Ada sebuah pertanyaan yang dilontarkan pada saya, “Rizza, apakah kamu pernah menangis?” Sebuah pertanyaan sederhana namun sarat makna. Sebagai manusia biasa saya tentu pernah menangis. Dulu awal kelahiran saya juga diawali tangisan. Saya menangis sesaat setelah saya dikeluarkan secara caesar dari perut ibu. Entah apa alasannya saya menangis saat itu, Mungkin saya bertanya pada Tuhan, “Kenapa saya harus lahir sekarang? saya masih ingin di rahim ibu lebih lama lagi”
Kelahiran saya juga
diwarnai tangisan ayah saya, lelaki perkasa itu hampir tak pernah menagis
sebelumnya, tapi setelah saya lahir, ia menangis untuk saya. Entah, itu tangis
bermakna apa, bahagia karena kelahiran saya atau sedih karena kondisi saya.
Kata nenek ayah bergumam begini dalam tangisnya, “Kenapa putriku kecil begini?
Hitam lagi? Apa dosaku? Tolong biarkan dia hidup Tuhan!”
Saat saya kecil saya
cengeng dan manja. Wajar, saya adalah cucu terkecil saat itu. Semua kakak
sepupu saya sudah besar-besar. Jarak saya dan adik sekitar empat tahun jadi
saya punya waktu empat tahun untuk dimanja sepenuhnya oleh kedua orang tua
saya, paklik dan bulik saya, juga nenek saya. Ah, senang sekali saat itu.
Seperti anak kecil
kebanyakan saya menangis kalau jatuh. Jika tak ada yang menolong, saya menangis
agar ibu dan ayah tahu kalau saya jatuh. Kadang saya tak langsung menangis,
sesaat setelah jatuh saya diam karena kaget, lalu ketika ibu datang menolong, saya
menangis sekeras-kerasnya. Entah, kenapa saya seperti itu. Tapi kebanyakan anak
kecil memang begitu.
Dulu saya memang sering
sekali jatuh, di sekolah, di jalan, dimana saja. Apalagi saya termasuk anak
yang tak bisa dinasehati. Dilarang kesana, saya malah kesana, dilarang
melakukan hal bahaya, saya malah mencobanya. Saya ingin tahu bagaimana rasanya,
saya ingin tahu disana ada apa, kenapa saya tak boleh kesana? Kenapa saya tak
boleh begini, tak boleh begitu? Ah, kekhawatiran mereka terlalu berlebihan.
Ketika saya mulai
mengenal kata malu dan menyadari kalau saya tak seperti teman yang lain saya
mulai menjalani rutinitas menangis. Rutinitas! Saya berbeda, saya harus
berbesar hati ketika mendengar orang lain mengatakan kalau saya adalah anak
cacat. Meski saya sendiri tak merasa seperti itu. Saya merasa sama seperti yang
lain. Saya merasa baik-baik saja! Memang, saya merasa kesulitan berjalan, tak
punya keseimbangan yang bagus. Tapi saya tidak cacat kan? Tidak kan?
Tapi, teman-teman saya
bilang saya cacat, dingklang dan
banyak istilah lainnya yang saya lupa. Saya melupakannya karena telinga saya
tak ingin mendengarnya. Meski begitu mereka tetap teman-teman baik saya. Mereka
ada untuk saya. Mereka menganggap saya adik. Adik yang harus disayang, dibantu
dan dilindungi, itulah yang guru SD saya tanamkan pada teman-teman saya.
Meski begitu, masih ada
saja beberapa anak yang mengejek saya, menirukan cara berjalan saya dan
mengatakan kalau saya ini anak cacat. Diusia sekolah dasar itu, saya sudah
paham kalau mereka itu belum mengerti apa arti cacat sebenarnya. Saya belajar
arti pemakluman. Pemakluman atas sebutan, ejekan dan tiruan mereka atas cara
berjalan saya. Saya hanya bisa diam, melihat dan mendengarkan, sesekali
teman-teman saya yang lain memarahi mereka yang mengejek saya dan meminta saya
bersabar. Diusia sekecil itu, teman saya sudah menasehati pentingnya kesabaran.
Tapi, jika memang kenyataannya seperti ini, saya bisa apa? Memang beginilah
adanya.
Siapa bilang saya tidak
pernah menangis? Setelah pulang sekolah saya sering menangis di kamar. Itu
mungkin karena saya belum bisa memaknai kesabaran yang telah dinasehatkan
teman-teman saya. Saya sering bertanya dalam isakan itu.”Kenapa harus saya Tuhan? Kenapa saya seperti ini? Saya juga pengen
bisa main lompat tali, saya pengen bisa bermain loncat satu kaki, saya pengen
berlari. Kenapa harus saya?”
Ah, saya saat masih
sekolah memang cengeng. Sangat cengeng. Ketika melakukan praktek olahraga.
Setelah mengitari lapangan dua kali dengan berlari. Saya biasa istirahat
duduk-duduk dipinggir lapangan, sementara teman-teman saya melakukan olahraga
bersama guru. Saya hanya melihat saja. Ini dispensasi dari semua sekolah yang
pernah saya singgahi : Saya boleh tidak ikut olahraga!
Tapi, saya tidak mau
hanya menunggu teman-teman di kelas. Saya harus ikut mereka ke lapangan. Saya
ganti seragam sekolah dengan kaos olahraga. Buat apa saya diberi seragam
olahraga kalau tidak pernah dipakai? Saya juga memaksa guru olahraga saya untuk
membolehkan saya berlari. Minimal sebelum pelajaran olahraga dimulai. Saat
teman-teman mengitari lapangan, saya juga ikut lapangan. Minimal dua kali
putaran, saya baru mau duduk-duduk santai dipinggir lapangan,
Dalam duduk di
rerumputan itu, saya sering menangis, tak ada yang tahu, kecuali Tuhan! Saya
pengen bisa main kasti, saya pengen bisa main volly, saya pengen bisa main
basket, saya pengen bisa lempar galah sejauh-jauhnya. Saya pengen, saya pengen!
Tapi apa saya bisa? Mungkin saja saya bisa, tapi saya tak pernah diberi
kesempatan untuk mencoba. Saya hanya harus enak-enakan duduk di pinggir
lapangan sementara yang lain berpeluh kelelahan. Sejujurnya, inilah yang
membuat saya memangis, kenapa saya tak bisa? Saya juga ingin seperti mereka.
Saat kuliah, kebetulan
juga ada mata kuliah penjaskes, saya harus mengulang keedihan saya yang sudah
saya kubur selama dua tahun. Ya, karena saya mendapatkan mata kuliah penjaskes
di semester 5. Sebelum itu, setiap melewati lapangan dan melihat senior saya
menjalani mata kuliah olahraga. Saya hanya melihat saja, “Tuhan, haruskah saya
mengulang tangisan saya di masa lalu?”
Tapi, saya sudah
berjanji di akhir SMA, kalau saya tak akan menagis lagi jika berkaitan dengan
kondisi fisik saya. Saya sudah mengikhlaskan, saya sudah menerima, saya sudah
mencintai diri saya sepenuhnya. Inilah saya, apa adanya. Untuk apa menangis?
Toh, setelah sesenggukan dan mata bengkak, saya juga masih seperti ini. Saya
sadar, tangisan tak akan membawa dampak apa-apa, kecuali keterpurukan. Saya
harus bangkit, saya tak boleh kalah, saya tak boleh menyerah. Tuhan pasti punya
rahasia, kenapa saya diciptakan dengan kondisi seperti ini. Jika saya ingin
tahu rahasia itu, saya harus terus berjalan, tak boleh berhenti. Jika dulu saya
berulang kali bertanya, “Tuhan, kenapa harus saya?” Saat itu saya tahu, saya
dipilih karena saya mampu melewatinya, orang lain belum tentu mampu. Saya orang
pilihan, jadi kenapa harus bersedih? Kenapa harus menangis?
Meski saya sudah tak
menangis lagi karena kondisi fisik ini, tapi saya masih sering menangis untuk
hal lain. Mungkin karena saya pernah merasakan berada dalam kondisi yang lebih
buruk dari saat ini, saya jadi mudah terharu, trenyuh pada cerita atau curhatan
teman. Saya mudah sekali merasa kasihan, saya tak tegaan.
Saya juga bisa menagis
saat nonton film. Mungkin ini konyol, tapi saya memang sering menangisi film.
Film koleksi laptop saya adalah film-film inspiratif yang kebanyakan bisa
membuat saya menangis. Film apa saja, mulai dari film dalam negeri, bollywood,
hollywood, arab, jepang hingga drama korea. Saya tonton semuanya, asal
ceritanya bagus dan banyak pelajaran yang bisa saya ambil. Dari film-film itu saya belajar arti hidup, perjuangan dan semangat menggapai mimpi. Saya belaja bagaimana menjalani hidup ini lebih baik lagi, lebih semangat lagi, lebih keras lagi.
Mungkin karena ini,
banyak orang yang bilang saya orangnya melankolis, tapi saya tak peduli, toh,
apa salahnya jadi mellow? Tak semua
tangisan itu buruk kan? Lagipula menangisi film tentu lebih baik daripada
tangisan masa lalu saya itu, tangisan nasib! Nasib saya tak perlu lagi
ditangisi. Saya hanya harus mensyukurinya. Masih banyak orang yang kondisinya
lebih buruk dari saya. Jika mereka saja terus bertahan hidup, maka saya juga
harus bertahan dan terus berjuang!
Saya berjanji pada diri
saya sendiri, saya akan terus berbuat kebaikan pada orang-orang, semampu saya,
sebisa saya. Saya berjanji akan memotivasi teman-teman yang lain, yang memiliki
kondisi fisik yang sama atau bahkan lebih buruk dari saya. Jika saya bisa
bangkit, optimis, percaya diri dan terus berjuang, maka saya tak akan
membiarkan mereka dalam keterpurukan, karena saya tahu, berada pada posisi itu
sangat menyesakkan.
Untuk lelaki, jangan
malu menangis. Tangisan bukan hanya milik perempuan. Jangan merasa bahwa dalam
tangisan kamu adalah pecundang. Jangan egois, air matamu juga berhak keluar,
kesedihanmu juga berhak diluapkan. Bukan hanya untuk dipendam dan berpura-pura
kuat, saat hatimu rapuh, butuh kekuatan dan jalan keluar. Perempuan yang baik
akan tetap menghormatimu dalam tangismu. Ia akan memahamimu seutuhnya, baik
dalam tangis, tawa atau usaha kerasmu mewujudkan cita-cita. Menangislah! karena
kamu manusia biasa punya air mata!
Saya pernah menangis,
saya punya air mata. Bukan saya cengeng karena terjebak dalam fisik perempuan,
tetapi karena saya tahu air mata tak selalu membawa kesedihan, kekalahan dan
keputusasaan. Air mata juga berarti kebahagiaan, kesyukuran, harapan dan
perjuangan.
Rizza Nasir
Rizza Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar