Untukmu calon suamiku perkenalkan
namaku Rizza, insyaallah aku akan menjadi istrimu dan ini adalah sebuah surat dariku untukmu.
Dibaca ya...
Untukmu calon imamku,
surat ini kutulis saat usiaku menginjak dua puluh satu. Satu bulan lagi aku
menyelesaikan skripsiku dan dalam hitungan lima bulan bulan ke depan aku akan menyelesaikan studiku
S-1. Insyaallah. Doakan aku ya. Bagaimana denganmu? Apakah kau sama sepertiku?
Surat ini kutulis
sebagai ungkapan isi hatiku, sebenarnya aku sudah menuliskan berlembar-lembar
untukmu. Yang kurencanakan sebagai hadiah ulang tahunmu, tahun pertama kau
menjadi suamiku. Sudah kutulis berlembar-lembar, sebuah tulisan isi hatiku
untukmu, mimpi-mimpiku yang ingin kuwujudkan bersamamu.
Boleh dibilang itu novel
cintaku untukmu. Kusimpan tulisan itu di folder terdalam laptopku, agar tak
seorang pun tahu kecuali dirimu. Aku pun berniat tak memberi tahumu tentang
file itu, sampai suatu hari nanti kau menemukannya sendiri. Bukankah jika kita
menikah, laptopku adalah laptopmu juga, aku yakin kau pasti akan menemukannya.
Tapi sayang tulisan itu kini tak tertolong, bersamaan dengan laptopku yang
rusak karena kecerobohanku. Maafkan aku. Setelah kutuliskan surat ini, akan
kumulai lagi, menulis untukmu dan impianku. Ya, tak ada salahnya memulai apa
yang pernah dimulai, toh yang dimulai itu juga belum menemukannya akhirnya kan
?
Untukmu calon suamiku,
aku sadar aku bukan siapa-siapa, aku juga bukan apa-apa. Aku tak seperti gadis
lain, mereka yang cantik, seksi, cerdas. Aku? Aku tak sesempurna itu. Aku
terlahir dengan kaki yang tak bisa berjalan sempurna, aku lahir dengan
kekurangan yang tampak nyata. Jika para gadis itu pemarah misalnya,
kekurangannya itu tak terlihat mata, tapi aku? Sangat jelas sekali.
Sampai hari ini aku sering
mematut-matut diri di cermin dan berkata, “akankah aku menikah?”, “akankah aku
dipilih?”Mungkin aku terkesan rendah diri, tapi tidak. Aku sangat ikhlas dengan
apa yang terjadi di diriku, aku menerima apa adanya aku. Aku hanya tahu diri.
Tahu bagaimana aku dan kondisiku, aku tahu diri bahwa aku tak seperti gadis
impian para lelaki. Meski begitu, aku juga masih berharap, semoga ayat Allah
yang berkata bahwa Ia menciptakan makhluknya berpasangan juga berlaku untuk
gadis sepertiku. Aku juga punya mimpi untuk itu.
Jika gadis lain
mempunyai paras yang cantik, tubuh yang tinggi, putih dan seksi, anggun, cerdas
nan jelita. Mereka bisa menawarkan itu pada lelaki sepertimu. Aku? Aku tak
punya semua itu. Aku hanya punya diriku, apa adanya dan sepaket kekuranganku,
bisakah kau menerimanya? Masihkah kau memilihku, jika kau tahu aku begini
adanya? Tanyakan pada nuranimu, dia tak pernah sekalipun membohongimu. Jika gadis lain mengajukan syarat ini itu untuk calon suaminya. Aku hanya punya dua syarat untukmu. Kau bisa mengimami aku sholat dan kau tak malu berjalan disampingku. Itu saja. Bisakah kau menerimanya?
Boleh aku memangilmu
dengan Mas? Ya, Mas saja ya, kau tau, aku tak pernah punya kakak dihidupku, aku
terlahir sebagai sulung, aku tak pernah punya ‘Mas’. Sebenarnya aku punya
sepupu lelaki yang lebih tua dariku, itupun hanya satu dan aku sama sekali tak
mersakan punya ‘Mas’ dengan dia, mungkin karena usia kami yang jauh sekali, aku
terlalu sungkan dengannya.
Mas, aku adalah gadis
dengan banyak impian, aku ingin bisa ini bisa itu, mungkin orang bilang aku
terlalu ngoyo menjalani hidupku, mengingat kondisiku yang
seperti ini. Menurut orang-orang itu harusnya aku ‘istirahat’ saja. Dengan
kondisiku begini, haruskah aku pasrah begitu saja? Sembunyi di kamar, menangis
setiap malam? Atau aku harus pasrah menerima belas kasihan orang? Aku tak bisa
hidup seperti itu Mas, aku harus berjuang, lebih tepatnya memperjuangkan diriku
agar aku tidak rapuh, agar aku bisa berdedikasi meski aku seperti ini.
Jika aku berjalan,
semua mata tertuju padaku, aku sudah bisa mengartikan setiap tatapan mata. Ada
yang kasihan, kagum, bahkan ada yang jijik melihatku. Serius, aku bisa
membedakannya. Kau tahu usiaku sudah dua puluh satu, dua puluh satu tahun cukup
bagiku untuk belajar dari kealpaanku, aku mengerti setiap tatapan mata, aku
paham perasaan mereka. Kau tak percaya?
Mas, sungguh aku ikhlas
lillahi ta’ala dengan kondisiku, aku
malah bersyukur dalam lakon hidup yang cuma seklai ini, aku didapuk menjadi gadis seperti ini. Aku merasakan
yang orang lain tidak mersakan, aku memperjuangkan yang orang lain tak pernah
perlu memperjuangkan, aku bersyukur atas peranku dan aku menikmatinya.
Jika kau memilihku, kau
akan mengalami apa yang aku alami. Kau akan menjadi pusat perhatian orang-orang
jika aku berjalan bersandingan denganmu.
Bisakah kau terima semua itu? Mungkin mereka berkata dalam hatinya “Ih kok mau sih lelaki itu punya istri kayak
gitu”, “kenapa tak pilih yang lain saja dia, memangnya cewek cuma ada dia saja”,
“beruntung ya mbak itu dapet suami kayak gitu, tapi aku kasihan sama cowoknya” hati-hati
mereka akan bicara seperti itu Mas, aku bisa mendapatkan semua kata-kata ini
dari tatapan mereka. Sekali lagi, Mas, bisakah kau terima semua itu?
Aku tahu, aku tak punya
kelebihan apapun seperti gadis lain, aku tak punya cara yang beragam untuk
membahagiakan orang tuaku. Jika anak yang lain pernah membonceng ibunya ke
pasar, aku tak pernah lakukan itu. Jika orang tua bangga dengan putrinya yang
jelita dan jadi idaman banyak pria, orang tuaku tak pernah bisa seperti itu.
Apa yang bisa mereka banggakan dariku?
Selama ini, aku hanya
berniat ingin sekolah yang serius, karena hanya dengan keilmuan dan prestasi
aku bisa membahagiakan mereka. Hanya itu, aku tak punya pilihan lain. Sejak MTs
sampai kuliah kini sudah hampir sepuluh tahun aku hidup jauh dari ayah dan
ibuku, mandiri. Bukan mereka yang memondokkanku, tapi aku yang meminta. Aku
ingin tahu rasanya hidup jauh dari orang tua, atau lebih tepatnya aku menantang
diriku untuk hidup sendiri tanpa merepotkan orang tua. Aku sudah
membuktikannya, alhamdulillah aku bisa.
Semuanya bisa
kulakukan, kecuali naik motor. Mas, aku tak bisa naik motor. Bagaimana? Kakiku
ini, entah bagaimana sehingga aku tak punya keseimbangan tubuh yang bagus,
sudah pasti aku tak bisa mengendarai semua yang roda dua itu. Sepeda pancal
ataupun motor, aku tak bisa. Seminggu lalu, ibuku menawarkan padaku sepeda roda
empat, atau motor matic yang dimodifikasi untuk orang sepertiku. Tapi aku tak
mau. Terlalu mahal dan jika aku mengendarainya, aku akan benar-benar tampak ‘berbeda’.
Aku sudah bosan dengan pembedaan hidup, aku tak mau lagi.
Selama ini, kemanapun
aku pergi aku selalu naik len. Len itu bahasa Malangan untuk mikrolet. Aku
menunggu len di pinggir jalan, sendirian. Kadang-kadang lama, kadang juga cepat
datang. Ini konsekuensi yang harus kuterima dari kondisiku. Bagaimana dengan
uang untuk len? Aku tak pernah perhitungan soal itu, mungkin ada rezeki yang
dititipkan sopir len lewat diriku. Aku ngelesi kesana kemari, oper- oper,
pulang malam. Naik len, aku pengen beli ini, beli itu, kebutuhanku. Naik len. Jika
aku nanti pergi dari kota ini, aku akan sangat berterima kasih dengan
sopir-sopir len itu: AL, ADL, GL, LG, MM, JDM itu kode len yang pernah kunaiku
selama ini.
Mas, karena aku tak
bisa naik motor, kadang aku di bonceng teman cowok. Entah itu teman kelas atau
teman organisasi. Aku tahu aku salah, harusnya aku tak begitu. Aku pernah
bilang ke seorang teman “Bagaimana ya aku
ini sudah pernah dibonceng cowok” apa jawaban mereka “Rizza, mereka itu niat nolong kamu, mereka nggak ada niat ngejahatin
kamu, kalau ada teman yang mencibir kamu gara-gara kamu dibonceng cowok biarkan
saja, memangnya dia mau nolong kamu, sudahlah jangan pedulikan kata orang, yang
penting kamu selamet”
Pernah ada seseorang yang
bertanya “Kukira aktivis dakwah tak boleh
dibonceng cowok, ternyata kamu mau ya” Deg! Aku jawab begini, “Kalau ada teman cewek yang bisa bonceng
aku, aku tentu pilih dia, kalau tidak ada ya bagaimana lagi” waktu itu kami
ingin mengambil perlengkapan organisasi di kontrakanku, tidak ada teman cewek
yang bisa naik motor, jadilah aku dengan dia. Dan tak kusangka dia bertanya
begitu. Aku tahu, dia tak salah, dia hanya memastikan saja, apakah aku mau. Atau
jangan-jangan dia menyangka aku ini tak seterhormat yang dia kira? Wallahu’alam.
Setelah ada pertanyaan
itu, aku hanya bisa menangis. Apakah aku sekotor itu? Ternyata aku ini
merepotkan banyak orang ya karena aku
tak bisa naik motor. Teman sekamarku menenangkanku dan berkata “Rizza, sudah kubilang kan, jangan pedulikan
kata-kata orang, kamu akan sakit sendiri. Dia hanya bertanya, dia hanya
memastikan, itu tandanya dia menghormati kamu. Kalau kamu tetap pikirin
kata-kata itu, ya sudah mulai hari ini, kalau ada keperluan apa-apa, kalau mau
keluar bareng-bareng, kamu naik len saja sana! nggak usah ikut anak-anak, kalau
ada yang nawarin bantuan tolak saja mentah-mentah dan silahkan jalan kaki!” aku
tahu mungkin dia jengkel sekali dengan tangisku dan aku tahu dia sayang
denganku.
Ada yang pernah bilang
begini, “Ukhti Rizza, kok kemarin dibonceng cowok ya? Itu kata salah seorang
teman. Aku tahu, aku tak sesuci mereka, mereka yang anggun dengan jilbab
besarnya, mereka yang selalu dilabeli sholihah
seutuhnya, mereka yang bisa ngaji dan liqo’ kemana-mana sendiri, dengan naik
sepeda atau motor. Aku? Mereka tak pernah mersakan jadi aku, mereka tak pernah
merasakan menunggu len lama panas-panas, mereka tak pernah mersakan jalan jauh
hanya karena tak sabar menunggu len, mereka tak tahu rasanya kakiku yang sakit setelah
aku memaksakan jalan begitu jauh. Mereka tak pernah merasakan itu. Mungkin
pernah, tapi rasa yang mereka rasakan tentu berbeda jika fisiknya adalah
fisikku.
Mas, mungkin aku sakit
hati jika yang bertanya itu lelaki tapi aku jauh lebih tersayat lagi jika yang
bertanya dan menghakimiku itu perempuan. Seakan aku ini benar- benar tidak se’suci’
mereka, mereka seakan menghakimiku bulat-bulat, harusnya kamu bisa menolak Rizza, atau harusnya kamu memilih jalan kaki
saja. Mungkin itu kata hati mereka. Apakah aku bisa menolak, jika yang
menawarkan itu orang yang sangat kukenal? teman kelasku, atau teman
organisasiku? Apakah aku bisa menolak jika aku benar-benar membutuhkannya? Kakiku
ini butuh itu. Semoga ini yang disebut darurat. Tak ada niat apa-apa dariku dan
darinya selain menolong. Mereka yang menghakimiku, tak pernah tahu rasanya
menjadi diriku. Mereka menghakimiku, mereka bisa melakukan yang tak bisa
kulakukan. Mereka ‘suci’ seutuhnya.
Mas, teman-temanku yang
membantu memboncengku itu sungguh para lelaki yang baik, yang menghormatiku, tak
pernah macam-macam padaku. Aku menerima bantuan darinya, karena aku sudah
mengenalnya dengan baik, karena aku percaya dia bisa menjagaku. Jika aku tak
kenal lelaki yang ingin menolongku, aku selalu menolak. Tapi jika dengan yang
kukenal? Menolak bantuannya, sama saja aku tak menghargai i’tikad baiknya, sama
saja aku memaksakan diriku dan tentu saja baik aku atau dia akan ‘sakit’. Aku
hanya menyambut bantuan, dari lelaki yang telah kukenal baik.
Bagaimana Mas, masihkah
kau memilihku, jika aku pernah dibonceng teman lelakiku? Masihkah kau memilihku
dengan semua yang ada di diriku? Mungkin seumur hidupku aku akan bergantung pada
pertolonganmu, karena ketidakbisaanku naik motor, atau kau harus menyisihkan
uang untukku naik angkutan umum. Bagaimana, bisakah kau menerimanya?
Sebelum kau memilihku,
bilang ke ibumu dan ayahmu ya, tentang
aku dan diriku. Semuanya. Kondisi kakiku, aku tak bisa naik motor dan sebaginya.
Jangan ada yang ditutup-tutupi dari kealpaanku, bilang saja semuanya. Jika kita berjodoh pasti ayah dan ibumu akan
menerimaku dan memilihku sebagai menantunya. Jika mereka menolak dan tidak
setuju setelah kau meyakinkan mereka, tak apa.
Orang tua dimanapun itu
selalu berharap yang terbaik untuk putranya. Berharap putranya bersanding
dengan gadis impiannya, yang sholihah yang sreg
di hati. Jika ternyata ayah dan ibumu tak mau aku menjadi menantunya, tetap
hormati pilihannya dan pilihlah gadis lainnya. Jangan marah, juga jangan memaksa.
Mereka orang tuamu Mas, hormati dia. Ingat, restu Allah ada pada restu orang
tua, kan?
Mas, jika orang tuamu
dapat menerimaku dan sepaket kekuranganku. Kutunggu kalian di rumahku. Rumah
Pak Nasir di Kediri. Bilang ke ayahku jika kau ingin menikahiku, jika kau ingin
menjadikan aku sebagai ibu dari anakmu, jika kau ingin menggantikan ayahku
menjagaku. Ayahku pasti akan sangat senang sekali Mas. Tak perlu berdandan
macam-macam jika ke rumahku, cukup jadilah dirimu apa adanya. Ayahku tak suka
lelaki yang ‘dibuat-buat, sama sepertiku, ayahku senang dengan lelaki yang apa
adanya, jujur dan tanggung jawab. Dan yang lebih penting dari semua itu, lelaki
yang menerima kekuranganku dan tak malu berjalan di sampingku.
Mas, kau pernah lihat
kisah Putri Herlina dan Reza Hilyard Soemantri? Gadis tak bertangan yang dinikahi
lelaki sempurna. Melihat Putri Herlina, aku hanya bisa berdoa, semoga Allah
menghadiahkan juga untukku, hadiah yang sama seperti yang dimiliki Putri.
Hadiah lelaki luar biasa yang mau menerima kealpaan kami, lelaki luar biasa
yang tak pernah kasihan dengan kondisi kami. Memilih kami bukan karena kasihan
tapi memilih kami karena benar-benar merasa mantap kalau kamilah orang yang
tepat. Mas, apakah kau lelaki itu? Hadiah Allah untukku? Sekali lagi, tanyakan
pada hatimu, apakah kau memilihku karena kasihan padaku atau karena kau yakin
aku adalah orang yang tepat untuk jadi ibu anak-anakmu?
Mas, aku takut jatuh
cinta, aku takut jika orang yang kucintai itu tak memilihku. Akan sakit sekali
rasanya. Lelaki akan tak nyaman hatinya, jika dicintai gadis yang tak
dicintainya. Aku tak ingin lelaki mengalami seperti itu karenaku. Aku punya
banyak teman lelaki, tapi sekalipun aku tak berani jatuh hati. Jika rasa kagum
itu mulai tumbuh menjadi cinta, aku membunuhnya. Aku selalu ingat, siapa
diriku?
Sampai hari ini aku
percaya, bahwa memulai dan mencintai lebih dulu itu hak lelaki. Jika kau
benar-benar memilihku dan jatuh hati padaku. Maka aku juga akan jatuh cinta
pada orang yang mencintaiku. Aku selalu berdoa, semoga Allah menjodohkan aku
dengan lelaki yang mencintaiku dan kucintai dan yang tak malu berjalan
disampingku. Apakah kau orangnya?
Mas, memilih dan
mencintai adalah hakmu. Sebagai perempuan aku hanya bisa menunggu dan berusaha memperbaiki
diriku, menjaga diri dan hati hanya untuk lelaki yang memilihku. Terima kasih telah membaca suratku. Salam untuk
ayah dan ibumu di rumah ya. Oya, Mas,
Siapa namamu? Apakah kita pernah bertemu?
Salam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar