Sabtu pagi di tengah hiruk pikuk perhelatan agung seluruh civitas akademika UIN Maulana Maliki Malang kulangkahkan kaki keluar Faza dan mulai menyusuri ‘jalan cinta’. Anda yang kuliah di UIN pasti familiar dengan istilah ini. Itu lho jalan antara gedung A dan gedung B, jalan yang kulewati sudah penuh dengan mobil anggota keluarga para calon wisudawan. Sampai di ujung ‘jalan cinta’ tepatnya di depan stand souvenir MSAA, aku melihat arak-arakan calon wisudawan musyrif menaiki bak sampah kuning dengan tampilan yang mentereng. Dibalut dengan pakaian wisuda lengkap dengan toga menutupi rambut mereka diiringi sholawat tholaal badru membuat haru siapa saja yang melihatnya, terlebih bagi kami adik-adik tingkat yang masih lama waktu wisudanya.
Kembali lagi ke balada langkah kaki, rencananya hari itu aku akan mengunjugi rumah salah seorang saudaraku di daerah sawojajajr. Menaiki dua angkot yang berbeda. Cukup sepi. Sengaja saya berangkat pagi hari karena selain udaranya masih murni belum terlalu banyak polusi juga sepi, biar cepat sampainya. Begitu pikirku. Tapi dugaan saya salah, perjalanan lancar itu terhenti cukup lama sekitar 45 menit saat menunggu becak di pertigaan memasuki daerah Sawojajar dalam yang memang tak bisa dilalui angkot.
“Oh iya pak, Jalan Danau Laut Tawar G4 H23 ya Pak”
“Oh iya”, jawab tukang becak itu, terlihat dari raut mukanya, bapak itu tak mengerti benar mana alamat yang kusebutkan. Benar juga dugaanku di tengah jalan, Bapak itu bertanya pada seorang perempuan paruh baya. Setelah cukup paham Bapak itu melanjutkan kayuhan kakinya. Sebenarnya ini bukan kali pertama saya berkunjung ke rumah saudara saya itu, tapi memang dasarnya saya memang tak begitu hafal dengan jalan-jalan, Apalagi jalan berkelok di tengah-tengah perumahan padat seperti ini.
Ditengah perjalanan bapak itu bertanya pada saya, dimana saya tinggal, dimana saya kuliah dan bayak lagi. Dari pertanyaannya saya yakin Bapak tukang becak ini adalah orang yang sangat peduli dengan pendidikan. Keyakinan saya bertambah tak terbendung saat Bapak itu meminta maaf pada saya karena terpaksa berhenti lagi untuk kesekian kalinya. Anda tahu apa yang Beliau lakukan?. Beliau mengambil Koran yang tercecer di jalan.
“Eman Rek, masih baru, tu kan bener Mbak. Ni koran pagi ini”, kata Bapak becak sambil membaca Koran dengan kaki masih tetap diatas pedal mengayuh becaknya. Sesekali terdengar ucapan asma Allah saat membaca berita. Headline news Koran Surya pagi itu adalah tentang dua bocah yang dipalu ibu kandungnya.
Pagi itu saya mendapat dua kenyataan yang sangat ironi. Pertama saat awal melangkahkan kaki ke jalan silaturahim. Para pemuda penerus bangsa bergembira dengan keberhasilan studynya. Bila membutuhkan literatur bacaan mereka tinggal mengunjungi perpustakaan kampus atau membelinya di toko buku bagi mereka yang punya budget lebih. Sedangkan Bapak becak itu sangat peduli dengan ilmu meskipun itu hanya beberapa lembar Koran, saking sayangnya pada ilmu ia rela memunguti Koran di jalan, alasannya eman sayang bila bacaan itu tak terbaca, terbuang begitu saja. Saya yakin kakak-kakak tingkat saya pagi itu yang telah di pindahkan tali toganya belum tentu pernah melakukan ‘penghormatan’ yang sedemikian rupa pada bacaan atau buku meskipun pada lembaran informasi yang harganya sekitar 1000-3000 rupiah sekalipun. Apa yang di lakukan Bapak Becak itu di depanku seakan membawa pesan kehidupan bahwa Aku juga haus ilmu sepertimu Mbak, walaupun aku tak sekolah tapi aku bisa mendapat ilmu dimana saja. Meski kini usiaku tak lagi muda.
Sarir faza 21.33
Untuk Bapak Becak, entah siapa namanya
Semoga saya bertemu lagi dengan Anda dan ajarkan lagi pada saya tentang ilmu kehidupan
Bagi Anda yang membaca tulisan saya ini, tolong doain Bapak Becak ini ya...semoga sehat walafiat dan tetap gagah dengan becak tuanya disaat satupun giginya tak ada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar