Alhamdulillah.... pasportku sudah jadi. Ini kertas
pengambilannya. Pasportnya belum sempat kufoto. Kemarin diminta kantor ICP
untuk dikirim ke Malaysia.
Kalian tahu, aku mengurusnya sendirian! Bolak-balik UIN
Blimbing tiga kali, memakan waktu hampir 2 minggu. Ya aku tahu karena
kesalahanku. Kesalahanku karena aku daftar manual.
Begini, membuat paspor itu ada dua cara untuk mengawalinya. Pertama, daftar online dulu (memasukkan
data asli kita melalui www. Imigrasi.co.id. Scan datamu mulai dari KTP, Akta
kelahiran, ijazah, Kartu Keluarga, Surat Nikah *bagi yang sudah nikah*), isi
semua borang yang ada. Karena banyak yang memasuki situs itu, berakibat situs
itu lemot bukan main. Saya yang tak sabar menunggu memilih jalur Kedua, datang ke kantor imigrasi dengan
membawa berkas itu. Ikuti semua prosedur disana.
Apa perbedaan jalur pertama dan kedua?
Yang pertama hanya
perlu datang dua kali. Yang kali pertama, proses (cek berkas, foto, sidik jari, wawancara)
dan kali kedua untuk mengambil paspor tiga hari kemudian. Jalur kedua, datang
untuk pertama kali hanya untuk setor berkas kemudian pulang lagi dan kesana
lagi tiga hari kemudian untuk foto dsb. Dan saya (karena ketidaksabaran saya itu)
memilih jalur kedua. Padahal hampir tiap datang saya harus antri satu jam, apes ya? Ini pengalaman, semoga tidak
terulang. Jika kamu akan buat paspor, pilihlah jalur kedua dan pertebalah
kesabaran.
Datanglah pukul 07.00 pagi. Meski kantor imigrasi buka jam
07.30 WIB tapi sejak pagi sudah ada yang mengantri disana. Selalu penuh tiap
harinya. Begitu pintu terbuka, datanglah ke resepsionis, mintalah nomor antrian
dan duduklah dengan tenang sambil menunggu panggilan.
Di kursi tunggu itulah saya melihat banyak orang yang juga
menunggu, ternyata banyak juga ya yang
mau ke luar negeri. Mereka yang berbaju putih dan bawahan itu pasti TKI,
mereka yang paruh baya pasti mau umrah atau mereka gerombolan pemuda di kursi
pojok sana, mungkin mereka akan menghabiskan liburan atau mereka ingin
mengikuti pertukaran pelajar. Entahlah...
Melihat semua itu, saya berkata dalam hati ternyata animo rakyat Indonesia ke luar negeri besar sekali ya, katanya semua mahal, tak punya uang? Saya hanya ingin berhusnudzon saja, semoga yang keluar negeri selain TKI dan student exchange bukan untuk menghamburkan uang atau semoga salah satu dari kami yang sedang menunggu disini bukan teroris.
“Mau umrah ya Dek” Seorang ibu duduk di samping saya. Umrah? Amin
“Tidak Bu, saya mau ke Malaysia”
“Ngapain?” Sekolah atau jadi TKI”
“Saya mau PKL disana Bu”
“Oh..” obrolan kami mengalir panjang
Saya hanya berpikir, kenapa setiap orang yang mendengar kata
Malaysia,Hongkong atau Korea, jika berkaitan dengan paspor apalagi yang
mengurus adalah pemuda, selalu dikaitkan dengan TKI, kenapa? Apakah itu yang
namanya identik?
Menurut saya, menjadi TKI bukanlah pekerjaan yang rendahan, menjadi TKI adalah berjuang untuk
keluarga, dengan mempertaruhkan waktu dan rindu. Bertahun tak pulang hanya
untuk dapat uang. Sebagian dari keringat mereka juga mengucur ke negara, yang
kemudian kita sebut devisa. Pantaslah mereka disebut Pahlawan devisa. Tapi
kenapa menjadi TKI masih dipandang sebelah mata? Mari meluruskan hati.
Tiga hari lalu, saat saya ke kantor imigrasi untu kali
kedua, saya berkenalan dengan seorang gadis, kira-kira seumuran saya
“Mbak tempat bayar biaya paspor dimana ya? Tanyaku padanya
“Maaf, saya nggak tahu” jawabnya takut-takut
“Mbak mau kemana?” tanyaku lagi, jujur tanyaku yang pertama
hanya modus untuk memulai perbincangan dengannya. Saya sendirian, siapa yang
tidak bosan menunggu lama dalam kesendirian begini meski dalam ruanagan ramai
sekalipun. Kalau tak ada kekata, tak enak rasanya.
“Saya mau ke Malaysia”
Saya tak melanjutkan pertanyaan sperti ibu-ibu kemarin, ngapain ke Malaysia? Karena dari setelan
hitam putihnya, dia pastilah calon pahlawan devisa. Ya Allah, dia masih seusia
saya, dia tak melanjutkan sekolah karena tak ada biaya. Dia nekat daftar ke
agen untuk memperbaiki perekonomian keluarga. Meski kami seusia, saya yakin dia
lebih kuat dari saya.
Kini saya tahu, saya punya banyak yang orang lain tak punya,
saya punya keluarga yang mendukung sekolah saya, saya punya kampus yang
mencatat nama saya jadi salah satu mahasiswanya dan saya punya kesempatan untuk
ke Malaysia. Bukan sebagai TKI tapi sebagai mahasiswa PKLI.
Mbak, bahkan aku tak tahu siapa namamu. Semoga Allah menguatkanmu.
Beberapa bulan lagi saya berangkat ke Malaysia, apakah kau sudah disana?
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar