Sejak lulus kuliah dua bulan lalu, tepatnya 10 Mei 2014 aku
menghabiskan waktuku di tanah kelahiranku, sebuah desa bernama Jarak di
Kabupaten Kediri. Kuhabiskan pagi hingga malam sebagai seorang putri.
Bersih-bersih rumah, beres-beres perkakas dan pakaian juga membantu ibu
memasak. Yang terpenting adalah menjaga ayahku yang sudah tak bisa melakukan
semua aktivitasnya sendirian. Jika semua pergi, maka tinggal aku dan ayah.
Aku mengubur dalam-dalam mimpiku untuk S2 ke Australia,
mimpi untuk S2 di Jogja dan mimpi mengunjungi kota-kota yang ada dalam novel di
negeri ini. Ya, sejak dulu aku selalu bermimpi menginjakkan kaki di tanah
Belitong tempat Si Ikal Laskar Pelangi. Aku bermimpi menginjak tanah Minang,
tempat Hamid Di Bawah Lindungan Kakbah. Aku bermimpi menginjak Aceh, tempat
Delisa. Sejak aku membaca novel 99 Cahaya Di Langit Eropa 1,5 tahun lalu, aku
mulai berani bermimpi ke luar negeri. Aku ingin ke Eropa, Winna, ingin melihat
yang dikisahkan Hanum, aku ingin ke Jepang, menelisik rahasia sukses pendidikan
disana dan aku ingin ke Finlandia, negara dengan kualitas pendidikan anak
terbaik di dunia. Dan yang terpenting, aku ingin wukuf di Arafah dan aku ingin
menciun Kakbah.
Hari dimana aku memutuskan menyudahi mimpi itu benar-benar
hari yang berderai. Aku memutuskan untuk tidak S2, di rumah saja. Menghabiskan
waktu merawat ayahku yang menua dan sakit-sakitan, menerima semua amarahnya
dengan lapang dada dan tak mau memberatkan ibuku untuk urusan keuangan, karena
aku masih punya dua adik yang harus sekolah setinggi aku. Aku menangis
sejadi-jadinya meski aku sedang berpuasa. Aku tak bisa menyembunyikan kesedihan
dan air mataku. Hanya Allah dan aku yang tahu. Karena aku sudah berjanji, aku
tak akan menangis di depan ayah dan ibuku lagi.
Entah apa yang membuatku begitu merana, terluka bahkan
tersayat dalam sekali. Mimpi-mimpiku yang layu sebelum berbunga? Kebosanan di
rumah? Ayah selalu marah? Adik yang selalu marah? Teman-temanku yang sudah
mengajar di sekolah? Temanku yang sudah daftar S2? Temanku yang sebentar lagi
akan menikah? Aku tak tahu pasti apa sebab aku begitu terluka. Hanya bisa
menangis dalam kamarku saat ayahku tertidur dan yang lain tak ada. Menangis
sejadinya sampai aku lelah lalu lelap.
Aku memaklumi ayah yang sangat sering memarahiku sejak ia sakit.
Sedikit-sedikut marah. Marahnya adalah bawaan dari sakitnya. Ayahku menderita
hipertensi, stroke, gagal ginjal, diabetes dan hampir buta. Penyakit itulah
yang membuat ayahku sering terdengar marah. Barangkali marah pada Tuhan, atau
marah pada tubuhnya yang ringkih tak sekuat dahulu. Atau marah karena memang
aku tak bisa memenuhi permintaannya dengan benar. Oh tidak! Aku mengenal ayah
adalah pribadi yang selalu pandai bersyukur dan sederhana. Marahnya sekarang
mungkin memang karena penyakitnya dan gawan
masa tua. Sebagai anak aku memaklumi, harus sabar karena ada surga jika aku
memperlakukan orang tuaku dengan baik, meski sejujurnya kadang aku menggerudal
dan sakit hati. Tak apa, harus belajar lebih sabar lagi.
Belum lagi dua adik-adikku yang beranjak remaja. Labil dalam
emosi dan selalu emosional mendekati temperamental, seperti ayah. Akhirnya sama
sekali tak ada orang sabar di rumah kecuali ibu. Sempat aku kaget dengan semua
ini, dengan gertakan dan bentakan serta omongan kasar. Akhirnya aku bilang pada
ibu, “Bu, jika aku menikah, nikahkanlah aku dengan seorang lelaki yang sabar.
Aku keras, tapi anak-anakku butuh ayah yang sabar”
Aku kemudian berpikir, dalam beberapa bulan ke depan setelah
ibuku pulang dari tanah suci ia akan memperkenalkan aku dengan seorang lelaki
pilihannya. Lelaki yang ia pandang pas untuk jadi suamiku dan seperti
sebelumnya, aku akan selalu manut pada perintah ibu. Lalu aku akan menikah
dengan lelaki itu, belajar mencintainya dan menjadi ibu yang baik untuk
anak-anak kami. Aku akan menjadi ibu yang setia di rumah, karena aku tak bisa
kemana-mana dengan bersepeda. Aku baru akan keluar jalan-jalan jika suamiku ada
waktu luang. Lalu aku akan menua bersama keluarga kecilku itu dan akan mati
diiringi doa setiap tujuh hari, hingga seratus hari.
Aku pasrah, sangat pasrah dengan hidupku. Mengubur mimpiku
dan berusaha sebahagia mungkin sampai hari ini bersama keluargaku. Ayah, Ibu,
Faisal dan Farid. Menjadi putri dan kakak yang baik. Kelak jika sudah menikah,
menjadi istri dan ibu yang baik. Cukup. Tapi hari ini, malam ini, mimpiku
kubuka kembali. Ya, aku harus bangun, aku tak boleh terpuruk!
Malam ini aku menyaksikan sekuel 99 Cahaya di Langit Eropa
di RCTI. Jujur saja, aku hanya ke bioskop dua kali dalam hidupku, untuk Habibie
Ainun dan 5 CM, itupun setelah dipaksa kakak sepupuku. Kalau bukan mereka yang
mengajakku tentu aku tak akan pernah nonton bioskop seumur hidupku. Aku terlalu
sayang dengan 25 ribu yang terbuang demi sebuah hiburan. Aku memilih menunggu
lama sampai ada temanku yang mendownload dan membagi padaku atau sampai film
itu di putar di tivi seperti malam ini. Aku tak masalah dianggap kurang update
atau apapun. Bagiku film itu hanya hiburan, bagiku 25 ribu itu bisa untuk empat
kali makan di kontrakan atau bisa untuk membeli bahan satu resep kue.
Dari wujud nyata novel yang pernah kubaca itu, aku seperti
menemukan kembali semangat hidupku. Aku ingin mewujudkan mimpiku kembali.
Menjadi ilmuwan perempuan yang hebat. Aku ingin membuktikan pada semua orang
bahwa tidak adanya uang bukan halangan seseorang untuk belajar sampai jenjang
setinggi-tingginya. Aku ingin katakan pada mereka yang selalu berkata “Ngapain
sekolah tinggi kalau nanti hanya menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga”
Ya, aku ingin katakan pada mereka bahwa menjadi seorang istri dan ibu itu bukan
soal ‘hanya’ Ini perkara luar biasa istimewa yang harus dihadapi dengan bekal
ilmu yang tinggi. Ilmu menjadi istri dan ibu memang tak seluruhnya diajarkan
dibangku kuliah, untuk jurusan pendidikan sepertiku barangkali masih ada baunya
tapi untuk jurusan lain? Barangkali tak pernah berbau bekal menjadi istri dan
ibu.
Aku ingin katakan pada semua istri, bahwa menjadi seorang
istri bukan halangan untuk kuliah lagi, belajar lagi. Aku ingin hidup sebagai
akademisi, seorang istri dan seorang ibu bagi anak-anak yang sholeh dan lucu.
Aku tak ingin anak dan suamiku malu, karena mempunyai diriku yang tak bisa
apa-apa, hanya berdaster lusuh dan di rumah saja, sudah begitu fisikku tak
sempurna. Aku ingin mereka bangga memiliki istri dan ibu sepertiku nantinya.
Meski aku bukan orang terkenal tapi aku bisa berbuat untuk umat dengan ilmuku
dan kemampuanku.
Teman-teman yang juga berfisik serupa tapi tak sama
denganku, aku ingin mereka juga bangun dari rasa malu, bangun dari kepasrahan
hidup yang memuakkan. Allah menciptakan kita untuk berjuang bukan meratapi
keadaan. Aku hanya ingin mereka tahu, bahwa dunia pendidkan menerima semua
orang, tanpa memandang kondisi fisik. Kita bisa sekolah setinggi-tingginya.
Asal kita mau pasti mampu.
Untuk seseorang yang kelak menjadi ayah dari anakku. Mas,
malam ini aku kembali menjadi diriku. Diriku dengan mimpi-mimpi yang ingin
kuwujudkan bersamamu. Apa mimpi-mimpimu Mas? Kita akan mewujudkan bersama
impian kita. Kelak jika anak kita lahir, ia akan menjadi anak dengan
kepribadian kuat, tak takut bermimpi dan mewujudkannya. Kini aku ingin bangun
kembali 1000 impianku dan aku berusaha mewujudkannya. Di perjalanan itu, kita
pasti bertemu.
Mas, bagiku menjadi istri dan seorang ibu adalah impian
tertinggiku. Di atas ratusan impianku. Aku sedang berusaha menjadi seoran
perempuan sholihah, menambah bekal menjadi istri dan ibu. Menjadi keduanya
adalah fitrahku sebagai seorang wanita dan mimpi-mimpiku adalah pemompa
semangat belajar itu. Aku yakin, kelak bersamamu aku tak lagi takut menjadi
pemimpi, karena bersamamu impianku akan menjadi nyata.
Mas, apakah kau mencintai menulis seperti aku mencintainya? Aku
ingin kelak kita menulis buku berdua. Perjalanan hidup kita. Semoga itu bisa
menjadi amaliyah kita pada umat ini. Aku ingin seperti Hanum Salsabila dan
Rangga AlMahendra, seperti Tias Tatanka dan Gola Gong, seperti Asma Nadia dan
Alamsyah dan seperti aku dan dirimu. Aku Rizza, Kau?
Masa depan bukan
untuk ditunggu, tapi kita yang akan memulainya
(Rangga Almahendra)
Kediri, 28 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar