Anak Gunung Kelud Sebelum Erupsi |
Cepat sekali waktu
berlalu, sudah setahun sejak Gunung Kelud meletus. Aku masih sangat ingat malam
itu, dan hari-hari setelahnya. Mungkin, aku tak pernah lupa!
Malam itu pukul 22.00
tanggal 15 Februari 2014. Kami sekeluarga, ayah, ibu, aku, Faisal dan Farid
sudah bersiap istirahat, tamu yang membesuk ayahku sudah pulang semua. Ayah
juga sudah terlelap, alat bantu jantung masih terpasang, tapi oksigen di
hidungnya sudah dilepas. Aku lega! Kuharap malam ini aku bisa tidur lebih
nyenyak dari sebelumnya.
Adikku, Faisal dan
Farid juga sudah menggelar karpet di luar kamar, biasanya mereka tidur disana, kemulan sarung berdua. Selama hampir dua
minggu ini, hampir tiap malam, dua adikku itu tidur di luaran. Sesekali sambil
membawa buku sekolah, atau buku les. Mereka berdua memang harus bersiap
menghadapi ujian akhir nasional. Faisal kelas 3 SMA, Farid kelas 6 SD. Kadang
aku tega, mereka harus konsentrasi penuh sekolah tapi disaat yang sama ayah
sedang sakit parah. Paling parah dari yang sebelum-sebelumnya.
Tapi aku bisa apa? Aku
cuma bisa berdoa untuk kesembuhan ayah, bahkan aku selalu meminta yang terbaik
untuk ayah, karena memang sudah sangat parah. Aku tak tega melihat ibu menangis
setiap hari. Hanya doa itu saja! Apapaun yang terjadi aku berusaha
menyelesaikan skripsiku. Setahun lalu, tepat di awal 2014, aku adalah mahasiswa
dengan skripsi yang galau, selesai tidak, selesai tidak. Tapi karena ayah sakit
begitu. Aku katakan pada diriku. “Harus selesai! Atau kamu akan menyesal Za!”
Aku membuka file
skripsi, ingin kujabarkan lima halaman lagi sebelum tidur, tapi tayangan TV One
yang sedang dilihat ibu menyita konsentrasiku. Berita itu mengatakan kalau
status Gunung Kelud berubah menjadi awas! Kemungkinan besar akan meletus malam
hari ini. Ini bukan saatnya mengerjakan
skripsi! Ibu menelepon Bulik El, menanyakan bagaimana kondisi desa kami,
Desa Jarak Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri, tempatku tinggal hanya
berjarak 25 km dari Gunung Kelud. Beberapa waktu sebelumnya, pos pengungsian
sudah dipersiapkan dibeberapa sekolah. Pendek kata, kami sudah siap kapanpun
Kelud akan meletus.
Kata Bulik El di masjid
depan rumahku sudah ramai, semua orang berkumpul disana. Bahkan ada juga yang
membawa sapi dan ternak mereka yang lain. Kilat api uga terlihat jelas dari
rumahku. Aku mendengar percakapan antara ibu dan bulik yang di loudspeaker. Faisal rupanya sudah di sms
teman-temannya. Dia meminta izin untuk pulang ke rumah malam itu juga.
Sebenarnya ibu agak berat mengizinkan, ini sudah larut, lagipula kondisi sedang
mencekam. “Ora usah muleh Le, nglumpuk ae
ning kene, wong wong tuane neng kene kabeh” kata ibuku cemas pada adikku.
Tapi Faisal memaksa pulang, dia bilang dia khawatir dengan rumah kami, dia ingin membantu orang-orang yang ada di
masjid sana, pasti butuh banyak pemuda. Akhirnya Faisal dan Farid pulang, ibu
melepasnya, “Ati-ati Le, wes ra sah
ngebut. Lek enek opo-opo kabari ibuk”
Aku lekat menatap
televisi. Melihat laporan dari berbagai sudut Kediri. Sudut pantau beberapa
reporter TV. Malam itu aku merasa Kediri mendadak terkenal. Kukirimkan sms pada
seluruh keluarga. Mengabarkan kejadian ini, memohon doa agar kami baik-baik
saja. Sekaligus update info dari
Blitar dan Malang, tapi rupanya banyak yang belum tahu kondisi ini, padahal di
Kediri sudah mencekam begini.
Kelud saat erupsi |
Allahu Akbar! |
Sampai akhirnya
terdengar suara hujan dan petir di luar, kupikir hujan biasa. Kurekatkan
kembali selimut ayah, hujan malam-malam
pasti dingin. Tapi ternyata aku salah. Itu bukan hujan air yang dingin,
tapi hujan pasir. “Mbak reneo, metuo!” Kata
ibu dari luar. Aku bergegas keluar. Masyaallah! Pasir turun dari langit!
Sederas ini, suaranya mirip dengan hujan air, kilat dan petirnya, gelegarnya
persis sama. Tapi ini pasir bukan air!
“Mbak arep neng ndi?” Ibuku heran melihat aku memakai jaket lalu
keluar. Aku hanya tersenyum, “wes ibuk
ndek kene ae sek ya” ibu hanya geleng-geleng kepala, lalu kembali
menelepon, entah siapa.
Aku berjalan cepat
menyusuri koridor rumah sakit. Lengang! Semua pasien terlelap. Hanya ada
beberapa penunggu yang keluar, keheranan menyaksikan hujan pasir sebanyak itu.
Aku mencari tangga naik ke lantai dua. “Eh Mbak Rizza, mau kemana malam-malam
begini?”, “Kelud meletus Mbak, sudah dikamar saja”
“Mau ke atas Sus! Kalau
mau ikut ayuk” Mungkin kami seusia, aku akrab dengannya beberapa hari ini. Aku
lupa kalau dia sedang bertugas, tak seenaknya saja bisa kemana-mana seperti
aku. Di lantai dua, di pinggiran balkon kulihat jelas kilatan-kilatan petir di
langit, sesekali ada kilat seperti api. Suara pasir masih mericis sejak tadi,
semakin lama semakin deras. Sesekali terdengar pletuk pletuk, sepertinya itu kerikil kecil.
Kilat Kelud diambil dari pinggir sawah |
Allah,
terima kasih atas kesempatan luar biasa ini! Ini adalah musibah bagi kami, tapi
lewat ini Kau tunjukkan bahwa letusan Gunung Kelud memang dahsyat. Kau
tunjukkan, meski kecil anak Gunung Kelud sangat garang. Kau tunjukkan bahwa
kami adalah makhluk kecil, lemah dan takut. Tak ada pelindung kecuali Engkau,
tak ada tempat berharap kecuali Engkau.
Aku masih terus mematung
disitu, merapal doa apa saja yang kubisa entah sampai jam berapa, yang jelas
aku tak bisa tidur malam itu. Ini malam
yang langka, sayang sekali kalau ditinggal tidur!
Pagi harinya genting
rumah sakit tertutup pasir, seluruh rerumputan juga, bahkan pohon-pohon dan
lantai beranda kamar. Pasir putih! Pasir yang lembut, bau belerang tercium
kuat. Masyaallah! Pagi hari itu pasien bertambah 40 orang! Semuanya pria,
mereka terjatuh dari atas genting saat akan membersihkan pasir di atas genting
rumah mereka. Bahka ada dua orang yang meninggal seketika. Pasir vulkanik ini
memang licin, tak sembarang orang bisa membersihkannya. Berjalan di lantai saja
sangat lincin, apalagi di atas genting? Saya tak bisa membayangkan.
Beruntunglah mereka
yang mempunyai keseimnbangan diri yang prima dan ahli bangunan, pasca letusan
Kelud, banyak orang yang mempunyai pekerjaan baru, jasa bersih-bersih pasir!
Karena resikonya besar, maka harganya sangat mahal. Kebersihan genting
rumah Mak di Setono Gedong harus
diangsur 400 ribu. Harga tergantung pada luas rumahnya.
Desa yang paling terdampak Kelud, beginilah desa saya juga, meski tak separah desa ini tapi beginilah suasananya pasir dimana-mana |
Percuma Anda mencuci motor atau mobil, dua minggu pasca Kelud erupsi, kendaraan di Kediri tak pernah terlihat bersih |
Tukang bangunan menjadi
primadona, karena banyak rumah yang rusak. Mulai dari Talang air yang rusak,
genting yang runtuh sampai tembok yang rusak. Rumahku mengalami ini, dapurku
yang di atapi seng rusak berat. Seng itu tak kuat menahan pasir yang mericis
hebat malam itu. Hanya semalam, tapi pasir itu sudah merusak banyak rumah!
Dua hari setelahnya
sekolah-sekolah di Kediri diliburkan, pasar-pasar sepi tak ada penjual. Jalanan
juga lengang. Semua orang enggan keluar, pasir Kelud di jalanan membuat jarak
pandang sangat terbatas dan licin,
sehingga semua kendaraan berjalan pelan. Pernafasan pun terganggu. Karenanya
banyak di jalan-jalan relawan membagikan masker gratis. Toko yang menjual
masker pun laris, harganya tiga kali lipat!
Petugas dari Yonif 521,
anak-anak Pramuka dan masyarakat kerja bakti membersihkan pasir di jalanan.
Anak-anak membantu orang tua mereka membersihkan rumah. Tak ada yang tidak
bergerak! Semua benar-benar melawan pasir!
Di rumah sakit pun begitu,
semua OB bekerja membersihkan pasir, menyapu lantai tak cukup sekali,
berkali-kali! Semua ini akan berakhir jika hujan segera turun. Hujan akan
membuat debu-debu itu tak lagi liar bersama angin. Hujan akan membuat debu
Kelud luruh bersama air dan menyatu tanah.
Lahar dingin melewati persawahan di Ngantang Malang |
Kami memang berdoa
memohon hujan, tapi kami cemas, jika hujan turun, maka lahar dingin adalah
tantangan selanjutnya. Ya, setelah berjuang melawan pasir, dalam gunung
meletus, yang harus diantisipasi setelahnya adalah datangnya lahar dingin.
Kebetulan rumahku dekat sekali dengan jalan aliran lahar. Semoga semuanya baik-baik saja! Itu doaku, doa ibu, doa adik dan semua warga
Dusun Bendo Desa Jarak Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri. Bagaimana tidak,
rumahku 500 meter dari jembatan Jengkol. Jembatan yang dbangun khusus untuk
lewatnya lahar dingin tahun 1991 lalu. Bagaimana
kalau lahar lewat situ? Rumah warga terancam hancur!
Untungnya lahar dingin
itu seperti menyimgkir dari jembatan Jengkol. Lima puluh juta kubik lahar
dingin itu melewati perbatasan antara Kepung-Kediri dan Ngantang-Malang, ya
arah lahar dingin malah ke Malang. Dilema, antara alhamdulillah dan cemas.
Mungkin sebagian warga Kediri aman dari lahar dingin, tapi Malang? Jalanan di
Ngantang yang sering longsor mungkin akan semakin rapuh dengan datangnya lahar.
Semoga semuanya baik-baik saja!
Letusan Kelud, tepat 15
Februari setahun lalu menyisakan kenangan dan perjuangan buat saya dan
keluarga. Juga seluruh masyarakat Kediri-Malang dan Blitar. Satu hal yang harus
diingat dari peristiwa ini adalah persiapan pemerintah yang sangat baik untuk masyarakatnya
menghadapi bencana, sehingga tak ada korban jiwa satu pun karena letusan Gunung
Kelud. Kalau pun ada, mereka terluka atau meninggal karena jatuh saat
bersih-bersih di atap rumah.
Setahun sudah, aku masih bisa melihat tumpukan pasir kelud di derpan rumah, di depan masjid,
dan di rumah-rumah penduduk di Kediri. Kami seperti mendapat kiriman pasir
gratis dari Kelud. Semua kebagian, dan banyak sekali. Ada yang memanfaatkannya
untuk membuat batako, menguruk tanah yang ambles, menanam tumbuhan -konon pasir
letusan gunung itu subur sekali- dan masih banyak lagi. Fa biayyi alaaai rabbikuma tukadziban?
Garasi dan dapur rumahku yang amblek sudah di renovasi,
begitu juga dengan rumah penduduk yang lain. Sekolah, instansi dan pasar hanya
beku selama kurang lebih satu minggu selebihnya berjalan normal seperti
sebelumnya. Aku berhasil mengejar wisuda, Ayah sudah semakin sehat. Untuk pembaca, mohon doanya untuk
kesehatan ayahku ya! Semoga kita semua dianugerahi kesehatan oleh Allah,
Barakallah...
Kelud, tiga bulan lalu sudah dibuka untuk umum. Saat pulang dari Malang ke Kediri melewati Ngantang, di sebelah kanan kulihat bukit yang meranggas, putih, tak ada satu pun pepohonan, disanalah kelud berada. Oya, bagi yang penasaran tentang Lembu Sura, yang konon selalu muncul saat Kelud baru meletus. Benarkah muncul?
Lembu Sura. Patung misterius dari masa ke masa pasca erupsi Kelud Berkepala Lembu dan berbadan manusia. |
Entah siapa yang membuatnya, apakah benar itu dua raja yang dikutuk karena memperebutkan Dewi Kilisuci? Ataukah itu buatan manusia? Entahlah... yang pasti, Lembu Suro selalu ada
disana, di tempatnya, saat Kelud tenang, ia
tak terlihat karena tertutup pepohonan. Nah, pasca erupsi ia memang selalu ‘muncul’
karena pepohonan yang menutupinya meranggas diserang api vulkanik dan lahar
panas. Begitu ceritanya
Terima kasih telah membaca, kalau ke Kediri silahkan mampir ke rumahku di Desa Jarak Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri. Tanya ke orang disana Mbak Rizza anaknya Pak Nasir, pasti tahu, emang terkenal? hehe
Selamat datang di
Kediri....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar