Sejak empat tahun lalu, pertengahan 2010, sejak aku mulai
menjadi mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, sejak aku tak lagi menjadi
seorang siswa dan sejak orang-orang tak lagi menganggap aku gadis kecil. Sejak
itulah aku ditanya tentang pernikahan.
Secara teori, aku mengerti tentang pernikahan sejak di MAN 3
Kediri, di pelajaran Fiqih, yang membahas tentang munakahat dan mawaris. Saat
itu aku hanya melahapnya murni karena kewajibanku sebagai seorang siswa yang
harus memahami penjelasan guru, membaca teori untuk bisa menjawab soal ujian.
Hanya itu! Beranjak dewasa, aku mengalami sendiri, sesuatu yang dulu hanya kubaca
di buku sebagai teori dan kupelajari hanya agar lancar diuji. Menikah dan
pernikahan!
“Rizza, apakah orang sepertiku nanti akan menikah?” itu
adalah tanya beberapa teman yang
mengalami kekurangan fisik, tak hanya satu temanku yang mempunyai kekurangan, aku
sudah tidak bisa lagi menghitungnya. Beberapa kukenal di dunia nyata dan
beberapa kukenal di dunia maya. Kami dekat, meski belum bertatap. Ada yang
masih anak-anak, ada pula yang sudah dewasa, seumuranku dan bahkan ada yang
lebih tua dariku. Beberapa dari mereka ini pernah bertanya, “Rizza, apakah
seseorang sepertiku nanti akan menikah?”
Aku menyadari, sebagai seorang gadis yang sudah dianggap
pantas menikah, pasti banyak diantara keluarga dan teman yang bertanya “Sudah
punya calon belum?”, “Kapan menikah?”, “Nampaknya kamu sudah siap menikah,
buruan!”, “Ayo, kapan calonnya dibawa ke rumah” mendapatkan pertanyaan itu aku
biasanya merespon dengan senyuman dan sejurus kemudian minta didoakan.
Wajar jika teman-teman itu begitu galau tentang masa
depannya, tentang pernikahannya. Aku juga merasakan seperti mereka. Karena
sejatinya aku dan mereka sama-sama memiliki kekurangan fisik. Jadi aku bisa
merasakan apa yang mereka rasakan, mungkin tak sama tapi pasti tak jauh beda.
Kadang aku bertanya juga pada diriku sendiri, akankah aku
menikah? Atau lebih tepatnya adakah yang menikahiku? Meski aku sudah tahu
jawabannya, bahwa Allah menciptakan makhluknya berpasangan, setiap orang pasti
berjodoh dengan belahan jiwanya, namun agaknya menentramkan jiwa dengan semua
kegelisahan itu tidaklah mudah. Kuakui itu.
Banyak yang bertanya karena mereka peduli denganku. Banyak
yang bertanya, karena mereka sayang padaku, banyak yang bertanya, karena mereka
penasaran ingin tahu jawabanku. Siapa sih dia? Lelaki itu siapa? Siapa lelaki
itu?
Bagi yang sudah mengenal dan bertemu aku, tentu dia tahu
bagaimana aku. Aku adalah seorang gadis yang mempunyai kekurangan di kakiku.
Bagi yang ingin mengetahui lebih lanjut silahkan buka blog pribadiku.
ZONARIZZA, aku sudah menuliskannya, agar jika ada yang bertanya, aku bisa
memberikan jawaban yang sama.
Bagi gadis sepertiku, menikah adalah sebuah mimpi yang
paling agung. Jika gadis lain shalihah, cantik, cerdas, mempunyai tubuh seksi
dan berdandan anggun sekali. Dengan itu ia bisa membuat lelaki menyukainya,
mengaguminya dan tergila-gila padanya. Karena aku tahu, kelemahan lelaki
terletak pada matanya.
Aku? Aku tidak memiliki
seperti yang mereka miliki. Bagi yang pernah bertemu denganku, pasti tahu,
bahwa aku adalah antitesis dari semua itu, ditambah lagi aku memiliki fisik
yang tidak sempurna dan itu terlihat sekali. Semua orang bisa membedakannya.
Mana aku diantara puluhan gadis lainnya.
Apakah aku malu? Minder? Iya! Tapi itu dulu, dulu sekali. Waktu
yang membuat urat malu dan minderku tentang ini putus! Aku sudah kebal dan merasa
baik-baik saja. Aku merasa sama seperti yang lainnya, meski aku sadari aku
berbeda. Aku yakin inilah yang terbaik. Kalau aku sempurna seperti yang lain,
mungkin aku tak akan tumbuh menjadi diriku yang sekarang. Mungkin jika kakiku
tak seperti ini, aku akan menjadi perempuan liar, badung dan tak bisa diatur.
Karena Allah tahu jika aku diciptakan sempurna akan seperti itu, makanya Allah
mengurangi sedikit, agar aku tak seperti itu dan akhirnya aku menjadi aku yang
sekarang. Mungkin!
Jika ada yang bertanya “kamu kapan menikah?” bagi gadis
lain, ia akan menjawabnya dengan ringan, “doakan saja, insyaallah sebentar
lagi” Tak hanya yang masih muda, bahkan bagi mereka yang sudah berusia dewasa
pasti menjawab seringan itu. Karena ia sempurna, tanpa beban apa-apa, tanpa
berpikir satu dua kali lebih lama.
Sebagai seorang perempuan, tentu aku tertarik pada lelaki,
kalau bahasa anak muda pernah suka. Ya, pernah. Hanya saja, aku selalu berpikir
dua tiga kali untuk meneruskan rasa itu. Siapa aku? Aku bukanlah gadis
sesempurna gadis kebanyakan, apakah dia juga memiliki rasa yang sama seperti
rasaku? Atau jangan-jangan hanya aku saja, itu pun karena aku yang gede rasa,
sementara si dia hanya menganggapku teman biasa.
Akhirnya, aku tak pernah mengungkapkannya “Aku menyukaimu”
dan hanya berhenti di doa-doa. Lama-lama aku akan melupakannya. Sebelum rasa
suka itu berbunga menjadi cinta, aku sudah membunuhnya. Sadis ya? ^_^
Masa remajaku kuhabiskan untuk sekolah, bahkan sampai sekarang lulus kuliah. Mungkin
di medio itu aku pernah suka, tapi aku selalu membunuhnya. Karena aku sadar
sesadar-sadarnya kalau lelaki akan merasa bersalah jika disukai seseorang
sementara dia tak mungkin bisa membalas rasa itu. Aku tak ingin lelaki
merasakan hal yang sama karenaku.
Sebenarnya, aku punya banyak sekali teman lelaki, baik teman
di kelas maupun organisasi. Sejak aliyah hingga kuliah aku menghabiskan waktu
senggangku untuk organisasi. Disitulah aku mendapatkan teman-teman lelaki yang
luar biasa. Dengan berbagai karakter mereka yang berbeda-beda. Bersama mereka,
aku tumbuh menjadi gadis dewasa, hatiku
tumbuh menjadi hati yang kuat. Tak mudah jatuh cinta. Semuanya memiliki tempat
yang sama dengan porsinya masing-masing. Aku yang harus memposisikan diri dan
mencoba adil.
Tak sekali dua kali pula aku menjadi obyek perjodohan.
Katanya aku cocok dengan si anu, si inu, si ini. Apa iya? Apa iya aku pantas
untuknya? Dan pertanyaan yang paling tepat diungkapkan adalah : Apakah dia mau
denganku? Akhirnya aku memilih menganggap itu sebagai candaan belaka, karena
aku tahu mereka ingin menghibur dan meramaikan suasana. Sejujurnya, aku takut kalau
benar-benar jatuh cinta. Apa jadinya?
Belakangan, mungkin dua tahun ini, aku menemukan ketentraman
hati. Ya, aku bertemu dengan dia, hampir
setiap hari. Kuceritakan apa yang ingin kuceritakan, kuungkapkan kegelisahanku,
kesedihanku, kubagi dengannya harapanku juga doa dan mimpi-mimpiku. Dia tak
pernah menolak, dia menerima semuanya dengan tetap tersenyum. Tahukah? Dengannya,
aku menemukan tempat paling pas untuk semua rahasiaku selain Allah.
Dua tahun ini pula, aku semakin nyaman dengannya, bahkan kadang-kadang
aku seperti orang gila. Menulis untuknya dengan mulut yang seolah-olah bicara
dengannya. Ya, dia adalah naskah-naskah kisahku untuknya. Surat-suratku untuk
calon suamiku. Surat-surat yang belum
menemukan pembacanya
Menulis untuknya, aku bisa senyum malu-malu, merasa punya
harapan baru bahkan aku pernah terisak. Kutuliskan sengkarut mimpiku yang ingin kuwujudkan. Kalau aku
sedang jengkel, daripada marah-marah aku
bercerita padanya, dan setelah itu aku merasa lega. Aku ingin punya anak
berapa pun sudah kutuliskan. Siapa nama-nama anak-anak itu juga sudah ada. Aku
sudah berpikir jauh sekali, hinga lima sampai sepuluh tahun ke depan. Lebay?
Iya! Biarkan saja, toh aku sedang bicara dengan lelakiku. Pendek kata, aku
benar-benar merasa dekat dengannya. Seperti dia ada dihadapanku, lalu kami
berbincang melalui tulisan itu. Apakah aku sudah gila? Oh...
Adakah yang mau mengikuti kegilaan ini? Kegilaan yang menjagaku dari perasaan yang tidak perlu. Mungkin saja juga akan menjagamu. Oya, Ada dua surat untuknya, yang kuposting di blog. Kalau tak salah kuberi kamar bernama My Letters. Ya, itulah kamar kegilaanku. Ahaha. Selebihnya, terlalu pribadi, aku malu untuk mempostingnya di blog dan dibaca banyak orang. Biarkan dia saja. Nanti!
Adakah yang mau mengikuti kegilaan ini? Kegilaan yang menjagaku dari perasaan yang tidak perlu. Mungkin saja juga akan menjagamu. Oya, Ada dua surat untuknya, yang kuposting di blog. Kalau tak salah kuberi kamar bernama My Letters. Ya, itulah kamar kegilaanku. Ahaha. Selebihnya, terlalu pribadi, aku malu untuk mempostingnya di blog dan dibaca banyak orang. Biarkan dia saja. Nanti!
Nanti? Dia? Siapa? Sampai pada paragraf ini aku kembali
teringat tanya mereka “Rizza, akankah orang sepertiku menikah?” Lalu biarkan
aku bertanya pada diriku “Akankah aku menikah?” Wallahu’alam. Hanya Allah yang
tahu jawaban atas tanya itu. Hanya Allah yang tahu siapa dia, lelaki mulia itu.
Lelaki yang mencintaiku dan kucintai, lelaki yang akan
menjadi imam sholatku, lelaki yang tak malu berjalan di sampingku dan lelaki
yang mencintaiku dengan sepaket kekuranganku. Jika aku berjalan, semua mata
menatapku, lelaki itu tak malu berjalan di sampingku. Jika aku akan menikah
dengannya, dan jika keluarganya tak setuju karena ia memilih wanita sepertiku.
Ia akan memperjuangkannya. Kalau pun orang tuanya tetap tak membolehkan, ia tak
akan memaksa, karena ia tahu ridha Allah ada pada ridha ayah dan ibunya.
Lelaki itu, lelaki sederhana, yang mungkin mengenalku sejak
lama atau mengenalku baru saja, tapi entah kenapa ia merasa aku sosok yang
dicarinya. Lelaki yang menikahiku bukan karena kasihan, tapi ia menikah
denganku karena merasa mantap bahwa akulah wanita yang tepat. Ahaa... sampai paragraf ini aku mungkin sedang
gede rasa. Oh tidak! Sebenarnya aku sedang berharap, semoga ia memang
benar-benar ada.
Akhirnya, untuk semua yang punya keraguan tentang pernikahan
karena memiliki kekurangan. Untuk semua yang ingin menikah. Hanya yakini saja,
bahwa Allah tak pernah ingkar janji. Ia akan menikahkan kita sesuai dengan
kesiapan kita. Sesuai dengan yang kita butuhkan. Jika kalian yang sempurna saja ragu dan malu, lalu aku
harus bagaimana? Harusnya aku yang begitu, tapi aku tak mau seperti itu.
Sungguh, memiliki rasa itu sangat memuakkan. Percayalah, Allah akan menggenapi
separuh agama ini tak lama lagi. Memangnya sudah siap kalau tak lama lagi? ^_^
Lagipula, hidup sebagai dewasa tak melulu soal pernikahan
bukan? Kita bisa memanfaatkan waktu yang tersisa untuk berbakti pada orang tua,
membahagiakan mereka. Kita juga bisa bekerja untuk menjadi mandiri seutuhnya,
memenuhi kebutuhan hidup ini sampai tua. Berbuat baik pada sesama semampu kita,
sesuai ranah keilmuan yang pernah ada atau bahkan bertolak belakang dengannya.
Yang jelas, kita harus berbuat! Tak hanya galau memilin harapan pernikahan.
Untuk apa? Untuk apa mensangsikan hal yang telah menjadi kepastian? Kalau kita
berjalan di jalan yang sama, di ujung jalan kita akan bertemu. Hamari rahi pyar ke, phir milenge
chalte-chalte. ^_^
Di sebuah buku aku pernah membaca : Hati perempuan itu dipilih bukan memilih, hati itu tak
pernah salah berlabuh. Aku percaya, mencintai itu dimulai dari lelaki, karena
dia akan menggunakan logikanya untuk memantapkan hati, tak seperti perempuan
yang selalu akrab dengan perasaan. Dari itulah aku percaya bahwa memulai dan
mencintai lebih dulu adalah hak lelaki, sebagai perempuan aku hanya bisa
menunggu dan terus memperbaiki kualitas diriku.
Senja ini, dibarengi selesainya adzan Ashar, kusampaikan
salam pada lelaki yang kelak menjadi suamiku. Lelaki mulia itu. Mas, siapa
namamu? Apakah kita bertemu? Apakah kau benar-benar bersedia beristri perempuan
sepertiku? Menjadi ayah bagi anak-anak yang keluar dari rahimku? Bersediakah
kau menjadi imam untuk sholatku? Apakah kau tak malu berjalan di sampingku?
Kediri, 16 Juli 2014
Rizza Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar