Minggu, 30 Desember 2012

Merengkuh Lautan


Berlibur tak harus mahal. Itu yang selalu kupatrikan dalam diriku. Bahwa tak harus keluar banyak rupiah untuk merefresh pikiran, untuk tertawa, melepas semua penat. Sudah lama aku tak berkunjung ke perairan. Lautan. Hari ini, aku kembali kesana. Ketempat yang pernah kujejaki tiga tahun lalu bersama kawan aliyahku.

Pantai. Pasir putih. Sebuah pantai yang berada di selatan Trenggalek. Pantai apapun namanya, dimanapun tempatnya. Aku menyukainya. Menyukai pasir lebut putihnya, menyukai udaranya, suara deburan ombak, lambaian daun kelapa. Aku suka.


Pasir Putih. Aku lebih akrab dengan nama Pantai Karangongso

Semua yang kusuka itu semakin lengkap sat aku menghabiskannya bersama orang terkasih. Yang mengasihiku dan menyayangiku. Keluargaku. Ya. Aku bahagia hari ini. Menghabiskan hari di pantai dengan keluarga dan pemandangan yang sempurna ditambahan rintikan hujan yang nakal. Pantai dan hujan. Jangan tanya, betapa aku tergila-gila padanya.

Ombak telah mengajarkanku keberanian, ombak mengajarkanku keikhlasan dalam kehidupan. Coba lihat betapa ombak dengan kekuatannya. Justru tak membuat orang ciut nyali untuk menghampirinya. Tak takut untuk merengkuhnya. Bermain bersamanya. Tantangan ombak, telah kujawab. Sudah lama aku tidak berenang dan hari ini, aku berenang disana. Bersama kakak dan adik-adikku, ke tengah, menggerakkan kakiku. Teriak-teriak, tertawa. Ceria.

Berenang. Pernah menjadi salah satu terapiku bertahun lalu. Untuk melemaskan otot-otot kakiku. Seminngu sekali aku berkunjung ke kolam renang kota bersama keluarga. Pagora namanya, meski aku tak benar-benar bisa. Artinya, aku selalu pakai ban renang atau aku akan tenggelam. Ah..itu sepuluh tahun lalu. Dan sepuluh tahun telah berlalu, merubahku menjadi gadis. Dengan keberanian serupa ombak. Entahlah, keberanian atau kenekatan. Dalam diriku inilah adanya. Berani nekat itu lebih tepatnya.
Saat capek berenang, biasanya aku menepi sejenak, mengambil  ranting atau daham kecil. Kutuliskan beberapa kata di pasir pantai. Namaku, harapanku, semua kata yang saat itu mampir di otakku. Ombak selalu mempermainkanku. Menghapus tulisan-tulisanku bahkan sebelum aku usai merangkai huruf menjadi kata. Mau bagaimana lagi. Jangan menulis di pasir pantai, atau ia akan terhapus sesaat setelahnya dan barangkali kau kecewa. Itu dulu saat aku kecil, tapi seiring berjalannya waktu, aku malah tertawa saat ombak datang menghempas tubuhku dan menghapus tulisan-tulisanku.
Tiga tahun lalu, Di pasir yang sama, bersama teman aliyah

Keikhlasan ombak yang diajarkan padaku adalah bahwa dalam hidup ini, kita boleh berencana dan berlaku sesuka hati, tapi tetap ada ketetapan yang menyertai dan tak bisa diganggu gugat lagi. Dan saat ketetapan mengiringi keinginan, tak ada yang bisa kita lakukan kecuali ikhlas dan menjalaninya dengan senyuman. Karena sebenarnya kita tak butuh lebih, kita hanya perlu memaksimalkan apa yang sudah ada.

Dulu saat aku kecil, banyak yang melarangku bermain ombak saat berlibur dipantai, takut aku terbawa arus, takut aku begini begitu. Hmm..aku selalu benci larangan dan kekhawatiran. Kalau sudah begini aku akan cemberut seharian di pantai dan menangis di kamar malam harinya. kenapa aku selalu tak boleh ?
Dan akhirnya di liburan mendatang, aku nekat mengambil ban renang dan berlari ke lautan. Aku buktikan, bahwa aku bisa dan baik-baik saja. Sampai kini tak ada lagi yang melarangku bermain dengan ombak.

Selalu ada resiko dalam setiap perkara bukan?. Aku paham itu. Tapi aku harus bisa, minimal pernah mencoba hal  yang membuatku penasaran.  Kalau tak sekarang kapan lagi? Itulah yang tertanam dalam otakku yang bebal oleh kekhawatiran. Hingga aku akrab dengan kenekatan dan tantangan dalam hidupku. Tantangan yang bahkan banyak orang yang meragukan kemampuanku menaklukannya.
Dan ombak hari ini semakin sempurna dengan guyuran hujan yang menderas. Menyisakan indah dimataku. Beribu titik air tercurah disana, putih dan biru membaur jadi satu,Mengguyur sempurna tubuhku dari ujung jilbab  dan rokku di perairan itu. Dan aku masih disana, di tengah air laut, dengan ban renang hitam besar yang melingkariku, kurebahkan kepalaku di ban itu. Mulai memejamkan mata. Kurasakan air membasahi mata, hidung dan mulutku, kudengarkan titik-titik yang menyentuh perairan tik..tik..tik.. Rabbi, apa aku sedang bermimpi? Thanks for today Rabb ^_^

Dan deretan mimpiku semakin mengular....
Hari terakhir 2012

Minggu, 09 Desember 2012

Kobaran Leluka

Izinkan aku menuliskan apa yang tak sempat terkatakan. Inilah aku yang biasa dengan tulisan jika suaraku tak lagi di dengar oleh kebisuan dan kesunyian

Bagai kobaran api yang melalap semua derit tubuh. Menyalak. Menelusur bulir-bulir merah di tubuhku. Semuanya mendadak hangat seiring hawa yang biru. Tak ada lagi kata yang keluar dari gemertak gigiku. Aku hanya tak ingin apa yang keluar menggores nurani. Karena aku tau goresan lidahku akan meninggalkan luka yang menganga.

Aku tahu nurani kita terbuat dari tabir yang tipis. Mudah tergores meski hanya tersentuh sedetik saja. Kau menggores luka dan aku tau aku pun juga. Impas. Nikmat ya terluka. Biarlah...biar aku dan kau belajar. Belajar dari luka-luka. Luka itu akan mengering meski tak benar-benar hilang bekasnya. Berterima kasihlah atas luka. Karena dengannya kita menjadi dewasa yang anggun dan wibawa.

Coba tataplah langit itu, sejak tadi ia biru pekat. Mungkin ia menyimpan beribu butiran yang siap terderas dalam detik. Semoga percikannya sampai ke dasar terdalam, agar memadamkan api yang sejak tadi mengobar. Tak ada yang perlu disalahkan, tak ada yang perlu memaafkan. Karena salah dan maaf adalah sejoli manusia yang akan berdampingan sampai nyawa telepas raga

Kita memang bertemu di rawa, di tempat yang lesat dan menghitam. Sebab itulah kita tak pernah menjadi lemas dan putih seperti embun yang menyejukkan. Kita selalu memenuhi rongga dengan liat yang hitam. Cobalah untuk mengerti bahwa aku masih disini. Sejak tadi aku disini, tapi kau mungkin lupa dimana tempat kita biasa bersua. Kau bahkan lupa nama tempat itu dan alasnya. Kau lupa semuanya.

Ingatkah, suatu sore. Hanya ada beberapa pasang mata yang menyaksikan sejarahmu, sejarah yang akan menambah panjang pikirmu dan mempersempit harimu. Sejarah yang mungkin kau lupa. Tapi aku masih mengingatnya. Sejarah tentang pemberian bunga kering dan vasnya. Bunga yang selalu ada dalam setiap suratan. Bunga yang ketika dia tiada menjadi pertanyaan.

Bunga kering dan vas nya kini ada padamu. Kau sudah menggantinya beberapa waktu lalu. Terima kasih karena kau menggantinya, bunga itu menjadi kembali nyala dan suratan tak lagi hilang nyawa.  Kuceritakan padamu tentang nyawa-nyawa yang mengharap adanya warna baru, tentang nyawa yang tak pernah sedikitpun meragukanmu. Tapi aku heran. Kenapa kau harus meragu?

Ragumu itu menyesak lukaku. Seakan kau tak percaya pada suratan. Tak percaya atau kau memang benar-benar lupa? Kau masih saja mempertanyakan itu, kau meragu. Padahal perahu sudah sejak lama berlayar. Tidakkah seharusnya kau tinggal saja ragumu di ujung dermaga dan mencoba meyakini bahwa semua akan baik-baik saja?  Aku sudah muak dengan ragu yang kau titipkan lewat hembusan angin. Kalau kau meragu begini. Tidakah kau melihatku dengan keyakinan yang kupunya?

Semua akan baik. Percayalah padaku. Kobar api yang tersulut akan memadam seiring waktu karena hujan akan mengikisnya. Seharusnya kita berkaca pada cermin yang terang diujung sana. Bagaimana agar bibir tak mengucap luka. Seharusnya kita belajar menjadi pribadi besar hati, lapang dan tak mudah terluka. Seharusnya kita belajar bagaimana bahasa manusia yang santun dalam setiap perkara. Karena perkara itu akan terus ada selagi perahu belum menepi. Seharusnya kita belajar bagaimana mengerti bahwa perahu  tak bisa berlayar sendiri. Ia akan karam jika api masih terus kobar.Seharusnya. Tapi rupanya kita belum bisa.

Sabtu, 08 Desember 2012

BICARA



Beritahu aku, apakah yang harus aku lakukan untuk membuatmu mencair?
Kau membatu, kaku dan bisu
Kau hanya terdiam, bagaimana bisa aku mengerti apa maumu
Katakanlah, aku tak akan marah
Kau selalu diam, seolah pita suaramu putus
Kau membisu seiring mimikmu yang kaku
Sudahi saja semua ini
Aku sudah bosan  diammu
Aku muak
Aku bicara  kau diam
Aku teriak kau membisu
Bicaralah aku rindu suaramu
Bicaralah, kau masih punya mulut kan?
Aku harap kau tak lupa bagaimana bahasa manusia


Jumat, 07 Desember 2012

Menoreh Jejak Bromo


Entah mimpi apa aku kemarin , hingga awal hari ini kubuka atas hamparan pasir. Hitam berkilat-kilat, pasir yang tak kurasakan kapan ia menyusup di celah sepatuku. Hingga menjadi pemberat langkahku. Tapi anehnya aku hanya merasa ringan.
                   

Rizza, jadi ikut ke Bromo?

Sms dari Mbak Zie masuk ke hapeku sehari lalu. Aku bingung. Naik gunung? Bromo? Mungkinkah aku? Aku masih bimbang. Dalam lubuk ingin sekali aku merasakan lagi nikmatnya naik pegunungan setelah Kelud yang berhasil kusapa setahun lalu, akankah Bromo jadi gunung kedua yang kujejaki?
Aku masih bimbang.

“Mbak, kira-kira kalau aku ikut ke Bromo bisa nggak ya?”, tanyaku pada Mbak Uul

“Jangan Dek, Uul aja kemarin waktu Bromo nggak kuat naiknya, tangganya curam, tanahnya pasir, berat  melangkahnya. Harus dipegangi temen laki-laki, satu di kanan satu di kiri. Nangis di tengah-tengah. Uul takut ketinggian”

Selasa, 04 Desember 2012

Mimpi Malam

Hening. Tak ada satupun desah yang kudengar
Malam mengajarkanku ketulian. 
Malam memang selalu begini
Hening, sepi.
Malam aku suka
Hanya malam
Malam begini, aku masih begini
Bersama rajutan mimpi yang baru kupeluk di tidurku tadi
Mimpi-mimpi yang hanya bisa kutepati saat malam memuncak.
Malam begini
Kenapa tak pagi saja?
Kau masih ingin bertanya begitu kan?, aku tahu
Pagi penuh dengan kebisingan dan kepalsuan
Pagi dan seluruh siang tak memberikan ketenangan hanya kecemasan
Hanya malam,
Karena mimpiku memeluk bulan dan bercengkrama dengan bintang-bintang

Sabtu, 01 Desember 2012

INILAH SEBENARNYA CINTA



INILAH SEBENARNYA CINTA
(oleh-oleh Talkshow Cinta Antara Nafsu dan Logika)*

Cinta. Tak pernah habis tinta dunia ini membahas tentang cinta. Selalu saja ada problematika yang terlahir dari cinta. Cinta seperti apakah warnanya? Apakah merah merekah, pink atau jingga?
Cinta dengan semua yang membersamainya. Rasa, nafsu dan logika.

Menyadari banyak hal yang masih dipertanyakan tentang hakekat cinta. Pada 1 Desember 2012. LDK At-Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang menghelat talkshow yang bertajuk “Cinta Antara Nafsu dan Logika, membincang CInta dengan para tokoh”. Tokoh yang membincang cinta kali ini adalah Prof. Imam Suprayogo (rektor UIN Maliki, praktisi pendidikan), Ust. Mohammad Fauzhil Adhim (Pakar Parenting), Pipiet Senja (Sastrawan).

Bagi Anda yang tak sempat bergabung bersama kami ini saya bungkuskan oleh-oleh untuk Anda ^_^
Dibuka dengan sambutan hangat panitia dan nasyid-nasyid beraroma cinta dari ikhwan LDK dan Serenada . Inilah cinta menurut para tokoh…..


Cinta menurut Prof.  Imam Suprayoga adalah keikhlasan. Ketika ditanya “Bagaimana cinta menurut Anda sebagai pendidik ?”
Maka beliau dengan lugas menjawab,” Tak ada cinta dalam literature. Cinta itu adalah langkah nyata. Mendidik dengan cinta adalah mendidik dengan ikhlas.