Nama adalah identiras atau penanda seseorang, akan tetapi, dalam fiksi identitas seseorang bisa saja diberi penanda lain, bukan nama,melainkan ciri fisiknya atau ciri sifatnya. Misalnya lelaki kurus, perempuan separuh baya, gadis kecil, bocah lelaki pengamen, gadis pemurung dan seterusnya. Semua itu tergantung keinginan pengarang. Tentu ada maksud pengarang, mengapa ia memberi nama tokoh ceritanya atau tidak, melainkan memberi penanda identitas yang sekaligus menunjukkan watak tokoSebagai contoh, tokoh “Lelaki Tua “ dalam cerpen Ernest Hemingway (The Old Man And The Sea), adalah tokoh tanpa nama, namun dapat dikenali sosok dan wataknya dengan detail oleh pembaca melalui deskripsi pengarang. Meski begitu, pada umumnya penulis-penulis cerpen realis memberi nama tiap tokohnya. Justru dari nama tokoh itu saja telah tercitra watak yang diperankanya. Misalnya, nama Srintil ( tokoh dalam novel Ronggeng Dukiuh Paruk karya Ahmad Tohari )mengingatkan pembaca pada sosok perempuan centil.
Kata orang nama itu melekat erat pada yang empunya nama. Seperti halnya nama Inul, citranya adalah penyanyi dangdut yang seksi. Tidak mungkin rasanya namanya diganti dengan nama lain, Fatimah, misalnya. Karena citra Fatimah adalah citra nama anak Nabi.Oleh sebab itu, pemberian nama tokoh dalam cerita, mau tak mau, seorang pengarang berusaha menyesuaikan nama tokoh itu dengan citra peran yang dimainkannya. Saya masih ingat, nama tokoh dalam sebuah film Indonesia di tahun 1970-an, Maksiat, SH, sesuai pula dengan perannya sebagai tokoh antagonis alias tokoh jahat yang diperankan aktor Farul A
Tidak jarang, nama tokoh dalam cerita juga mencitrakan latar etnis. Nama Tigor atau Togar, mau tak mau pembaca akan segera menebak bahwa tokohh itu berlatar etnis Batak. Iyem atau Mbok Nah , adalah nama-nama yang digunakan untuk peran pembantu atau masyarakat kelas bawah yang berasal dari etnis Jawa. Dan alangkah tidak mungkinnya kalau serang tokoh cerita yang berasal dari Inggris diberi nama Syamsudin, kecuali dengan alasan jelas, misalnya ia telah memeluk agama Islam seperti halnya Cat Stevens yang berganti nama dengan Yusuf Islam. Dengan memberi nama tokoh berdasarkan ciri etnis tersebut akan memperkuat latar cerita dan watak penokohannya, apabila memang pengarang bermaksud menonjolkan latar budaya tertentu.
Nama-nama anak indonesia mutakhir memang susah ditebak latar belakang etnisnya, kecuali bila mencantumkan nama keluarga atau nama marga atau suku di belakang namanya. Bila Anda sempat memeriksa nama-nama murid di sebuah SD di Jakarta saat ini, sudah dapat dipastikan bahwa tidak mudah menerka latar etnis dari seorang anak. Namun demikian, satu gejala yang dapat diamati adalah tren “latah” para orang tua memberi nama anaknya. Tiap periode zaman seperti ada tren nama yang sedang “in”. Pada masa awal kemerdekaan banyak orang tua yang memberi nama anak-anaknya sama seperti anak-anak presiden. Oleh sebab itu, banyak orang yang berusia 50-an saat ini bernama Rahmawati, Megawati, Sukmawati. Nah, bagaimana tren memberi nama anak Indonesia sekarang???
Perlukah tokoh dalam cerita diberi nama? Jawabannya Terserah. Dalam sebuah cerpen memang tidak mungkin mengungkap penokohan dengan sangat lengkap. Penokohan hanya dapat ditampilkan selintas, tapi esensial dan mengesankan . Oleh sebab itu, tanpa memberi nama pun tokoh cerita tak akan berkurang nilainya, karena nilai sebuah cerpen tidak terletak pada nama tokoh. Namun demikian, memberi nama tokoh adakalanya penting, karena pengarang punya maksud-maksud tertentu seperti yang dijelaskan diatas.
Kata orang nama itu melekat erat pada yang empunya nama. Seperti halnya nama Inul, citranya adalah penyanyi dangdut yang seksi. Tidak mungkin rasanya namanya diganti dengan nama lain, Fatimah, misalnya. Karena citra Fatimah adalah citra nama anak Nabi.Oleh sebab itu, pemberian nama tokoh dalam cerita, mau tak mau, seorang pengarang berusaha menyesuaikan nama tokoh itu dengan citra peran yang dimainkannya. Saya masih ingat, nama tokoh dalam sebuah film Indonesia di tahun 1970-an, Maksiat, SH, sesuai pula dengan perannya sebagai tokoh antagonis alias tokoh jahat yang diperankan aktor Farul A
Tidak jarang, nama tokoh dalam cerita juga mencitrakan latar etnis. Nama Tigor atau Togar, mau tak mau pembaca akan segera menebak bahwa tokohh itu berlatar etnis Batak. Iyem atau Mbok Nah , adalah nama-nama yang digunakan untuk peran pembantu atau masyarakat kelas bawah yang berasal dari etnis Jawa. Dan alangkah tidak mungkinnya kalau serang tokoh cerita yang berasal dari Inggris diberi nama Syamsudin, kecuali dengan alasan jelas, misalnya ia telah memeluk agama Islam seperti halnya Cat Stevens yang berganti nama dengan Yusuf Islam. Dengan memberi nama tokoh berdasarkan ciri etnis tersebut akan memperkuat latar cerita dan watak penokohannya, apabila memang pengarang bermaksud menonjolkan latar budaya tertentu.
Nama-nama anak indonesia mutakhir memang susah ditebak latar belakang etnisnya, kecuali bila mencantumkan nama keluarga atau nama marga atau suku di belakang namanya. Bila Anda sempat memeriksa nama-nama murid di sebuah SD di Jakarta saat ini, sudah dapat dipastikan bahwa tidak mudah menerka latar etnis dari seorang anak. Namun demikian, satu gejala yang dapat diamati adalah tren “latah” para orang tua memberi nama anaknya. Tiap periode zaman seperti ada tren nama yang sedang “in”. Pada masa awal kemerdekaan banyak orang tua yang memberi nama anak-anaknya sama seperti anak-anak presiden. Oleh sebab itu, banyak orang yang berusia 50-an saat ini bernama Rahmawati, Megawati, Sukmawati. Nah, bagaimana tren memberi nama anak Indonesia sekarang???
Perlukah tokoh dalam cerita diberi nama? Jawabannya Terserah. Dalam sebuah cerpen memang tidak mungkin mengungkap penokohan dengan sangat lengkap. Penokohan hanya dapat ditampilkan selintas, tapi esensial dan mengesankan . Oleh sebab itu, tanpa memberi nama pun tokoh cerita tak akan berkurang nilainya, karena nilai sebuah cerpen tidak terletak pada nama tokoh. Namun demikian, memberi nama tokoh adakalanya penting, karena pengarang punya maksud-maksud tertentu seperti yang dijelaskan diatas.
Diambil dari Bengkel Cerpen Nida edisi 16-30 Maret 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar