yang menginginkan lolos menjadi pegawai negeri. Para PNS itu hidupnya terjamin,
setiap bulan pasti gajian, belum lagi tunjangan ini itu. Ditambah sertifikasi.
Terjamin sampai mati. Berapa lamakah mereka, sampai pada posisi itu? Setahun,
dua tahun, bahkan puluhan tahun mengajar baru menikmati semua itu!
Bermimpi terjaring
sebagai PNS boleh saja, tetapi jika kita hanya menunggu peruntungan nasib di
tes CPNS saja, kapan kita mulai? Kapan anak-anak punya Pak Guru? Saya hanya
punya pengertian jika menjadi guru adalah sebuah pengabdian. Mungkin saya
terlalu idealis dan kamu pasti bilang ngomong
aja enak, tapi coba kalau kamu jadi guru, capek tau. Ya, memang capek terus
mengajar anak-anak setiap hari. Saya hanya melatih diri memahami sejujurnya,
bahwa menjadi Bu Guru maupun Pak Guru adalah investasi. Investasi dunia
akhirat. Ini tidak main-main!
Anak-anak di sekolah
butuh kasih sayang, perhatian dan belai lembut seorang ibu. Mereka sudah
mendapatkannya dari Bu Guru, tapi mereka juga haus ketegasan dan pelukan dari seorang ayah, mereka juga butuh
sosok lelaki yang bisa ia sebut Pak Guru. Jika di sebuah sekolah sama sekali
tak ada lelaki atau lelakinya hanya satu, bagaimana mereka bisa mendapatkan
semua itu? Bisakah seorang lelaki menjadi ‘ayah’ dari satu sekolah? Bisa. Tapi
saya yakin dia juga tersiksa.
Ya, para single father itu tersiksa di tengah
kegagahan dan kewibawaannya. Ia juga ingin punya teman di dunia kerjanya. Dan
yang lebih penting dari semua itu, ia merindukan seorang penerus. Penerus
perjuangan. Lelaki-lelaki tangguh berjiwa pendidik, yang siap menjadi ‘ayah’
bagi anak didiknya.
Seperti halnya sebuah
rumah yang ditegakkan seorang ayah dan seorang ibu. Sebuah sekolah juga butuh
Bu Guru dan Pak Guru. Kamukah yang anak-anak cari? Anak-anak butuh sosok
seperti kamu. Sosok seorang ayah di sekolah. Bersiaplah!
RIZZA
NASIR
Mahasiswa jurusan PGMI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar