Siapa yang tak senang menjadi ibu? Semua wanita di dunia ini
pasti menginginkan itu. Ketika aku menjadi ibu usiaku baru 21 tahun. Duduk di
semester 7 sebuah universitas di kota ini. Tak kupungkiri menjadi ibu plus
mahasiswa adalah satu tantangan tersendiri bagiku. Saat aku hamil tua aku masih
harus mengikuti beberapa mata kuliah setiap harinya selama seminggu.
Melelahkan.
Saat-saat menjelang kelahiran anakku. Aku merasakan sakit
yang sangat. Sakit semua badanku, dari pinggang, perut, kepala, kaki. Sakit.
Ingin rasanya aku berteriak agar sakitku mereda. Keluar bersama suraku. Tapi
ibuku melarangku. Lebih baik digunakan
dzikir saja Nduk,kata beliau. Semalaman aku merasakan sakitnya melahirkan.
Allah, beginikah rasanya?
Suamiku. Tak bisa berbuat banyak selain menenangkanku,
menggosok-gosok punggungku dan mengusap peluhku. Percuma. Sama sekali tak
mengurangi sakitku. Semakin lama semakin sakit. Lalu pagi itu dokter datang ke
kamarku, menutupkan kain di perutku. Diperintahkannya aku mengangkan gmembuka
dua kakiku. Bismillah... kuikuti
anjuran dokter untuk mengejan. Satu, dua, tiga kali. Dan lahirlah anakku. Jagoan kecilku. Terima kasih Allah...
Menikah saat kuliah adalah pilihanku. Tak ada takut sama
sekali dalam diriku ketika lelaki yang kini menjadi suamiku melamarku. Usianya
sembilan tahun lebih tua dariku. Sebuah usia yang matang untuk lelaki. Aku mengenalnya di organisasi. Aku tak terlalu mengenalnya sebagai partner,
aku hanya tahu dia baik. Itu saja. Ketika
dia melamarku, ayah dan ibuku menanyakan padaku. Apakah aku mau menerima
lamaran lelaki itu. Menurut ayah
bagaimana? Kalau ayah dan ibu setuju, insyaallah saya setuju. Sejauh saya tahu
tentang dia. Dia baik.
Sebulan kemudian kami
menikah, kini jagoanku sudah
mulai berjalan. Belajar mengucap banyak kata dan penasaran terhadap hal-hal
baru. Aku bahagia dengan hidupku kini. Memiliki seorang suami yang menyayangiku
dan anak yang lucu. Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang wanita
kecuali memiliki seorang suami sholeh yang menyayanginya dan melahirkan seorang
putra. Menjadi seorang ibu. Fabiayyi alaa
i Rabbikuma Tukadziban??
Jangan takut menikah saat kuliah. Jangan takut disibukkan
oleh mengurus rumah tangga saat kuliah. Saya buktinya. Saat anak saya lahir
saya sedang dalam proses menggarap proposal skripsi. Mengerjakan skripsi saat
anak saya sudah terlelap, atau bersamaan dengan menyusui dia dipangkuan. Saya
terus mencicilnya tiap malam. Alhamdulillah saya lulus tepat 4 tahun. Tak lebih. Tepat waktu.
Saya memiliki suami, seorang bayi mungil, mengerjakan skripsi. Banyak tanggung jawab yang harus
saya emban dalam waktu bersamaan. Saya bisa!
Saat wisuda saya
ditemani oleh suami dan bayi saya. Keluarga saya yang baru. Inilah pilihan
hidup saya. Menikah muda. Menurut saya lebih terjaga dan menjaga. Kalau banyak
teman-teman saya yang lain beralasan masih kuliah, belum siap, masih terlalu
muda, mengejar karier. Memang semua
orang punya pilihan hidup berbeda. Saya
hanya berpikir tentang masa depan. Masa depan yang sesungguhnya bagi semua
orang di dunia ini. Hidup bahagia bersama belahan jiwa dan buah hati te
Kisah ini dituturkan oleh seorang teman saya. Dari kisahnya saya mengerti dan paham tentang banyak hal yang harus diemban seorang wanita. Tentang bagaimana pinangan, menikah, dan memiliki seorang bayi. Dalam menghadapi kedewasaan seorang wanita dihadapkan pada tantangan hidup selanjutnya, yakni menjadi ibu.
Kisah ini dituturkan oleh seorang teman saya. Dari kisahnya saya mengerti dan paham tentang banyak hal yang harus diemban seorang wanita. Tentang bagaimana pinangan, menikah, dan memiliki seorang bayi. Dalam menghadapi kedewasaan seorang wanita dihadapkan pada tantangan hidup selanjutnya, yakni menjadi ibu.
Apa sajakah yang pertimbangan seorang wanita menerima lamaran seorang lelaki? Bagaimana ia menjaga sholatnya, bagaimana
perangainya, bagaimana latar pekerjaannya, Bagaimana pekerjaannya. Ya, bagaimana pekerjaannya bukan apa
pekerjaannya. Pertanyaan ini tak lantas menjadikan wanita itu materialistik. Sejatinya
bukan kemapanan yang dicari tapi
ketentraman hati, begitu ia menuturkan. Bila mencari kemapanan, misalnya.
Sampai usia berapa kita baru menikah? 30? 50?
Pekerjaan adalah keuletan bukan kemapanan. Rezeki itu akan
datang seiring waktu. Jadi jangan takut menikah untuk para lelaki meskipun
belum mapan, yang penting sudah punya pekerjaan. Bukan pekerjaan tetap, tapi tetap bekerja. Begitu juga dengan
wanita sangat sedikit wanita yang memandang lelaki dari kemapanan hartanya.
Mapan yang seharusnya adalah mapan ilmunya. Bukan pula ketampanannya. Lelaki yang sekarang tampan nanti kalau
menua, jelek juga. Lelaki yang kaya, jika tak kuat imannya hancur juga. Jadi
satu-satunya yang tak akan pernah hilang ya
kesholihan dan keilmuannya.
Ketika aku menjadi ibu, aku menjadi wanita seutuhnya. Meski
usiaku masih muda aku telah memiliki semuanya. Tak usah lah muluk-muluk pada
kehidupan ini. Tak perlulah menjadi wanita yang sok. Cukup menjadi gadis sholihah, cukup menjaga diri dengan baik,
cukup menjaga hati hanya untuk suami. Kalau kamu gadis yang baik dan sholihah.
Lelaki yang baik dan sholih telah dipersiapkan untukmu. Bersiaplah ! menjadi
ibu yang sholihah
Jangan lupa undang aku
ya kalau menikah!! ^_^
Rizza Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar