Seharusnya pagi ini aku sudah berpakaian rapi, memakai almamaterku dan pergi ke
sekolah itu. Seharusnya aku sudah mencoret mimpiku.
Seharusnya pagi ini aku sudah berpakaian rapi,
memakai almamaterku dan pergi ke sekolah itu. Seharusnya aku sudah mencoret
mimpiku. Harusnya pagi ini aku mengikuti serah terima mahasiswa, untuk mengajar
di sekolah itu sebagai guru praktikan hingga satu bulan ke depan.
Aku sudah merencanakan kalau hari ini aku akan
bangun pagi-pagi, memakai almamater dan jilbab biru untuk memulai hari menjadi
guru. Aku sudah merencanakan, kata pertama apa yang akan kusebut saat aku jumpa
murid-muridku. Aku sudah merencanakan....
Mimpiku mengajar di sekolah itu sudah kutulis sejak
dulu dan saat aku diberi kebebasan untuk memilih mengajar di sekolah mana, aku
merasa seperti melayang, aku merasa seluruh dunia mengucap selamat untukku.
Saat namaku benar-benar ada di bawah nama sekolah itu sebagai guru praktikan,
aku merasa bahagia, lebih dari sebelumnya.
Aku lupa, bahwa tugas manusia hanya merencanakan dan
tugas Allah menentukan apa yang terjadi. Aku lupa bahwa tak setiap mimpi bisa
menemui nyatanya. Ada saat dimana rencana hanya menjadi rencana dan saat dimana
mimpi hanya akan ada pada alam mimpi. Aku lupa, realisasi rencana dan mimpi
sepenuhnya hak Allah.
Kemarin tepat pukul 09.00 WIB. Uswah dan Najib
meneleponku...
Rizza, kamu dimana? Hmm gimana ya
ngomongnya itu suara Najib
Tiba-tiba suara Najib berganti suara Uswah, rupanya
phone conference sedang digunakan
Rizza, pihak fakultas baru saja memberi
kabar, kalau mahasiswa yang PKLI ke Malaysia, tidak diperkenankan mengikuti
PKLI di Indonesia karena baru saja dapat kabar dari Malaysia kalau kalian akan
berangkat pertengahan Februari. Jadi, harus pilih salah satu. PKLI Malaysia
saja atau PKLI Indonesia saja
Apa?
Kenapa jadi begini, bukankah dulu Pak Dekan bilang kita bebas pilih dua-duanya?
Kenapa sekarang begini Us? Aku seperti tersengat listrik
mendengar kabar Uswah itu
Iya
Za. Soalnya harus berangkat bulan Februari, jadi harus pilih salah satu. Malay
saja atau Indo saja. Nah, kamu pilih mana? Keputusan terakhir jam sepuluh,
soalnya data-data dikirim hari ini juga kesana
Suara Najib di seberang hanya ber ha a he e, gimana kamu pilih mana?
Aku
belum bisa kasih jawaban sekarang, aku mau telepon orang rumah dulu ya, nanti aku kabari
Mereka berdua mengucap salam dan tut.. tut... putus
Kutelepon nomer ibuku, berharap beliau bisa
membantuku menentuntukan pilihan. Berkali-kali kuhubungi nomer itu tak
bereaksi. Bagaimana ini? Pilih mana? Harusnya aku tak memilih, harusnya aku
mendapatkan keduanya. Harusnya....
Bagiku memilih diantara keduanya sama saja memilih
antara emas dan permata. Dua-duanya impianku. Meski mimpi mengajar di sekolah
itu memiliki prosentase lebih tinggi dari pergi ke Malaysia, tapi pergi ke
Malaysia adalah amanah. Jika ini bukan pilihan tentu aku tak akan memilih
diantara keduanya. Tapi seperti kata Uswah, aku harus memilih.
Navis, yang kutelepon berkata..
Aku
memilih di Malaysia saja Za, aku mau fokus skripsi jawab
Navis mantap.
Mengapa dia semantap itu sedang aku tak bisa?
Mengapa memilih diantara keduanya begitu sulit. Dilema. Mengajar di MIN 1
adalah impianku sejak semester 3. Aku terus berdoa semoga jika waktu PKLI tiba
aku ditempatkan di sekolah itu. PKLI ke Malaysia, tak pernah aku catat dalam
impianku, aku mencatatkan begini
Aku
ingin melihat menara Petronas
Aku hanya ingin pergi ke Malaysia, melihat menara
petronas. Aku tak pernah ingin PKLI ke Malaysia. Jika harus PKLI aku ingin ke
MIN 1 saja. Ketika aku mendapat kesempatan satu tiket ke Malaysia, maka aku
telah mengalahkan teman-temanku yang lain, yang barangkali mereka
memimpikannya. Ini adalah sebuah kesempatan. Kesempatan yang temanku yang lain
tidak mendapatkannya.
Pilih Impian atau kesempatan? Dilema
Jam 09.45 aku mengambil handphoneku dan mengetik
sebuah sms atas nama Uswah
Us,
aku PKLI ke Malaysia ya, tolong sampaikan ke Pak Dekan
Seharusnya
pagi ini aku sudah berpakaian rapi, memakai almamaterku dan pergi ke sekolah
itu. Seharusnya aku sudah mencoret mimpiku.
Aku memilih PKLI ke Malaysia pada akhirnya. Aku
memilih kesempatan dan mengabaikan impian. Jika aku naik len ke sebuah tempat,
aku hanya perlu nyegat len di pinggir
jalan. Jika len yang kumaksud menghampiriku. Aku bisa menaikinya dan ia akan
langsung membawaku ke tempat yang kuminta. Len menerima siapa saja penumpangnya.
PKLI ke Malaysia bukan seperti naik len, yang semua
mahasiswa ICP bisa mengikutinya. Untuk mendapat kesempatan itu, aku harus
mengikuti serangkaian tes. Dan hasil tes itu menerimaku sebagai salah satu
mahasiswa yang pergi kesana. Jika ada yang diterima, berarti ada yang ditolak,
bukan?
Jika aku mundur dari PKLI ke Malaysia, bagaimana
dengan mereka yang mendaftar sama sepertiku tapi tak lulus tes? Bagaimana
dengan mereka yang menangis setelah di papan pengumuman tak ada namanya?
Bagaimana dengan mereka yang berambisi tapi tak terpenuhi? Bagaimana dengan
mereka yang melengos jika melihatku atau tatapan mata yang cemburu denganku
karena bukan nama mereka yang ada tapi namaku?
Aku hanya ingin menghargai mereka yang tak memiliki
kesempatan ini dengan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya, aku hanya tak
ingin membuat mereka semakin kecewa dan yang terpenting aku tak ingin orang
tuaku kecewa. Jika aku mundur sama saja aku membuang kesempatan mereka. Jika
pada akhirnya aku mundur, harusnya namaku tak perlu ada di papan pengumuman.
Ayah dan ibuku, begitu tahu aku lolos PKLI ke
Malaysia, mereka sujud syukur. Mereka terus bertanya kapan aku berangkat, mereka
terus bertanya, berapa biaya yang harus aku bawa kesana dan untuk memenuhi
semua itu, aku tahu mereka menabung hasil panen hanya demi keberangkatanku.
Masih kuingat dialogku dengan ayah saat aku pulang
“Yah, kalau Ayah gak pengen Mbak Risa budal ning
Malaysia nggih mboten nopo-nopo. Biaya hidup ning Malaysia larang Yah” kataku
di suatu sore
“Duit iku iso digoleki Nduk, Iki kesempatan.
Sampeyan urung mesti iso mrono. Lek anakke wong liyo ning Malaysia mung dadi
TKI, tapi anakku ning Malaysia goro-goro program kampus. Sopo sing gak seneng?
Budalo”
Ada kebanggaan dalam kata-kata ayah itu, ada
kepercayaan. Jika kalian tahu, kadang ayah terlalu khawatir jika aku pergi
terlalu jauh. Beliau pasti bertanya, karo
sopo? Enek kancane wedok opo ora? Tapi saat aku bilang ke Malaysia ini. Ayah
tak bertanya tentang itu. Serta merta ayah merestui keberangkatanku, padahal
pergi ke Malaysia adalah tujuan terjauhku selama ini. Tak hanya lintas kota,
tapi lintas negara. Ayah dan ibuku merestuiku, lalu kenapa aku harus ragu?
Aku tak punya banyak pilihan untuk membahagiakan
orang tuaku seperti anak lainnya karena kekuranganku. Selama ini aku hanya
bertekad sekolah yang bener, karena hanya dengan cara itu aku bisa membuat
mereka tersenyum. Aku boleh kehilangan impianku, tapi aku tak boleh kehilangan
kepercayaan dan senyum orang tuaku.
Seharusnya
pagi ini aku sudah berpakaian rapi, memakai almamaterku dan pergi ke sekolah
itu. Seharusnya aku sudah mencoret mimpiku.
Impianku, menjadi guru praktikan di MIN 1, biarlah itu hanya menjadi impian karena sudah tak mungkin terwujud kan? Jika hari ini aku tak bisa mengajar di sekolah itu sebagai
guru praktikan, mungkin nanti aku akan mengajar sebagai guru tetap disana. Atau
aku akan menjadi tenaga ahli di kementrian pendidikan. Semoga...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar