Beberapa hari lalu saya bersama paman dan bibi serta dua anaknya singgah
di sebuah rumah, baru saja kami sampai di halaman rumahnya kami disambut hangat
oleh sepasang kakek nenek yang langsung menggendong cucunya. Menciuminya
berulang-ulang. Si sulung dua tahun itu dibopong kakek dan adiknya terlelap di gendong
neneknya. Ada gurat bahagia terpancar,
sudah setahun cucu-cucunya tak pulang. Kali ini, rasanya tak ada alasan untuk
tidak memeluknya lebih lama.
Saya sendiri baru pertama kali singgah di rumah itu, rumah besar
bergaya joglo, rumah budaya di pedalaman Gunung Kidul. Saat kami sampai pukul
00.00 WIB, taka da suara lain kecuali kodok dan dua orang kakek nenek itu yang
mencandai cucunya. Lepas.
“Mbah tinggal berdua saja Bulik”, tanyaku
“Mbah tinggal berdua saja Bulik”, tanyaku
“Iya mbak, saya kan cuma dua bersaudara semuanya perempuan .
Semuanya ikut suami”
Saya hanya bisa ber-oh….
Anak perempuan, dilahirkan, dibesarkan, dididik saat ia suddah
mendewasa, santun dan terdidik seorang lelaki tertarik padanya. Ia kemudian
dipinang, dinikahi dan dibawa suaminya mengarungi hidup bersamanya. Perlahan
meninggalkan rumahnya.
Meninggalkan ayah dan ibunya, meninggalkan adik-adiknya,
meninggalkan kamar dan semua ruang yang ia diami sebelumnya. Ruang kehidupannya
dari kecil hingga dewasa. Meski ada juga yang tak sepenuhnya pergi, artinya
rumahnya dekat dari orang tuanya juga ada yang masih tinggal serumah dengan
orang tuanya dan justru suami yang mengikuti tinggal dirumahnya. Namun
kebanyakan istri mengikut suaminya. Dan memang begitulah fitrahnya.
Ketika seseorang lahir sebagai wanita, maka ia telah dibekali oleh
Allah sebagai makhluk yang siap menjadi istri, siap menjadi ibu, siap mendidik
dan mendampingi suami dan anak-anaknya. Siap pergi mengikuti suaminya, berjuang
meniti kehidupan selanjutnya, kehidupan mandiri sebagai ibu dari sebuah rumah,
rumahnya sendiri.
Kembali ke rumah itu, saya kembali merenung, sesungguhnyaorang tua
yang mempunyai anak gadis itu resah, resah bagaimana ia harus mencarikan jodoh
yang terbaik bagi putrinya. Ketika sudah dapat pilihanya mereka kembali resah, resah karena sebentar lagi putrinya
akan pergi. Pergi bersama imamnya yang baru. Nasehatnya turun di tangga kedua
bagi putrinya karena tangga pertama telah ditempati lelaki yang menikahi
putrinya.
Keresahan yang tersembunyi dibalik kebahagiaan diselimuti kerinduan
dan doa. Dalam resahnya ayah tak henti mendoa semoga anak gadisnya bahagia,
semoga pria yang menikahinya bisa melindunginya dan bertanggung jawab pada hidupnya
seperti ia menjaga dulu. Ibu berdoa semoga anak gadisnya bisa membahagiakan
suaminya, takzim dan menjaga hatinya, menghebatkan kariernya dan mendidik
anak-anaknya.
Wanita, dengan segala kelemahan dan kelebihannya, telah dijaga
sepenuhnya oleh orang tuanya, ketika kau telah mengambil tanggung jawab dirinya
dari orang tuanya maka jagalah ia sepenuh hatimu, karena orang tuanya telah
mempercayakannya padamu. Agendakanlah dalam kesibukanmu untuk membawa wanitamu
pulang ke rumahnya, bertemu ayah dan ibunya biarkanlah mereka melepas rindu,
bercanda dengan anak-anakmu, cucunya
Wanita, sebelum kau memilihnya menjadi istrimu, mintalah restu dari
orang tuanya dan orang tuamu. Karena mereka yang memiliki, jangan hanya karena
cinta seenaknya saja kau bawa ia pergi. Melengganglah dengan anggun bersama
wanitamu dengan membawa senyum restu dan doa
Wanita, selama kau masih sendiri, gunakan waktumu untuk menoreh bahagia
dan takzim pada orang tuamu, patuh pada nasehatnya. Bermanja-manjalah sepuasnya
pada ayah dan ibumu, raih surga pertamamu sebelum kau pergi bersama lelaki yang
kau pilih dan menikahimu, yang kata-katanya wajib kau ikuti, menempati tangga
pertama dan orang tuamu di tangga kedua. Karena surgamu ada padanya. Pada lelakimu,
pendampingmu, sahabat hidupmu, ayah dari anak-anakmu
Wallahu’alam
Wallahu’alam
Sukmajaya, 16
Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar