Kemarin saya menulis sebuah tulisan yang berjudul ‘Air Mata
Untuk Jokowi’ isinya sederhana, tentang isi hati saya sebagai pemilih Pak
Jokowi dan tentang apa yang saya rasakan ketika hasil quick count menunjukkan
Pak Jokowi lebih unggul dari lawannya. Itu saja, saya sama sekali tidak
menyangka kalau tulisan tersebut mendapatkan banyak respon dari pembaca, baik
komentar, pesan dll.
Ada yang mengungkapkan kalau ia punya pilihan yang sama
dengan saya, ada pula yang pilihannya tak sama dengan saya. Ya, inilah yang
dinamakan pemilihan, selalu ada opsi-opsi yang akan dipilih dan semua orang
berhak menentukan pilihan. Sudah pasti diantara yang memilih itu ada yang punya
pilihan yang berbeda, terang saja berbeda, namanya juga pilihan. Kalau semua
sama namanya persetujuan.
Berdasarkan pilihan kemarin, hasil quick count menunjukkan
kalau Jokowi yang unggul, banyak lembaga survey yang menunjukkan prosentasenya
dan prediksinya. Sebagai salah satu pemilihnya, wajar kan jika saya merasa
senang, wajar pula jika saya terharu sampai lahirlah tulisan semalam itu.
Dua puluh empat jam sejak tulisan itu saya posting, sebagian
besar yang mendukung Pak Prabowo mengatakan pada saya “Jangan senang dulu, itu
kan baru quick count bukan real count, hasilnya itu nanti tanggal 22 Juli, jadi
jangan sesumbar dulu deh, jangan sombong”
Tak hanya satu dua orang yang berkata seperti itu, lantas
saya termenung, apakah saya salah menuliskan isi hati saya? Apakah saya salah
jika saya merasa bahagia meski saya pun tahu ini masih praduga belaka? Siapa
yang sesumbar? Siapa yang sombong? Lewat tulisan itu, sama sekali tak ada
kata-kata yang menunjukkan kesombongan, atau sesumbar. Lagipula, saya ini
siapa, hingga pantas sombong? Calon preseden bukan, tim sukses bukan, relawan
juga bukan. Saya hanya satu orang yang memberikan hak suara saya pada Pak
Jokowi, itu saja.
Jika saya mengirim sebuah naskah tulisan ke redaksi majalah,
lalu ada teman yang bilang “Rizza selamat ya, naskah kamu akan dimuat”
“Kamu tahu dari mana?”
“Iya, tadi aku ikut rapat redaksi kok, naskah kamu
diperhitungkan”
Siapa penulis yang
tidak bahagia dengan berita itu? Meski hanya baru diperhitungkan untuk dimuat?
Sebagai seorang penulis saya tentu senang, meski kata ‘diperhitungkan’ itu
bermakna ambigu, bisa jadi dimuat, bisa jadi tidak dimuat. Sama dengan hasil
quick count kemarin, saya pun tak tahu pasti apakah Pak Jokowi benar-benar
ditakdirkan untuk memimpin negeri ini, atau Pak Jokowi akan melanjutkan
langkahnya menjadi gubernur Jakarta. Saya tak tahu, tim sukses tak ada yang tahu.
Hanya Allah yang tahu, namun seperti halnya naskah yang ‘diperhitungkan’ untuk
dimuat, saya pun merasa senang ketika Pak Jokowi menang quick count. Wajar kan?
Saya pun menyadari, dalam pemilihan presiden ini hanya akan
menjadi event sementara yang satu bulan dua bulan lagi akan mencapai akhirnya,
bahkan semua orang akan melupakannya, ini hanya permainan, tapi permainan yang
tidak main-main! Dalam sebuah permainan, harus fair, hanya ada du kontestan, tak mungkin dua-duanya menduduki
tahta RI 1 yang kursinya hanya 1. Siapa lelaki beruntung itu?
Saya ataupun Anda tentu masih menduga, saya pun tahu, ada
banyak pendukung Prabowo yang merasa patah hati dengan hasil quick count, ada
pula yang masih berharap dan menunggu hasil real count. “Ini kan masih quick count,
kita tunggu hasil sesungguhnya dari KPU” Ya, itu pasti, saya pun akan menunggu.
Yang saya sesalkan adalah ada beberapa komentar yang
mengatakan begini “Pendeklarasian prematur dari Jokowi itu adalah sebuah taktik
untuk menggiring opini publik, jika nanti hasil KPU menunjukkan Prabowo yang
memang, maka publik sudah pasti mengira ada kecurangan dari pihak Prabowo”
Siapa yang bilang itu hanya taktik? Siapa? Bisa ditunjukkan siapa yang bilang
pertama kalinya, Jokowi? Anis Baswedan?
Lantas, apakah kalian yakin hasil KPU akan bertolak belakang
dengan quick count? Hingga keluar
statement yang entah dari mana itu. Jika menilik dari peryataan “Jika nanti
hasilnya Pak Prabowo yang menang, maka sudah pasti dicurangi” Sepertinya kalian
yakin sekali. Saya memang pernah mendengar Jokowi berkata “Kalau kita kalah
pasti dicurangi” Ya, saya pernah mendengar itu dan melihatnya di TV, sebagai
pendukungnya, saya pun tak setuju dengan opini ini, saya sempat kecewa pula
dengan opini Jokowi ini, tapi saya lebih tidak setuju lagi dengan
pendeklarasian itu hanya taktik. Oh bukan, bukan karena saya memilih Jokowi,
bukan itu. Saya menuliskan begini, karena menurut saya tak baik berpikir
negatif pada salah satu calon, meski itu bukan calon pilihan kita.
Sekarang saya mencoba netral. Jika pendeklarasian Jokowi itu
taktik, lantas apakah hanya Pak Jokowi yang mendeklarasikan? Pak Prabowo juga
kan? Nah, berarti Pak Prabowo juga menggiring opini publik dong kalau
begitu. Pada akhirnya saya menilai,
keduanya sama saja, sama-sama merasa menang. Ya, masih merasa, karena hasil
akhirnya tetap KPU dan Allah yang tahu.
Menggiring opini, dan penghitungan suara yang dihentikan
pada saat Jokowi mendeklarasikan, agar Jokowi telihat unggul di mata publik.
Itulah yang saya baca. Apa iya? Baiklah, kalau memang penghitungan quick count
itu dihentikan agar Jokowi unggul, harusnya hari ini angkanya berganti, Prabowo
yang unggul dan Jokowi dibawahnya, harusnya begitu kan?
Lantas, kalau pendeklarasian itu menggiring opini publik dan
quick count itu hanya bohongan belaka. apakah hasil tabulasi data dari PKS yang
banyak beredar, yang menunjukkan Prabowo unggul itu juga menggiring opini
publik? Bukankah terlalu prematur jika data itu diumumkan di media sosial
sekarang? Tanggal 22 Juli masih jauh bukan?
Apakah itu hanya untuk mendinginkan hati pendukung Prabowo
yang mulai resah? Tenang, ini lho hasil
sebenarnya kita menang kok. Baiklah. Lalu kenapa saat Pak Jokowi
mendeklarasikan kemenangan dikatakan menggiring opini publik? Bukankah ia juga
ingin mendinginkan hati pendukungnya yang mulai resah pula?
Ada juga yang bilang, “sekarang ini presiden itu ada 2
Za, Presiden Indonesia dan presiden
quick count” Baiklah, jika posisinya terbalik, Pak Prabowo yang unggul di 8
lembaga quick count dan Pak Jokowi yang berada di bawahnya. Pasti pendukung Pak
Prabowo juga akan bersuka cita dan tak mau jika Prabowo dicap presiden quick
count, di cap terlalu terburu-buru, sombong. Nggak mau kan? Jika Pak Jokowi
yang menempati posisi Pak Prabowo sekarang, pasti saya juga akan bilang “Ini
kan masih quick count, jangan senang dulu, hasil sesungguhnya ada di KPU” dialog ini sudah seperti keniscayaan, selalu
begini, diulang-ulang. Dari dulu selalu begini, lagu lama
Wajar jika saya dan pemilih Pak Jokowi lainnya merasa
senang, bukankah pendukung Pak Prabowo kemarin juga sorak-sorak senang setelah
pendeklarasiannya? Juga melakukan sujud syukur setelahnya. Oya, sujud syukur
kok di depan kamera media, itu pencitraan ya? Eits, jangan marah, bukankah Pak
Jokowi yang mengimami sholat dibilang pencitraan? Bukankah berangkat umrah juga
dibilang pencitraan?
Sampai disini, mungkin ada pendukung Prabowo yang membaca
tulisan ini lantas mencap mencep dan
memaki-maki saya. Maaf ya, inilah yang saya amati, ini suara saya yang ingin
saya ungkapkan, yang saya tuliskan, agar membekas, tak seperti suara, yang
setelah terdengar lalu hilang. Silahkan jika tak sependapat dengan saya, memang
pilihan kita berbeda. Anda memilih Pak Prabowo dan saya memilih Pak Jokowi.
Disadari atau tidak, ketika menjatuhkan pilihan kita seperti sudah terpaut.
Saya terpaut dengan Pak Jokowi dan Anda terpaut dengan Pak Prabowo. Allah yang
menautkan, karena hanya Dia yang Maha membolak-balikkan hati dan menautkannya
pada satu sosok yang melahirkan kemantapan hati.
Suara sudah diberikan, kotak suara sudah dibuka, angka-angka
sudah mulai dituliskan. Tinggal menghitung hari saja. Jika sekarang tanggal 10
berarti ada 12 hari untuk sampai tanggal 22 Juli. Dua belas hari bukanlah waktu
yang lama bukan? Kita tunggu saja. Pilihanku dan pilhanmu memang berbeda, tapi
Tuhanku dan Tuhanmu sama-sama tak menginginkan kita saling memfitnah bukan? Yuk
damai. Salam Indonesia Hebat &
Bangkit ^_^
Rizza Nasir
10 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar