Matahari terbesar pertama yang kulihat adalah matahari siang
ini. Sebelumnya aku hanya melihat matahari tak lebih besar dari tutup panci. Sinarnya begitu menyengat,
hangat. Sepertinya matahari tak berada jauh dariku. Disana. Ya disana di pucuk tertinggi
gumpalan awan. Disanalah matahari berada. Bersama awan yang terus menggumpal.
Entahlah berapa panjang jaraknya. Dekat. Lebih dekat dari biasanya.
Dimanakah aku kini, apakah aku sudah mati? Mengapa matahari
dan awan begitu dekat? Dimana aku? Kurasakan semilir angin merasuki celah pori,
menerbangkan helai-helai rambutku. Angin. Kenapa sapuannya lembut sekali?
Kemana angin buas malam, kemana angin yang menusuk? Aku masih terus bertanya,
tapi tak ada suara yang membalas tanyaku. Allah dimana aku? Kau juga tak mau
membalas tanyaku?
Tempat ini entahlah apa namanya, sebuah tempat berawan awan.
Mungkinkah ini negeri awan yang kubaca di dongeng masa kecilku? Seluruh bagian tempat
ini di penuhi gumpalan awan, awan putih yang bergumpal gumpal seperti buih. Buih yang putih bersih. Dibalik awan itu
kulihat satu persatu warna berbaris menyatu membentuk lengkungan. Biasanya aku
menyebutnya pelangi. Pelangi , di tempat inikah ia dibuat? Kurasakan jari-jari
menyentuh pundakku. Aku menoleh. Dimataku dia adalah sosok wanita. Wanita yang
tak pernah kulihat sebelumnya. Putih kulitnya dalam putih kerudungnya. Indah
sekali alisnya. Indah sekali matanya. Indah sekali hidungnya. Indah sekali
bibirnya. Allahku, ku nikmati keindahan
dalam keindahan. Di atas keindahan di bawah keindahan. Di kanan-kiri keindahan.
Di tengah-tengah keindahan yang indah sekali*
Berulang kali kutepuk pipiku, kucubiti kulit-kulitku, aku
tak bermimpi. Dia sungguh seorang wanita. Wanita yang cantik sekali. Belum
pernah aku melihat wanita secantik dia. Bahkan ibuku, adikku tak secantik dia. Wanita
itu, bisakah dia menjawab dimana aku?
Kuberanikan diri mengeluarkan suara, “ Dimana aku?”
“Di sebuah tempat yang akan merubah hidupmu, Rum”
“Kau tau namaku?”
“Rumi”
Wanita itu berjalan berlahan, mebiarkan helai-helai gaun
sutranya menari, Langkahnya seolah memberitahuku untuk mengikutinya. Kuikuti
langkahnya. Aku penasaran, kemana wanita cantik ini akan membawaku. Kurasakan
langkahku semakin panjang. Rupanya tempat yang ingin dia tunjukkan jauh dari
sini.
Tak seberapa lama aku melihat bangunan besar bercahaya,
cahaya memancar hingga menyilaukan mataku. Semakin mendekat semakin kulihat
digdaya bagunan ini. Ukurannya yang besar. Warnanya putih mutiara, disangga
berpuluh-puluh tiang. Halamannya. Hamparan rumput hijau terhampar, ada mawar,
kamboja, daisy, melati, tulip, dan diujung kiri kulihat sekelompok edelweiss.
Tempat ini, rupanya semua bunga bisa tumbuh disini. Diselimuti awan tipis
yangmenyejukkan.
“Masuklah Rumi” kata wanita cantik
Wanita itu terus berjalan membawaku masuk lebih dalam pada
rumah. Mungkin ini rumahnya. Oh rupanya ini bukan rumah, ini sebuah istana. Ada
singgasana raja besar disana. Ada beberapa dayang yang sibuk menyiapkan
makanan. Menghantar buah-buah dan membawa botol-botol susu. Kulihat pula
beberapa lelaki sibuk menghias istana. Mereka membawa emas, berlian dan
mutiara. Diarangkainya batu-batu mulia itu menjadi hiasan yang indah.
Digantungkannya pada dinding dan tiang-tiang. Istana ini semakin bercahaya.
Kerlap mencecar mata.
“Tunggu, siapa namamu?” tanyaku. Langkah wanita itu
terhenti. Berbalik. Bukan jawaban yang dia berikan. Dia hanya terdiam sambil
menyunggingkan senyuman.
“Aku bingung wanita, tempat apa ini? Kau tak pernah menjawab
tanyaku? Bahkan aku tak tahu siapa namamu” aku terus mencecarnya dan dia sama
sekali tak peduli dengan kebingunganku. Tak ada yang bisa kulakukan kecuali
mengikutinya. Pasrah.
Derap kaki kami menggema, aku seperti merasakan berada di
dalam sebuah museum. Gema. Bedanya jika museum menghadirkan kisah dalam diam
dan bisu, istana ini menghadirkan kisah yang riuh dan sibuk. Semua manusia yang
kutemui sibuk dengan aktivitasnya. Aktivitas selayaknya manusia. Mereka itu
manusia atau malaikat? Kenapa semuanya
indah bercahaya?
“Berhenti disini Rumi, aku akan memberikanmu sesuatu” Wanita
itu masuk ke sebuah ruangan. Sepertinya sebuah kamar. Aku baru sadar ternyata
istana ini memiliki banyak kamar. Pintu kamarnya berwarna hitam. Hitam yang
memancar. Dan kamar yang dimasuki wanita itu. Ada yang berbeda disana. Ada
kata-kata di daun pintunya. Kata-kata yang tak terbaca mataku, terlalu samar.
Aku penasaran.
Kulangkahkan kakiku menuju daun pintu itu. Berjingkat. Aku
takut pengawal istana akan melarangku. Hampir saja kubaca kata-kata di daun
pintu saat seorang pria menyapaku
“ Apakah kamu yang bernama Rumi?”
“Ya, aku Rumi”
“Mau apa kamu masuk ke kamar itu?”
“ Aku hanya ingin membaca tulisan di daun pintu itu” jawabku
membela diri
“Tanpa kau baca kau sudah tau”
“ Maksudmu?”
“ Kamar itu adalah kamarmu Rumi”
“Kamarku?”
“Ya, ada potongan tubuhmu disana” Lelaki itu berlalu cepat
dari hadapku tanpa memberiku kesempatan untuk bertanya kembali.
Tubuhku? Di dalam kamar itu?
Kudengar sayup-sayup suara ditelingaku. Suara yang sangat
aku kenal.
*Di bayang wajahmu
Kutemukan kasih
dan hidup
Yang lama lelah aku cari
Dimasa lalu
Kau datang padaku Kau tawarkan hati nan lugu
Selalu mencoba mengerti
Hasrat dalam diri
Kau mainkan untukku
Sebuah lagu tentang negeri di awan
Dimana kedamaian menjadi istananya
Dan kini tengah kaubawa
Aku menuju kesana*
Allah, rupanya istana itu, keindahan itu, wanita itu. Mimpi, ya aku hanya mimpi. Mimpi
ini, apa artinya? Wanita itu, ah sayang sekali aku belum tanya siapa namanya. Kutengok
handphone di meja. Jam tiga pagi. Mimpi itu membangunkanku untuk bertemu dengan
Allahku rupanya.
Bayang-bayang wanita di mimpiku terus berkelebat. Berani sekali dia masuk
dalam shalatku, mengganggu saat-saat munajatku. Ah, mungkin bukan dia yang
salah tapi aku. Aku dan imanku yang masing diujung kuku, hingga goda semacam
itu dengan mudah masuk dalam shalatku. Ampuni aku.
Hari selanjutnya, ternyata aku masih berpikir tentang dia,
dia wanita itu. Abang, mungkin dia bisa
menyembuhkan kemelut hatiku.
“Bang, pernahkah abang bertemu seorang wanita dalam mimpi?”
“Hayo, kamu mimpi ya Rum, sudah mandi belum?”goda abang
“Ah Abang ini, bukan mimpi itu maksud Rumi”
“Lalu?”
“Mimpi yang aneh Bang, tiba-tiba saja aku bertemu dengan
wanita cantik di sebuah tempat yang indah. Wanita itu meninggalkan aku masuk ke
sebuah kamar. Diakhir mimpi ada lelaki yang bilang potongan tubuhku ada di
kamar itu, Bang”, “Mimpi macam apa ini?”
“ Rumi, Rmi kamu ini sudah dewasa. Mungkin itu jawaban
untukmu” Abang meninggalkan aku sesaat setelah menepuk bahuku. Ah abang ini
bagaimana, kutanya agar ia memberijawaban malah membuatku semakin bingung.
Dewasa? Jawaban? Aku masih belum mendapatkan jawabannya.
Mimpi itu, wanita itu, jawaban itu. Apa mungkin ini jawaban
dari pinta ibu beberapa hari lalu?
“Rumi, ibu pengen gendong cucu, Nak”,
“Kan ada Iqbal, anak Bang Adam Bu, gendong saja dia”
selorohku
“Ah kamu, ibu pengen gendong bayi Rumi”, “bayimu”
Aku tersedak mendengar kata-kata terakhir dari ibu. Bayiku.
Yang benar saja. Istri saja belum punya. Bayi apalagi. Lagipula aku ini baru
saja pensiun menjadi mahasiswa. Kerja juga masih baru dimulai beberapa bulan
lalu. Belum ada pikiran untuk meminang anak orang. Mau aku beri makan apa?
“ Lihatlah ibu bawakan sebuah foto untukmu” diletakkannya
amplop itu disampingku. Amplop yang belum sempat kubuka, sesaat setelah itu aku
mendapat telepon dari seorang kawan untuk segera berangkat kerja.
Amplop itu. Dimana dia? Mendadak aku diliputi rasa penasaran
tingkat akut. Kucari amplop itu di meja makan, di kamar tidurku, di lemari.
Nihil. Amplop itu, foto itu, wanita itu,
mungkinkah ia? Wanita awan, Wanitaku. Potongan
tubuhku, tulang rusukku?
*Puisi Wanita
Cantik Di Multazam Gus Mus
*Lirik lagu Negeri di Awan Katon Bhagaskara
Rizza Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar