Perlahan melangkah ke pintu itu,pintu yang sudah mulai seret dipermainkan musim. Masih perlahan, aku mendekatkan kunci pada lubangnya, memantapkan kembali hatiku, apakah aku yakin benar-benar membukanya? Ceklek! Pintu terbuka.Tak ada siapa-siapa di luar sana. Aku menunggu, terdiam, mematung di daun pintu.
Lalu satu orang datang. Mengucapkan salam dan segaris manis senyuman.Kupersilahkan ia duduk di kursi bambu. " Tunggu yang lainnya ya, sebentar lagi". Sebenarnya aku tak tahu apa dan siapa yang sedang kutunggu. Aku hanya ingin menunggu itu saja.
Dan benar saja tak seberapa lama aku melihat orang-orang mulai mendekat. Satu, dua, dua puluh satu, empat puluh lima. Aku terus menghitung. Kubiarkan mereka masuk, uyel-uyelan di dalam sana. Dan aku, masih berdiri di daun pintu menanti penjaga waktu datang dan memerintahkanku menutup pintu. Biasanya ia datang lima belas menit sebelum senja.
Masih ada sepuluh menit lagi. Lima orang gemuk-gemuk datang. Menurut hitunganku mereka nomor sembilan puluh sampai sembilan puluh lima. Lalu nenek tua menggendong kelapa. Sembilan puluh enam. Seratus, Seratus lima belas, seratus sembilan belas.
"Sudah saatnya kau menutup pintu!" kata penjaga waktu tepat di daun telingaku. Pelan kutangkupkan daun pintu itu.
" Tunggu!!!!!,seorang gadis kecil berteriak "Emakku ada di dalam Mbak!" Urung kututup. Kuberi celah agar gadis kecil itu bisa masuk. Dan ruangan ini kembali gelap karena cahaya tak memasuki daun pintu.
Sepertinya ada suara di luar.Seorang pria.
"Bolehkah saya masuk?", tanyanya padaku, mungkin ia tahu aku masih berdiri tepat di balik daun pintu yang tertutup.
"Maaf Pak, waktu membuka pintu sudah usai dua detik lalu, saya tidak bisa membukanya, penjaga waktu akan murka "
"Saya membawa seluruh keluarga saya, saya datang dari negeri seberang lho Mbak. Tak ada kah kelonggaran bagi saya?"
"Maaf sekali". Kudengar anak-anak pria itu mulai menangis. Istrinya pun terisak.
"Dasar sombong kau!!!", gertak pria dengan memukul daun pintu.
Lalu kudengar makian dari suara wanita, juga hujat dari suara lelaki tua. Dia bilang aku sombong, tak mau berbagi, tak punya hati. Setega itukah aku? Kututup telingaku. Pura-pura tuli pada suara tangisan dan hujatan. Menyayat dan menyakitkan Aku hanya ingin patuh pada penjaga waktu. Belajar adil pada kehidupan bahwa peraturan penjaga waktu dibuat untuk dipatuhi bukan untuk dilanggar hanya karena kasihan.
Kubalikkan badanku. Melihat siluet orang-orang yang berada di rumahku. Gelap. Sebentar, aku ingat sepertinya aku masih punya segumpal cahaya yang kusimpan didalam kotak. Kuambil lalu kutiup . Kuning mulai berpendar. Wajah-wajah mereka mulai terlihat. Wajah dengan binar yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Bolehkah aku bertanya, apa yang kalian lihat dari rumahku. Hingga kalian ingin tinggal bersamaku. Rumah ini rumah tua dengan perabot yang seadanya. Hanya ada segulung tikar, selapis kain, sebuah ceruk dan tungku. Lihatlah itu kayu-kayu penyangga gentingnya mulai lapuk. Pondasi rumahku tak kuat menancap, tiang-tiangnya rapuh. Bahkan penganan sekedar untuk menjamu tamu pun tak ada. Apa yang kalian lihat dari rumahku?"
Hening. Lalu seorang lelaki maju selangkah tepat di depan mukaku.
"Karena rumahmu punya cahaya. Kami sudah bosan hidup dengan gelap. Kegelapan yang membelenggu. Kami butuh cahaya dan hanya kau dan rumahmu yang mempunyainya"
"Ajarilah kami bagaimana membuat cahaya seperti yang kau punya, agar kami tak hanya bergantung pada matahari yang cahayanya hanya sementara. Ajarkan sampai kami bisa membuat cahaya agar cahaya itu bisa kami bawa pulang dan menyinari rumah kami dan rumah lainnya"
_Malang, 1 April 23.30_
Cerita ini terinspirsi dari penerimaan anggota baru FLP Ranting UIN selama dua minggu terhitung 14-31 Maret 2013. Bahkan hal sederhana pun bisa menjadi sebuah cerita. Bagaimana, mudah kan bercerita lewat pena? Menulislah sekarang juga ! ^_^
Bolehkah aku bertanya, apa yang kalian lihat dan inginkan dari rumah ini?
Bolehkah aku bertanya, apa yang kalian lihat dan inginkan dari rumah ini?
Rizza Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar